Membayangkan Wajah Guru Ketika Berziki

Membayangkan Wajah Guru Ketika Berzikir

Melihat Ka’bah itu adalah ibadah sebagaimana ditegaskan oleh Atha’ dan Mujahid bahkan dianjurkan sebagaimana ditegaskan olehal-Iz bin Abdussalam, dan membayangkan Ka’bah itu adalah perkara yang terpuji… maka perlu diketahui juga bahwa kehormatan wali itu lebih tinggi daripada kehormatan Ka’bah itu sendiri sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sayyiduna Abdullah bin Umar RA ia berkata, “aku melihat Rasulullah SAW bertawaf mengelilingi ka’bah, dan beliaupun bersabda: betapa mulianya engkau wahai Ka’bah dan betapa mulianya kehormatanmu… dan sesungguhnya demi Allah, kehormatan “Mu’min” (orang yang beriman/wali mursyid) itu lebih mulia di sisi Allah SWT dari pada engkau… berdasarkan hadis ini, maka bisa kita katakan bahwa wajah seorang wali-mursyid itu lebih utama untuk kita pandang dan bayangkan…


Saya pernah membaca dalam Majalah “Cahaya Sufi”, Edisi September 2005, ada sebuah pertanyaan dariyuhal_lefly@yahoo.co.uk yang berbunyi, “Benarkah kita kalau mau berzikir harus merabithah (membayangkan wajah) dengan mursyid. Saya bingung karena saya tidak bisa bertanya langsung kepada Mursyid saya sendiri. Apakah memang demikian?


Pertanyaan tersebut dijawab oleh saudara M. Lukman Hakim, “Soal Robithoh menurut kami tidak perlu membayangkan wajah sang guru. Karena sang guru juga makhluk Allah. Jadi langsung hanya Allah yang terpandang… Dikhawatirkan ketika kita membayangkan wajah makhluk, lalu Allah mengambil nyawa kita ketika itu, apakah mati kita husnul-Khotimah atau suul-khotimah, renungkan sendiri….

Setau saya, seorang murid itu kalau menghadapi suatu masalah, hendaknya ia konsultasikan dengan mursyidnya. Kalau tidak bisa, dengan ikhwan seperguruannya yang lebih lama bersuluk. Kalau tidak ada yang mampu menyelesaikan masalahnya barulah ia boleh berkonsultasi dengan mursyid lain yang beda Thariqat….

Sebenarnya keadaan menghadirkan wajah seorang wali (yang benar-benar wali) itu bukan hal yang baru, karena sudah biasa dilakukan oleh para sufi... Para Nahdliyyin (warga Nahdlatul-Wathan) misalnya ketika sedang mengamalkan suatu Ilmu Hikmat, menghidupkan Ilmu Benteng, Riadhah dll. kegiatan itu akan lebih sempurna bila dihadirkan wajah Syekh M. Zainuddin Abdul-Majid (pendiri NW)... kita juga sebagai orang yang bertarekatkan Menghadirkan wajah Maulana Syekh ketika melakukan Muraqabah, Hadhrah dan lain-lain... dan hal ini sebenarnya tidak melanggar syari’at islam.

Dr Abdul-Halim Mahmud dalam kitab al-Madrasah Assyaziliyyah al-Haditsah berkata: "di antara adab berzikir adalah duduk sebagaimana ia duduk Tasyahhud dalam keadaan berwudu dan menghadap kiblat dengan mata terpejam, dan membayangkan wajah mursyidnya, dan berkeyakinan bahwa berkah atau bantuan yang diperoleh dari mursyidnya itu sesungguhnya berasal dari Rasulullah SAW."

Hasan Al-Banna pun sebagai pendiri gerakan Ikhwan al-Muslimin menyebutkan dalam kitabnya Al-Ma’tsurat ketika berbicara tentang Wirid Rabithah, sebelum membaca doa yang sudah ditentukan, beliau berkata:

...ثم يستحضر صورة من يعرف من إخوانه في ذهنه ويستشعر الصلة الروحية بينه وبين من لم يعرفه منهم...

