Akal (Intelek) Dalam Pemikiran Al-Attas: Suatu Uraian Singkat

Akal (Intelek) Dalam Pemikiran Al-Attas: Suatu Uraian Singkat

Akal merupakan bagian terpenting dalam diri manusia. Karena akallah manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Karena akalnya ia diberikan amanah dan kewajiban oleh Sang Pencipta. Namun, tidak sedikit orang memahami akal secara sempit dan distortif. Maka tidak heran apabila ketidakadilan dalam pemikiran kerap mewarnai kehidupannya. Tulisan ini mencoba mengulas akal dari sudut pandang al-Attas.

Pembahsan ini meliputi beberapa isu penting, yakni: pertama, seluk-beluk akal dalam Islam; kedua, posisi akal dalam diri manusia; ketiga, perkembangan akal manusia; keempat, beberapa aspek akal; dan kelima, akal sebagai sumber ilmu.

Akar Istilah Akal

Sebagai seorang ahli filologi, al-Attas sangat teliti menggunakan suatu istilah yang biasanya ia sebut dengan “istilah kunci”. Melalui buku Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, ia betul-betul kembali menegaskan pentingnya istilah kunci ini. Dalam Islam, tegasnya, ada istilah-istilah kunci (technical terms) yang sudah mapan yang dihasilkan oleh kesepaduan akliah dan ruhaniah umat Islam, melalui pemahaman mendalam terhadap al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan utama umat ini. Mereka (baca: istilah-istilah kunci) merupakan kesepaduan dalaman, batin, yang tersimpan dalam ’rupacita’ akal fikiran yang menjadi asas kepada kesepaduan luaran, lahiriyah manusia, yang kemudian terbentuk rapi dan saling punya keterkaitan maknanya antara satu dengan yang lainnya, dan kesemuanya menentukan bentuk kepahaman mengenai hakekat dan kewujudan semesta yang dipancarkan olehnya.[1]

Akal, misalnya, adalah salah satu terminologi kunci dalam Islam. Ia diambil dari akar bahasa Arab ’a-q-ldari ’aqala ya’qilu ’aqlan wa ma’qulan. Secara literal, ia mempunyai beberapa makna; bermakna menahan, mengencangkan dan menguatkan (habs, ta’yid, tasydid), mengumpulkan (jam’); berketetapan (tathabbut), mengerti (fahm) dan mengikat sesuatu (diambil dari ’iqal al-ba’ir : pengikat unta).[2] Sementara pengertiannya secara teknis dapat ditelusuri dalam al-Ta’rifat-nya al-Jurjani, dimana al-Attas merujuk kepadanya, yang diantaranya menyatakan bahwa ia merupakan substansi yang terpisah dari materi namun aktifitasnya bersamaan dengan materi tersebut. Ia merupakan “jiwa yang berbicara” (al-nafs al-natiqah) yang ditunjukkan oleh seseorang dengan mengungkapkan kata “saya”.[3]

Terkait dengan hal ini al-Attas menyebutkan bahwa pada dasarnya kata ’aql ini menunjukkan suatu jenis ikatan (binding) atau belenggu (withholding), yang menunjukkan suatu properti dalaman yang mempunyai kemampuan mengikat obyek ilmu dengan kata-kata. Al-Attas menulis,

The term ’aql itself basically signifies a kinds of ’binding’ or ’withholding’, so that in this respect ’ql signifies an innate property that binds and withholds the objects of knowledge by means of words.[4]

Dengan demikian, sebagaimana Ibn Manzur, menurut al-Attas, dengan pengertian di atas, ’aql sebenarnya sinonim dengan qalb, di mana keduanya sama-sama merupakan organ spiritual kognisi manusia yang disebut hati (qalb). Dengan organ sipiritual ini manusia mampu dan mengenali yang mana yang benar dan salah, hak dan batil. Sehingga, diri manusia itu akhirnya disebut dengan “jiwa yang rasional” (al-nafs al-natiqah). Kata rasional (natiqah) tidaklah merupakan rasio yang ditunjukkan Barat. Sebab, menurutnya, dalam sejarah intelektual Barat, konsepratio telah mengalami banyak kontroversi dan telah menjadi problem. Sedangkan para ulama Islam dahulu tidaklah memisahkan rasio dari apa yang dikonsepsikan intellectus.[5]

Al-Attas menegaskan bahwa problem rasio di Barat dikarenakan konsep ratio itu sendiri telah terpisah dariintellectus yang diakibatkan dari proses sekularisasi dalam masa yang sangat panjang, sejak masa Yunani Kuno dan Romawi dahulu. Dalam Islam and secularism, misalnya, al-Attas membeber habis betapa proses sekularisasi ini betul-betul mengubah Barat dari berbagai sudut. Intinya, sekularisasi telah memisahkan yang bersifat spiritual dari dunia nyata. Tidak hanya memisahkan, bahkan Barat menolak yang transenden dari semua aspek kehidupan.[6]Akal, misalnya, yang asalnya mencakup yang imajinatif-intuitif, yang direpresentasikan oleh kata intellectus di Barat, setelah tersekulerkan menjadi tidak lebih dari sekedar daya nalar hayawani belaka. Dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Al-Attas menyatakan:

“Mereka (baca: orang-orang Barat) menegaskan bahawa bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya tiada perlu dia mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang ghaib yang tiada dapat diyakini, bahkan memadahilah manusia mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang zahir sahaja, atau yang dapat diperhatikan oleh ilmu-ilmu zahiri falsafah menerusiratio atau akal hayawani”[7]

Di bagian akhir dari buku Risalah-nya ini, berkaitan dengan rasio yang sempit ini, al-Attas memberikan empat poin kesimpulannya, yakni: pertama, pada umumnya, dalam kebudayaan Barat itu, ilmu merupakan kumpulan bahan-bahan alam zahir atau alam luaran serta penisbahan dan renungan yang berlaku mengenainya;kedua, cara yang sesuai bagi memperoleh ilmu adalah dengan pendekatan yang dilakukan oleh ratio, yang berdasar kepada pengalaman dan pemerhatian, pengkajian dan pemerikasaan dengan menggunakan pancaindera sebagai alat-alat penerima kenyataan luaran. Cara ini, menurutnya, sebagai suatu rencana selain dari rasionalisme, dekenali juga dengan nama empirisme; ketiga, akal tidak mungkin mencapai ilmu yang yakin mengenai alam dalaman dengan empirisme; keempat, kepercayaan mengenai hakekat-hakekat dalaman, mengenai alam batin, alam ruhani, hanya dapat dibentuk menerusi pandangan akal nazari, yang menganggapnya sebagai teori atau dugaan belaka, yang kebenarannya tiada dapat diyakini.[8]