Perlu diketahui bahwa ucapan yang sama dan doa yang senada terdapat pula dalam buku wirid Thariqat Hizib NW karangan Syekh M. Zainuddin Abdul-Majid Halaman 12. Oleh karena itu tidak aneh bila Hasan al-Banna dianggap sebagai seseorang yang asalnya sufi atau metode yang digunakannya banyak diambil dari ajaran sufi sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab: (Al-Ikhwan Al-Muslimun.. Kapan.. Bagaimana dan kenapa..?) edisi no:14 yang diterbitkan oleh Thariqat al-Azmiyyah.



Hal menghadirkan wajah seorang Wali-Mursid itu dalam istilah Thariqat Naqsyabandiyyah disebut dengan “Rabithah”, dan dalam Thariqot Dasuqiyyah Muhammadiyyah disebut dengan istilah “Muraqabah”. Dan bukan saatnya membicarakan mengenai cara, faedah dan kelebihan melakukan Muraqabah tersebut secara terperinci.

Oleh karena masih banyak yang mengingkari istilah Robithoh atau Muraqobah, maka dari itu kami mencoba mengumpulkan beberapa dalil dibolehkannya menghadirkan wajah seorang Wali-Mursyid itu sebagai berikut:

1) Imam al-Manawi dalam karangannya Kunuz al-Haqa’iq menukil sebuah hadits yang ditakhrij oleh Atthabrani dan al-Hakim, Rasulullah SAW bersabda: “Melihatku adalah Ibadah”.

2) Al-Bazzar mentakhrij sebuah Hadits yang Marfu’ dari Sayyiduna Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW juga pernah menceritakan keadaan para wali itu bahwa mereka jika dilihat, maka yang melihat itu akan berzikir…

3) Dan hadits yang ditakhrij oleh Ibnu Asakir Nabi SAW bersabda: “memandang wajah Ali itu adalah Ibadah”

4) Dan hadits yang ditakhrij oleh Addailami Nabi SAW bersabda: “menghadiri majlis seorang Alim itu ibadah”

5) Dan hadits yang ditakhrij pula oleh Addailami Nabi SAW bersabda: mengingat para Shalihin itu dapat menghapus dosa”

6) Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyiduna Ibnu Umar RA dari Sayyiduna Abu Bakr Asshiddiq RA ia berkata: “perhatikanlah Rasulullah SAW melalui Ahlulbait”

7) Atturmudzi meriwayatkan bahwa Sayyiduna Umar RA pernah suatu hari memandangi Ka’bah dan berkata: “betapa mulianya kehormatanmu wahai Ka’bah, dan sesungguhnya betapa lebih mulianya kehormatan seorang Mu’min itu di sisi Allah daripada kehormatanmu…”

8) Dalam kitab Attafsir Al-Kabir Jilid pertama karangan Imam Fakhr Arrazi diriwayatkan bahwa sesungguhnya ada seorang A’rabi pernah menemui Sayyiduna Al-Husain RA, kemudian ia menyalami beliau dan meminta tolong seraya berkata: aku pernah mendengar dari kakekmu SAW bersabda, “ jika engkau hendak ingin menyelesaikan suatu masalah, maka minta tolonglah pada salah satu dari empat… 1-Orang Arab yang Syarif. 2-Maula yang pemurah. 3-Pembawa Qur’an. 4-pemilik wajah yang Shabieh/cerah.”

Lalu A’rabi itu berkata kepada Sayyiduna Al-Husain RA: bangsa Arab telah mendeapatkan kemuliaan karena Kakekmu SAW. Sedangkan mengenai kemurahan itu terdapat dalam sejarah kalian. Sedangkan mengenai Qur’an itu turunya pada rumah kalian. Sedangkan mengenai wajah yang cerah itu, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “jika kamu hendak melihatku, maka lihatlah Al-Hasan RA dan Al-Husain RA.”

9) Dalam Kitab Kunuz Al-Haqa’iq, Addailami dan Al-Manawimentakhrij sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “seorang syekh dalam keluarganya bagai seorang nabi dalam ummatnya”.

10) Diriwayatkan ketika Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Sayyiduna Abu Bakr tentang apa yang paling ia cintai”… beliau menjawab: “memandangmu, menafkahkan hartaku padamu dan duduk bersama-sama denganmu”.

Wallahu A’lamu Bisshawab…

___________________

sumber: solahnawadi