Sains kontemporer, menerusi rasionalisme, empirisme dan pragmatisme, telah berupaya memberi penjelasan tentang akal ini sekongkret mungkin, mengikuti cara pandang “kebendaan” mereka.[9] Lihat saja perkembangan kajian akal kebendaan ini dalam psikologi modern yang dikenal dengan Cognitive Psychology, telah disederhanakan menjadi konsep yang tidak bisa dilepaskan dengan sains kognitif, yang semuanya tertakluk kepada proses informasi mekanik, seperti Neuroscience yang mempelajari Neoron (sel saraf). Baik filsafat pikiran (the philosophy of mind), komputer sains, Neuroscience, semuanya ada di bawah payung sains kognitif dalam psikologi modern. Contoh lain seperti tes IQ (Intellectual Quotient Test), di mana tes meliputi Stanford-Binet, Raven's Progressive Matrices, The Wechsler Adult Intelligence Scale[10] dan the Kaufman Assessment Battery for Children[11]. Semua itu merupakan tes kemampuan rasio manusia yang dalam bahasa lainnya disebut mind.[12]

Itulah sebabnya mengapa al-Attas menyatakan telah terjadi pemisahan antara ratio dengan intellectus di Barat, dimana hal itu tidak terjadi dalam Islam. Intelek adalah ‘aql yang mencakup ratio dan intellectus sekaligus dalam perspektif Islam. Dengan akal inilah manusia mempunyai kemampuan berbicara (natiq). Kemampuan berbicara pada manusia menunjukkan ianya sebagai rasional, sebab ia ada kemampuan mengungkapkan gagasan, ide, makna, memberi hukum, diskriminasi, dan klarifikasi. Dengan kata lain, manusia disebut juga sebagai “makhluk hidup yang berakal”.[13] Untuk penjelasan lebih mendalam tentang komprehensivitas akal (ratio danintellectus) dalam Islam, perlu sekiranya dijabarkan lebih mendalam tentang akal dalam jiwa manusia. Seperti apa akal, di mana posisinya dan apa saja fungsinya? Bagian berikut ini akan menjelaskan hal itu.

Akal dan Jiwa Manusia

Manusia mempunyai dua hakekat, yakni badan (body) dan jiwa (soul). Yang pertama berupa fisik (aspek luaran) dan yang kedua non-fisik (aspek dalaman), yakni spirit. Dalam psikologi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh sarjana-sarjana Islam awal, seperti Ibn Sina dan al-Ghazali, yang dirujuk oleh al-Attas, semuanya bersepakat dengan dualitas hakekat manusia ini. Dari aspek badan manusia, panca indera-lah yang menjadi representasi perbincangan, mungkin karena kesannya yang secara langsung dirasakan oleh manusia sehingga menjadi perhatian untuk dibahas. Panca indera ini menangkap pesan-pesan partikular yang kemudian disajikan kepada aspek dalaman yang siap dikesan oleh akal menjadi bentuk-bentuk universal. Itulah aspek dalaman manusia. Dan para ilmuan awal dahulu menganggap aspek terakhir ini lebih penting diperhatikan. Hal itu karena inti manusia pada dasarnya ada pada aspek dalamannya, bukan luarannya.[14] (Lihat skema tentang jiwa manusia di bagian akhir tulisan ini)

Dalam pandangan psikologi Islam, al-Attas menyatakan bahwa akal merupan salah satu aspek saja di antara beberapa aspek jiwa. Aspek-aspek itu meliputi hati (qalb), diri (nafs ), ruh (ruh) dan akal (’aql) itu sendiri. Semuanya merupakan aspek-aspek jiwa yang satu namun berbeda fungsinya. Kesemua aspek itu merujuk kepada dua entitas, entitas fisik dan non fisik.[15] Senada dengan hal ini, al-Ghazali memberi garis perbedaan yang tegas di antara aspek-aspek itu, sebagaimana berikut.

Kata al-Qalb, merujuk kepada dua makna. Pertama merujuk kepada segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada manusia. Ia merupakan organ yang dimiliki hewan dan oleh karenanya ia tidak khusus bagi manusia. Apabila ia mati, maka seluruh panca indera juga berhenti beraktifitas. Makna ini tidak dibahas dalam perbincangan psikologi al-Ghazali. Menurutnya, ia cukup dibincangkan oleh para dokter. Sedangkan makna kedua adalah substansi yang lembut (latifah), bersifat ketuhanan (rabbaniyah), dan spiritual (ruhaniyah). Kepada makna kedua ini jasad manusia bergantung. Sebab ia sebenarnya hakekat diri manusia.[16]

Sementara kata nafs, menurutnya lagi, juga mempunyai dua makna. Pertama adalah sesuatu kekuatan untuk marah (ghadb), berkeinginan (syahwah) dalam diri insan. Dua kekuatan ini kalau bagi ibn Sina ada di bawah kekuatan gerak (muhrikah), yakni kekuatan atau daya yang muncul dalam saraf, tulang, daging pada badan, sehingga memunculkan efek baik positif maupun negatif yang nantinya diri manusia bisa memberikan respon dan eksekusi.[17] Selanjutnya makna yang kedua dari nafs adalah sama maknanya dengan ruh yang di atas, hanya, menurut Ghazali, ia punya karakter yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya. Apabila ia menentang kepada syahwat dan dekat kepada Penciptanya, maka ia disebut sebagai al-nafs al-mutmainnah; apabila ia dalam keadaan banyak mencela (talumu) tuannya akibat kelalaian beribadah kepada Sang Pencipta, maka ia disebut al-naf al-lawwamah; dan apabila ia dalam keadaan bersekongkol dengan kehendak syahwatnya dan mengikuti instruksi syaitan juga, maka ia disebut dengan al-nafs al-ammarah bi al-su’.[18]

Sementara kata ruh, menurut al-Ghazali, juga mempunyai dua makna. Pertama, jenis halus (jins latif) yang sumbernya ada pada rongga hati fisik (al-qalb al-jasmani) yang kemudian menyebar ke seluruh lapisan badan melalui urat-urat saraf. Ini yang meluahkan cahaya hidup kepada fisik manusia, dimana panca indera adalah staf-stafnya. Apabila ia berhenti beraktifitas, maka seluruh fisik akan berhenti, karena staf-stafnya juga mendadak berhenti. Inilah makna ruh yang biasa dipakai oleh para dokter. Kedua, maknanya adalah substansi yang lembut, yang mengetahui (al-alimah), mengerti (al-mudrikah). Apabila al-Ghazali menafsirkan ayat tentang cahaya (nur)[19], maka al-Ghazali memberikan peringkat-peringkat pada ruh manusia. Peringkat-peringkat itu meliputi: ruh sensitif (al-ruh al-hassas), yang merupakan tuan dari panca indera, sebagaimana disebut sebelumnya; ruh imajinatif (al-ruh al-khayali), yang ruh yang menyimpan data yang ditranfer dari panca indera luar ke panca indera dalaman dan disiapkan untuk disajikan kepada aql untuk diproses selanjutnya; ruh akal (al-ruh al-aql), yang merupakan aspek yang memproses informasi dari fakultas imajinatif; ruh fikri (al-ruh al-fikri), yakni ruh yang memproses ilmu-ilmu akal murni; dan ruh suci profetik (al-ruh al-quds al-nabawi), yakni ruh yang khusus dimiliki oleh para nabi dan sebagian para wali yang mampu menyingkap yang tersembunyi dalam alam ghaib dan sebagian dari pengetahuan di alam malakut.[20]

Dan terakhir kata 'aql, yang berkaitan dengan dua makna juga. Pertama, digunakan sebagai yang mengetahui hakekat segala sesuatu. Dengan makna ini maka ia merupakan ungkapan sifat ilmu yang letaknya di dalam hati. Kedua, biasanya diungkapkan untuk menunjukkan substansi spiritual yang mengerti macam-macam ilmu. Ini adalah aspek halus dalam diri yang mempunyai kemampuan kongnitif, sama seperti makna qalb yang kedua. Ini juga sama dengan yang dimaksud al-Ghazali pada peringkat-peringkat ruh yang tiga terakhir, sebagaimana disebutkan di atas.[21] Al-Ghazali kemudian menyatakan bahwa sebenarnya makna-makna itu seperti berbeda-beda, tapi mereka bisa dirangkum dengan makna yang satu, yakni bahwa keempat aspek itu adalah: ”substansi halus, yang mempunyai kekuatan mengetahui dan mengerti dalam diri manusia”.[22] Oleh karena itu, wajar sekiranya al-Attas membuat suatu kesimpulan tentang keempat aspek ini, bahwa ketika jiwa itu bergelut dengan tubuh, maka ia disebut ”diri”; ketika ia sedang mengalami pemahaman intuitif, maka ia disebut ”hati”; ketika ia kembali kedunianya yang abstrak, maka ia disebut ”roh”; dan apabila ia terlibat dengan pemahaman dan intelektual, maka ia disebut ”akal”.[23]

Dengan akal, manusia disebut ”jiwa yang rasional” (rational soul). Jiwa rasional ini, menurut al-Attas, mempunyai dua kekuatan (power) yang sama-sama sebagai aspek intelek. Yang pertama adalah disebut ”aktif” (’amilah) dan yang kedua disebut kognitif (’alimah). Yang pertama ini merupakan terusan dari kognitif sebagai prinsip pergerakan (movement) dari badan manusia, sebagai rasio praktikal.[24] Aspek ini juga yang memproduksi ’emosi’ apabila berhubungan dengan kekuatan penggerak (motive power) dari pada jiwa. Namun apabila berhubungan dengan kekuatan memahami (perceptive power) ia sebagai yang mengatur obyek fisik dan menghasilkan skil dan seni pada manusia. Dan apabila ia berhubungan dengan imajinasi rasional, maka ia yang membangkitkan berbagai premis dan kesimpulan.[25] Mungkin ini adalah aspek terendah yang dipahami Barat sebagai akal secara keseluruhan, akal atau pikiran di Barat yang diistilahkan dengan mind. Ia merupakan aspek mengonkretkan yang asbstrak menuju suatu yang empirik, di mana proyek empirikisasi ini adalah cara-cara sains kontemporer mengkongkretkan permasalahan.[26] Sebab, bagi banyak kalangan di Barat kontemporer, kalau sudah namanya experience, apapun bentuknya, mau abstrak atau pun kongkret, semuanya mesti bisa diskreening oleh sains yang saintifik.[27]

Dalam proses abstraksi kognitif, akal memanfaatkan apa yang dicerap oleh panca indera (luar dan dalam) dan menyajikannya menjadi intelligible dalam imanjinasi. Dalam hal ini, al-Attas menyatakan bahwa proses abstraksi dari yang boleh dicerap oleh panca indera hingga sampai kepada yang boleh dicerap oleh intelek mengalami beberapa gradasi untuk mencapai ’makna’. Gradasi yang dimaksud sepertinya merupakan tingkatan-tingkatan data yang berhasil ditransfer melalui alam dunia ini (the world of nature), dan ini yang disebut oleh al-Attas sebagai sensible, kepada fakultas-fakultas imajinatif dan internal manusia hingga sampai kepada intelek dan sudah berupa sesuatu yang bisa dipahami olehnya, yang al-Attas sebut dengan intelligible.[28]

Yang ia sebut sensible sebenarnya adalah bentuk-bentuk pertikular yang diproses dalam fakultas-fakultas dalaman.[29] Fakultas dalaman yang pertama sekali menerima data dari luar ini disebutnya sebagai common sense(Arab: al-hiss al-musytarak), atau disebut juga ”fantasi”. Kemudian bersama fakultas lainnya, yakni fakultas representasi yang bertugas merekam dan menyimpan data dari fantasi, fakultas estimasi yang bertugas menilai, fakultas retentif dan rekolektif yang bertugas menyimpan dan merekol imej yang sudah absen dari panca indera, dan fakultas imajinasi yang bertugas data-data sensible secara sempurna dan siap diabstrak, data sensible itu kemudian sudah siap digunakan oleh jiwa untuk dinilai, diklasifikasi dan dianalisa serta diberikan keputusan-keputusan. Apabila jiwa menggunakan fakultas imajinasi ini sebagai instrumen intelektual, maka ia disebut ’kognitif’. Apabila ia digunakan menurut posisinya yang alamiah, maka ia dipanggil ’imajinasi’.[30]

Jika dilihat dari hubungan antara intelek dengan imajinasi, maka al-Attas menganggap bahwa isi dari imajinasi ini adalah yang sebagai potensi (yang disebut dengan potential intelligible), sebagai cikal bakal menjadi aktual (yang disebut dengan actual intelligible). Hal itu terjadi ketika intelek memberikan penilaian terhadap yang potensial tersebut.[31] Ada aktivitas intelek terjadi secara terus menerus di sini. Intelek memanfaatkan data actual intelligible ini untuk sampai kepada makna yang universal. Dengan hasratnya, kesadarannya, intelek membadingkan bentuk-bentuk yang ada dalam imajinasi itu, menganalisanya, membedakan hakekat-hakekat esensinya dari aksidensinya, yang terdapat padanya (being attached), membedakan makna-makna yang berbagai diproses menjadi makna universal yang satu (single universal meaning), dan dari proses itu muncul juga ketidaksamaan menjadi makna-makna yang berbagai (multiple meaning).[32] Aktivitas intelek ini, bagi al-Attas, termanifestasikan dalam tiga formulasi, yakni formulasi devisi-devisi logik, yang meliputi genus, species dandifferentia; formulasi silogisme, yang memungkinkan manusia mencapai suatu kesimpulan; dan formulasi definisi, yang memungkinkan seseorang mendefinisikan apa-apa yang dia pahami.[33]

Perkembangan Akal

Jika dalam realitas eksternal manusia mengalami perkembangan, yakni pada aspek-aspek fisik, sejak ia dalam kandungan hingga lahir kedunia, dari kanak-kanak (infancy) hingga dewasa (maturity), maka aspek internal juga mengalami perkembangan.[34] Menurut al-Attas, ada tiga tahapan perkembangan intelek manusia ini, dilihat dari sudut pandang prioritas (priority) dan non-prioritas (posteriority). Ketiganya adalah: absoute potency (al-isti’dad al-mutlaq), possibel or possessive potency (al-mumkinah dan al-malakah), dan perfection potency (al-kamal).[35]Kesempurnaan kekuatan akal ini (cognitive power) adalah untuk kesempurnaan jiwa; kekuatan aktif akal adalah untuk memenej aspek yang lebih rendah pada jiwa. Apabila sudah terkoordinir dengan baik, maka jiwa manusia akan semakin baik, semakin bersih dan selalu meningkat ke tahapan-tahapan jiwa yang tinggi. Sebaliknya, apabila ia semakin jauh dari koordinasinya, maka ia akan turun ke tingkatan yang serendah-rendahnya.[36]

Tingkatan intelek itu, pertama, adalah tahap yang disebut dengan potensi absolut (Arab: al-isti’dad al-mutlaq). Disebut demikian karena, barangkali, potensi itu sudah sedia ada, merupakan anugerah ilahi, semenjak ia pertama kali dicipta, setelah dihembuskan ruh oleh sang Maha Pencipta. Namun tahap ini belum bisa berbuat apa-apa. Kedua, adalah tahap di mana manusia sudah memungkinkan untuk menggunakan potensi pada tahap sebelumnya. Ini yang disebut dengan possible dan kemudian menjadi kemampaun pada dirinya, yang disebut dengan kapasitas posesif, bakat, malakah dalam bahasa Arab. Ketiga, adalah tahap sempurnanya kemampuan dari bakat sebelumnya. Menurut al-Attas, sempurnanya kemampuan ini ketika kanak-kanak sudah dewasa. Di masa kematangan usia ini kekuatan menjadi teraktualisasi secara sempurna. Ia mampu mengaktualisasikan kekuatannya itu kapanpun ia kehendaki tanpa memerlukan suatu stimulasi. Ia cukup dengan berkeinginan berbuat, maka ia mampu melaksanakannya seketika.[37] Dalam istilah Arabnya, yang pertama disebut quwwah mutlaqah hayulaniyyah, yang kedua disebut quwwah mumkinah wa malakah, dan ketiga disebut kamal al-quwwah.[38]

Untuk lebih jelasnya ketiga tahapan itu al-Attas memberi contoh seperti kekuatan ’menulis’ pada seseorang. Menurutnya, setiap jiwa yang dicipta oleh Allah Swt pada dasarnya sudah diberikan kemampuan dasar menulis. Hanya saja, kemampuan yang ada ini hanya merupakan potensi yang belum aktif atau belum bersentuhan dengan keinginan dan kehendak untuk menulis. Semua manusia mempunyai potensi ini. Inilah potensi pada tahap awal yang disebut dengan potensi absolute (al-isti’dad al-mutlaq). Setelah itu, potensi itu meningkat untuk beraktifitas walaupun masih meraba-raba sifatnya. Dengan proses belajar dan latihan ia akhirnya melalui kemungkinan-kemungkinan dalam menulis. Mungkin ia mulai meniru orang lain dalam menggerakkan tangannya, menyentuh-nyentuhkan tangan dengan obyek yang bisa dibubuhi tulisan. Lalu seterusnya ia mulai mengenal mana kertas, mana tinta, mana alat tulis, dan sudah mulai mengenal apa yang bisa ia tulis. Inilah tahap kedua, yakni tahap kemungkinan dan kebakatan. Sadangkan tahap yang terakhir adalah ketika kemampuan itu sudah betul-betul bisa digunakan kapan saja ia mau tanpa harus dimulai dengan meniru, diberikan stimulasi dan lain-lain, dimana kemampuan itu akan muncul kapan saja ia mau. Inilah yang disebut dengan kekuatan yang sudah sempurna, yaitu kekuatan pada tahap ketiga.[39]

Aspek-Aspek Akal

Berkaitan dengan tiga tahapan di atas, al-Attas menguraikan beberapa aspek intelek yang mengatur tahapan-tahapan perkembangan intelektual manusia mulai potensi yang mendasar hingga kepada pengaktualisasian intelek secara sempurna. Hal ini terkait dengan pola hubungan dan operasi intelek kognitif (cognitive intellect, arab:’alimah) yang disinggung di atas, disamping kognisi yang pertama, yakni intelek aktif (active intellect, arab:’amilah). Al-Attas menyatakan:

The relation and operations of the speculative power of cognitive intellect involve four aspects of the intellect governing the stages of human intellectual development from mere potency to perfect actualization.[40]

Keempat aspek itu meliputi material intellect (al-’aql al-hayulani), possible intellect (al-’aql al-mumkin) dan possible intellect (al-’aql bi al-malakh), intellect-in-action (al-a’ql bi al-fi’l) dan acquired intellect (al-’aql al-mustafad). Keempat formasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dijabarkan oleh filosof-filosof sebelumnya. Ia akan didapati dalam pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, bahkan al-Ghazali. Hanya saja, sebagaimana al-Ghazali, al-Attas sepertinya tidak pernah mengaitkan formasi akal itu dengan teori emanasi, yaitu tentang terori akal sepuluh yang sangat dikenal pada ilmuan-ilmuan sebelumnya. Walaupun demikian, al-Attas menyakini adanya Akal Aktif atau Active Intellect (Arab: al-Aql al-Fa’al) yang datangnya dari Maha Pencipta yang senantiasa memberi stimulus pada perkembangan akal manusia, sebagaimana di bawah akan dijelaskan.

Aspek pertama adalah intelek dasar, atau dikenal dengan material intellect (al-’aql al-hayulani) yang dimiliki oleh setiap orang. Yakni intelek yang semata-mata hanya potensi yang ada dan itu sifatnya absolut, di mana ianya merupakan anugerah Allah semenjak diciptakannya. Kata hayulani ini, menurut al-Attas, dianalogikan dengan konsep Yunani tentang konsep materi dasar (primary matter), yakni hyle. Konsep materi dasar ini adalah materi tanpa bentuk, namun ia mempunyai kemampuan menerima segala jenis bentuk.[41] Bentuk (surah) menurut Ibn Sina sudah ada di sini. Walaupun demikian, ia masih belum aktif, sebab ia pada tahap persiapan (al-isti’dad).[42]Al-Ghazali malah menyebutkan bahwa bentuk itu (al-Ghazali lebih memilih kata nau’) yang dimiliki setiap orang adalah sama, hanya kekuatan dan potensinya tidak sama. Menurutnya juga, kalangan ahli hikmah (hukama’) berselisih pendapat dalam hal ini.[43]

Aspek yang kedua adalah possible intellect (Arab: al-’aql al-mumkin) atau possessive intellect (al-’aql bi al-malakah). Yakni akal sudah boleh menerima apa yang terdapat pada aspek pertama di atas. Sesuatu yang dicerna oleh apsek ini adalah prinsip-prinsip dasar yang dibangun berdasarkan premis-premis dari data-data yang diterima. Namun yang ia dapat tidak dengan cara deduksi atau verifikasi, tapi dengan ”kemestian” (necessarily), sebagai contoh, fakta bahwa ”semua” lebih besar dari ”sebagian”.[44] Jika intelek dasar mempunyai power namun tanpa aksi, maka pada aspek ini selalu beraksi. Ia sebagai agen untuk membawa apa yang ada dalam akal potensial, setelah menjadi mungkin (possible) dicerna, yang berbentuk prinsip-prinsip pertama (al-ma’qulat al-ula), kepada suatu tahapan yang disebut dengan prinsip-prinsip kedua atau secondary intelligibles (al-ma’qulat al-tsawani).[45]Bentuk-bentuk yang dieksekusi oleh aspek ini tidaklah dinilai, tapi sekedar diambil dan disimpan dalam tempat penyimpanan. Dengan demikian, intelek sudah menjadi sebagai pemilik informasi tadi. Ia sudah memilikinya dan oleh karenanya ia sudah menyiapkannya untuk diproses oleh aspek akal setelahnya. Oleh karenanya, aspek ini juga disebut dengan possessive intellect (al-’aql bi al-malakah). Mungkin ini yang disebut ’bakat’ dalam bahasa Melayu-Indonesia.

Aspek ketiga adalah intelek yang beraktifitas atau Intellect-in action (al-’aql bi al-fi’l). Intelek ini adalahal-’aql bi al-malakah yang kesiapannya secara fitrah untuk berpikir dan belajar sudah sempurna. Menurut Ibn Sina, pada tahapan ini al-’aql al-fa’al mencurahkan al-ma’qulat al-tsaniyyah dan oleh karenanya, ianya selalu beraktifitas.[46] Aktifitas yang dimaksud adalah menilai bentuk-bentuk yang sudah tersimpat pada akal sebelumnya di atas.[47] Kapan saja bentuk-bentuk yang tersimpan itu diinginkan oleh aspek ini, maka ia akan langsung bisa diabstrak oleh akal ini.

Aspek keempat adalah yang disebut dengan acquired intellect (Arab: al-’aql al-mustafad), yakni akal yang sudah aktif tadi (al-’aql bi al-fi’l) telah sanggup berpikir secara jernih tanpa perlu daya upaya lagi karena sudah terlatih sedemikian rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal ini. Hal ini terjadi ketika intelek yang potensial itu sudah sampai ke intelek yang aktual absolut dan juga ketika intelek ini sudah selalu beraktifitas dan selalu mengadakan kontak dengan intelek potensial. Menurut al-Attas, intelek potensial mentransfer bentuk-bentuk yang sudah spesifik, agar intelek mendapatkan bentuk-bentuk itu dari luar dirinya sendiri.[48] Yang dimaksud dari luar dirinya disini, barangkali, adalah Intelek Aktif, sebab akal pada aspek dan tahapan ini sudah sanggup menerima pancaran ilmu pengetahuan dari Intelek Aktif (al-’aql al-fa’al). Menurut al-Attas, perkembangan intelek dari potensi absolut hingga ke aktual absolut terjadi secara umum pada manusia. Hanya, menurutnya juga, ada suatu tahapan yang tidak didapati pada manusia umumnya, yaitu ketika intelek posesif betul-betul reflek menggunakan bentuk-bentuk pada dirinya, yakni ketika ia berfikir, dan berfikir pikiran yang sedang ia pikirkan, maka ia sebenarnya telah mencapai tahapan aktualitas absolut dan menjadi akal mustafad.[49]

Intelek Aktif, bagi al-Attas, adalah Ruh yang Suci/Holy Spirit (al-Ruh al-Qudus). Al-Attas mengutip tiga ayat berkaitan dengan Intelek Aktif ini; al-Najm, 53: 5-6, al-Syura, 42: 51, dan al-Takwir, 81: 19-20. Sehubungan ini, al-Attas menyatakan, Intelek Aktif ini selalu aktif memberikan stimulus, yakni yang membantu membangkitkan potensi pada intelek dasar, dari yang keadaannya masih tidur (dormancy), dengan mengaktifkannya bentuk-bentuk universal dan kebenaran yang tetap dalam fikiran, hingga mencapai intelek yang sudah mungkin dimanfaatkan. Hingga di sini pun Intelek Aktif ini terus memberikan stimulus hingga intelek manusia ini mempunyai kemampuan sendiri untuk mengelola intelektulitasnya. Dan intelek ini berkemungkinan kemampuannya selalu meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi. Semua itu berkat stimulasi dari Intelek Aktif.[50] Namun demikian, pada tahapan-tahapan yang dilaluinya, pada tingkatan intelek yang sudah boleh mengatur dirinya ini jenis hayawani dan kemanusiaannya mengalami proses kesempurnaan. Dalam mencapai performa yang tertinggi, setiap manusia ternyata mengalami ketidaksamaan atau gradasi. Performa akal tertinggi ini disebut dengan akal suci (al-'aql al-qudsi). Akal jenis ini hanya dimiliki oleh para nabi, para manusia suci dan saleh dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Semua itu sangat bergantung kepada tingkatan kecemerlangannya.[51] Untuk mempermudah, al-Attas memberi peta pikirannya mengenai perjalanan intelek seperti bagan berikut:

Dari uraian di atas, jelas bahwa dalam Islam tidak sama dengan yang dikonsepsikan dalam sains kontemporer saat ini. Pada jiwa manusia paling tidaknya ada dua aspek; animal dan rasional. Akal merupakan aspek yang terdalam dan sangat menentukan kondisi jiwa yang terluar pada manusia. Dengan kedalaman aspek ini, akal manusia bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi dan tambah lebih tinggi lagi mengikuti kualitas diri manusia itu. Dan cara pandang seperti ini sangat rapat dan dipengaruhi nilai-nilai agama. Dengan kata lain, kedalaman pengamalan agama pada seseorang merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari proses naiknya intelek pada dirinya. Penafian aspek-aspek dalaman ini berarti juga penafian agama itu sendiri.

Akal Sebagai Sumber Ilmu

Sebagai sumber ilmu, apabila diteliti lagi dari uraian intelek di atas, maka akan didapati banyak tingkatan dalam pendapatan ilmu. Sebab, pada akal ada sisi-sisi yang terluar dan terdalam. Yang terdalam dari akal erat hubungannya dengan intuisi dan wahyu, dan ilmu yang dihasilkan juga berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan bagian terluar erat hubungannya dengan aspek panca indera manusia yang juga menghasilkan ilmu yang empirik-rasional.

Dilihat dari istilahnya, yakni sebagai kekuatan manusia untuk bernalar, maka akal dalam klasifikasi ilmu yang dikonseptualisasikan al-Attas menghasilkan ilmu-ilmu 'aqli. Menurutnya, ilmu yang berdasarkan akal adalah sains filosofis, rasional dan intelektual, yang meliputi sains kemanusiaan (human sciences), sains tabii (natural sciences), sains terapan (applied sciences) dan teknologi.[52]

Dalam konsep pendidikannya, ilmu-ilmu dalam klasifikasi ini termasuk ilmu yang fardhu kifayah. Artinya, ilmu ini tidak harus masing-masing orang menguasainya. Fardhu kifayah adalah amalan yang wajib dikerjakan namun kewajiban itu akan gugur apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian. Ini bisa diartikan bahwa untuk ilmu-ilmu di bawah akal ini hendaknya manusia berbagi tugas, tidak semestinya seragam. Semakin beragama bidang yang dikuasai masyarakat, maka semakin tinggi kualitas masyarakat itu. Berbeda dengan fardhu kifayah yang cukup diemban oleh sebagian orang saja, ilmu fardhu 'ain harus diemban oleh setiap individu. Ini dalam falsafah pendidikan al-Attas adalah ilmu-ilmu yang dibawah wahyu, yaitu ilmu-ilmu seperti al-Quran, Sunnah, Shariah, Tauhid, Tasawwuf, dan bahasa Arab. Menurutnya, semua orang Islam harus mengerti ini dan hukumnya wajib bagi tiap individu.[53]

Klasifikasi ilmu al-Attas kepada fardhu ain dan fardhu kifayah diambilkan dari skemanya tentang konsep manusia, ilmu dan universitas, sebagaimana berikut: pertama, manusia yang meliputi jiwa dan entitas dalaman (ruh, nafs, qalb, 'aql) dan badan dan fakultas-fakultas fisiknya; kedua, ilmu yang terdiri dari ilmu pemberian Tuhan dan ilmu yang didapatkan oleh manusia; ketiga, universitas yang meliputi ilmu-ilmu fardu ain dan kifayah. Dalam skema itu, posisi The God-given Knowledge berada di atas dan the acquired knowledge berada di bawah. Sepertinya posisi ini penting dalam pandangan al-Attas. Sebab, posisi di atas menunjukkan itu adalah tinggi dan terhormat. Dan menurutnya, posisi yang di atas ini merujuk kepada fakultas dan sensasi spiritual manusia. Sedangkan posisi di bawahnya menunjukkan kepada fakultas dan sensasi fisikal manusia. Menariknya, al-Attas memposisikan intelek ('aql) sebagai penghubung antara bagian fisikal dan spiritual itu. Dengan alasan bahwa 'aqlpada kenyataannya merupakan substansi spiritual, seperti yang dijabarkan sebelumnya, yang memungkinkan manusia untuk mengerti realitas dan kebenaran spiritual.[54]

Penutup

Dari paparan di atas, kini jelas bahwa akal dalam diskursus Islam, dalam hal ini menurut uraian al-Attas, merupakan dimensi dalaman (inner dimension) manusia. Tanpa akal manusia tak ubahnya seperti hewan yang hanya tahu makan, minum, tidur dan lain-lain. Ilmu yang didapat oleh manusia karena ada akal. Tanpa ada media akal, betapa pun sehatnya panca inderanya, manusia tidak bisa mendapatkan ilmu. Begitu juga, walaupun ada wahyu, kalau akal tidak sehat, maka akan sia-sia belakan. Maka bersukurlah mempunyai akal. Namun akal tidak segala-galanya. Ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh akal. Maka akal perlu takluk kepada yang lebih tinggi lagi, yakni yang sifatnya spiritual. Di sinilah pentingnya intuisi dan wahyu dalam pemikiran al-Attas.

Chart of human soul by al-Attas

Human Intellect Classified As Follows by al-Attas:


* disampaikan dalam diskusi mingguan INPAS Jawa Timur, Ahad, 16 Januari 2011, di Surabaya.

* alumni Universiti Malaya, Malaysia, 2010, dalam pemikiran Islam, dengan judul tesis “The Sources of Knowledge in Islam: A Study on the Philosophical Ideas of Syed Muhammad Naquib al-Attas”, dan juga peneliti yunior di INSISTS dan pernah mengkoordinatori INSISTS Malaysia sejak tahun 2006-2009.

[1] Syed Muhammad Naquib al-Attas (seterusnya disebut al-Attas) (2007), Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia (USM), h. 58. (Seterusnya disebut Peri Ilmu)

[2] Lihat selengkapnya Muhammad ibn Mukram ibn Manzur al-Ifriqi al-Misri, Lisan al-Arab, jilid I, Beirut: Dar Sadir, artikel ‘aql.

[3] Al-Sayyid al-Syarif abi al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Husaini al-jurjani al-Hanafi (2000), al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 154. Sementara Abu Ali Husain ibn Sina (w. 1037 M/428 H) (seterusnya disebut ibn Sina), menjelaskan bahwa sebutan ”saya” (Arab: ana) adalah identitas jiwa seseorang yang tidak merujuk kepada diri badani, tapi kepada diri ruhani. Ini karena beberapa alasan, antara lain: pertama, ia (baca: ”saya”) saja yang tetap berterusan(al-thabit al-mustamir). Sedangkan jasad atau badan akan mati dan berganti. Jadi badan selalu baru dan tidak berterusan. Sedangkan ”saya” tetap dan berterusan, dalam semua usia diri itu. Badan manusia, dari usia awal hingga dewasa selalu mengalami perubahan dan pengurangan. Tapi tidak dengan ”saya”. ”saya” selalu ada, selalu ingat apa yang boleh terjadi di masa kanak-kanak hingga usia senja, ia tetap ”saya”, walaupun diri badan sudah keriput renta. Kedua, ”saya” yang berperan dalam kesadaran. Ketika seseorang melaksanakan suatu perbuatan, seperti belajar atau menulis, maka dalam kondisi ini, yang meminta dirinya berbuat itu adalah ”saya”. Jadi ”saya” ini yang berperan menyuruh diri melaksanakan sesuatu. Maka yang beraktifitas itu bukan saja badan tapi ”saya” yang ruh tadi. Ketiga, ”saya” yang bisa berbuat sesuatu yang tidak tunggal. ”saya” bisa mengerjakan berbagai hal yang berbeda-beda dan bahkan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan badan akan beraktifitas secara terpisah-pisah. Seperti ”saya” makan, minum, berjalan, duduk, mendengar, berucap, berkhayal, dan berpikir, maka ”saya”-lah yang mengumpulkan aktifitas itu dalam diri ”saya”. Yang bisa berbuat demikian itu hanya ”saya”, bukan badan. Selengkapnya lihat Yohana Qamyar (1985), Falasifat al-Arab: Ibn Sina, Cet. 2, Beirut: Dar al-Masyriq, h. 37-39.

[4] Al-Attas (1980), The Concept of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), h. 14. Seterusnya disebut The Concept of Education.

[5] Al-Attas (1999), The Concept of Education, h. 13.

[6] Untuk menelusuri lebih jauh proses sekularisasi di Barat ini, dalami buku al-Attas (1993), Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, khususnya bagian pertama dengan judul The Contemporary Western Christian Background. Sebagai perbandingan, baca juga bukunya Prolegomena to The Metaphysic of Islam (seterusnya disebut Prolegomena), khususnya bagian pengantar, Risalah, dan Peri Ilmu.

[7] al-Attas (2001), op.cit., h. 23.

[8] Lihat al-Attas dalam Risalah-nya, h. 195.

[9] Cara pandang kebendaan ini salah satu worldview Barat yang telah al-Attas urai panjang lebar dalam berbagai bukunya, termasuk dalam buku Peri Ilmu, lihat hal. 19, 49 dan 61.

[10] Lihat Irla Lee Zimmerman (1973), Clinical Interpretation of the Wechsler Adult Intelligence Scale,

[11] Alan S Kaufman (2009), IQ Testing 101, New York: Springer Publishing Company.

[12] Wan Daud menjelaskan, karena pembatasan psikologi modern kepada sisi fisikal ini, ada penyempitan makna dari istilah psyche itu sendiri. Menurutnya, dimana pendapat ini merupakan hasil bincang-bincangnya dengan al-Attas, nama psikologi harus diganti, sebab makna sebenarnya psyche itu adalah ruh. Padahal psikologi modern sudah tidak berminat lagi membincangkan ruh akibat distorsi oleh tren sains modern. Termasuklah yang menjadi korban adalah perbincangan masalah intelek yang juga terdistorsi kepada perbincangan yang selalu dipaksakan ke arah empiris. Lihat Wan Daud (1998), The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC, h. 53 dan catatan kaki ke 73. (Seterusnya disebut The Educational Philosophy).

[13] Al-Attas (1999), op.cit., h. 14.

[14] Dalam hal ini, ibn Sina dan al-Ghazali, sama-sama berkesimpulan bahwa jiwa mempunyai peran sentral pada diri manusia. Bagi Ibnu Sina, badan tidak wujud tanpa ada jiwa, sebab itu adalah sumber kehidupan dan pergerakannya. Lihat Ibnu Sina (1959), De Anima, bagian psikologi dari kitab al-Syifa’, ed. F. Rahman, London: Oxford University Press, h. 45. Begitu juga al-Ghazali yang menekankan peranan qalb di atas anggota bada (jawarih). Hati adalah tuannya dan badan hanya pengikut dan pembantunya. Lihat al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, jilid 3, Singapur, Jeddah, Indonesia: al-Haramain, h. 2. Seterusnya disebut Ihya'.

[15] Al-Attas (1990), The Nature of Man and The Psychology of Human Soul, Kuala Lumpur: ISTAC, h. 5. Seterusnya disebut The Nature of Man.

[16] Al-Ghazali, (tt.), Ihya’, jilid 3, h. 3; lihat juga al-Ghazali (1927), Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs, Egypt: Matba’ah al-Sa’adah, h. 13-14. Seterusnya disebut Ma'arij.

[17] Ibn Sina (1992), al-Najat, fi al-Mantiq wa al-Ilahiyyat, jilid 2, ed. Abd al-Rahmad Umairah, Beyrut: Dar al-Jalil, p. 5. Seterusnya disebut al-Najat.

[18] Al-Ghazali, (tt.), Ihya’, jilid 3, h. 3.

[19] Al-Nur, 24: 35.

[20] Lihat selengkapnya al-Ghazali (1964), Misykat al-Anwar, ed. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Cayro: al-Dar al-Qawmiyah, h. 76-83. Pembagian ini sebenarnya sama dengan macam-macam akal, sebagaimana nantinya di bawah dijabarkan.

[21] Lihat al-Ghazali, Ihya’, h. 4.

[22] Lihat al-Ghazali, Ihya’, h. 4.

[23] Al-Attas (1990), op.cit., h. 8.

[24] Ibid., h. 16; lihat juga Ibn Sina, al-Najat, h. 10; al-Gazali, Ma’arij, h. 51.

[25] Al-Attas (1990), op.cit., h. 16.

[26] Periksa Gilbert Ryle (1984), The Concept of Mind, Chicago: The University of Chicago Press, yang kemudian diikuti oleh D. M. Armstrong (1981), The Nature of Mind, Sussex: The Harvester Press. Keduanya sama-sama menyederhanakan makna intelek itu kepada pengertian yang sangat praktis, yakni menjadi mind. Lihat juga statemen Wilson H. Sheldon yang menyatakan, “Intelligence is simply the capacity of looking for some practical advantage or for the sake of knowing nature’s laws, or for delight of contemplating the beautiful or thrilling…” Selengkapnya baca Wilson H. Sheldon (1952), “What Is Intellect? Part Two”, Philosophy East and West, Vol. 2, No. 2, Jul., 1952, pp. 129-143.

[27] Ini mirip dengan yang dinyatakan Leon N. Cooper ketika mengomentari mengenai kecanggihan sains kontmporer dan melihat intelek sebagai yang bisa disimplifikasi menjadi yang empiris, “…there is nothing about the experience that cannot be understood by science”. Leon N. Cooper (1984), “Source and Limits of Human Intellect”, Leonardo, Vol. 17, No. 1, 1984, h. 45.

[28] Al-Attas (1990), op.cit., h. 17

[29] Dalam psikologi Ibn Sina dan al-Ghazali, panca indera luar ini dimiliki tidak saja oleh manusia, tapi juga haiwan pada umunya. Oleh sebab itu, pada aspek ini, makhluk hidup yang memiliki ini disebut al-nafs al-hayawaniyyah. Jiwa hewani ini, bagi hewan hanya terbatas kepada panca indera luaran, sedangkan bagi manusia masih ada lagi yang disebut panca indera dalaman, sehingga kemampuan manusia tidak saja movement, tapi juga perceptive dan cognitive. Lihat Ibn Sina (1956), Psychologie D’Ibn Sina (Avicenne), D’Apres Son Oeuvre as-Sifa, ed. Jan Bakos, Praha: De La Academie Tchecoslovaque Des Sciences, h. 53-197; lihat juga Alber Nasri Nadir (1968), al-Nafs al-Basyariyyah ‘Ind Ibn Sina, Beyrut: Dar al-Masyriq, h. 55-61. Bandingkan dengan al-Ghazali dalamMa’arij, h. 36-51, tentang al-quwwa al-hayawaniyyah; bandingkan juga dengan penjelasannya dalam Ihya’, tentang panca indera luar dan dalam dan kemampuannya menangkap ilmu, jilid 3. h. 19-20. Lihat juga analisa Timothy J. Gianotti (2001), tentang “animal soul” dalam al-Ghazali’s Unspeakable Doctrine of The Soul: Unveiling The Esoteric Psychology and Eschatology of The Ihya’, Leiden, Boston, Koln: Brill, 177-193.

[30] Al-Attas (1990), op.cit., h. 9-16.

[31] Ibid., h. 18.

[32] Ibid., h. 18-19.

[33] Ketiga formulasi ini bisa ditelusuri dalam kitab-kitab Mantiq, baik yang ditulis oleh ibn Sina, al-Ghazali, dan ulama-ulama lainnya, seperti yang tulis oleh Najmuddin Abdullah ibn ‘Umar al-Quzwaini al-Katibi (w. 1276 M/675 H) (1998), al-Risalah al-Syamsiyyah fi al-Qawa’id al-Mantiqiyyah, ed. Mahdi Fadlullah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi.

[34] Dalam psikologi modern, perkembangan diri manusia ini dikenal dengan Developmental Psychology, dimana tokoh utamanya adalah Jean Piaget, khususnya mengenai psikologi perkembangan anak, dengan karya utamanya The Origins of Intelligence in Children danThe Equilibration of Cognitive Structure: The Central Problem of Intellectual Development; lihat juga Herbert Ginsburg dan Sylvia Opper (1969), Piaget’s Theory of Intellectual Development, New Jersey: Prentice-Hall, inc., Englewood Cliffs. Menurut Piaget, ada tiga tahap perkembangan intelek anak: usia 0 hingga 2 tahun adalah perkembangan sensory-motor; 2 hingga 7 tahun adalah tahap pra-operasional pikiran; dan 7 hingga 11 adalah tahap operasi-operasi konkret pikiran. Dan pada tahap ini pikiran manusia, menurutnya, sudah matang atau sempurna untuk digunakan. Lihat Hardi Fischer (1964), “The Psychology of Piaget and Its Educational Aplications”, International Review of Education/Internationale Zeitschift fur Erziehungswissenchaft/Revue Internationale de l’Education, Vol. 10, No.4, 1964, h. 433.

[35] Al-Attas (1990), op.cit., h. 17.

[36] Lihat tahapan-tahapan jiwa dalam penjawabaran al-Attas, mulai dari al-nafs al-ammarah bi al-su’, al-nafs al-lawwamah, hingga al-nafs al-mutmainnah, dalam The Nature of Man, h. 5-6. Sebagai perbandingan, lihat tingkatan-tingkatan jiwa menurut al-Ghazali dalamMisykat al-Anwar, seperti pada penjelasan ruh di atas.

[37] Al-Attas (1990), op.cit., h. 19-20.

[38] Lihat selengkapnya penjabaran Sulaiman Dunya (1965), al-Haqiqah fi Nazr al-Ghazali, Mesir: Dar al-Ma’arif, h. 271-272.

[39] Al-Attas (1990), op.cit., h. 21; bandingkan dengan Ibn Sina dalam al-Najat, h. 12; lihat juga penjelasan al-Ghazali dalam Ma’arij, h. 54; Sulaiman Dunya (1965), al-Haqiqah fi Nazr al-Ghazali, h. 271-272.

[40] Al-Attas (1990), op.cit., h. 20.

[41] Al-Attas (1990), op.cit., h. 20-21. Bandingkan dengan Ibn Sina dalam al-Najat. Jilid 2, h. 12.

[42] Lihat Alber Nasri Nadir (1968), op.cit., h. 65.

[43] al-Ghazali, Ma’arij, h. 55.

[44] Ibid., h. 55; Ibn Sina dalam al-Najat, jilid 2, h. 13.

[45] Yang disebut al-ma’qulat al-ula adalah premis-premis yang sudah terjadi tasdiq bukan dengan jalan deduksi, yang sudah ada tanpa ada upaya mencari tasdiq itu. Seperti semua itu lebih banyak dari sebagian. Semua orang tahu ini tanpa perlu berupaya. Nah itulah yang disebut prinsip-prinsip pertama. Sedangkan al-ma’qulat al-tsawani adalah mahiyyat al-ashya’ yang tersimpat dalam al-aql bi al-fi’l. Lihat penjelasan Alber Nasri Nadir (1968), op.cit, h.64-65, catatan kaki ke-2.

[46] Lihat penjelasan Yohana Qomyar (1985), op.cit., h. 32.

[47] Lihat al-Ghazali juga dalam al-Najat, h. 55-56.

[48] Bandingkan dengan Ibn Sina, al-Najat, h. 13, al-Ghazali dalam Ma'arij, h. 59.

[49] Al-Attas (1990), op.cit., h. 23.

[50] Ibid., h. 24.

[51] Al-Attas menegaskan bahwa walaupun jiwa manusia ini secara umumnya sama, namun ianya akan tidak sama dalam potensinya. Ketidaksamaan masing-masing individu ini, katanya, karena ketidaksamaan aksidensinya yang membentuk personalitasnya masing-masing; dan oleh karenanya kemampuan potensial dalam intelek mendasarnya kapasitasnya tidak sama. Potensi dari pada intelek selalu terkoordinasi menurut kualitas jiwanya, dan yang tertinggi dalam hal ini adalah para Nabi. Lihat al-Attas, ibid., h. 25.

[52] Al-Attas (1986), A Commentary on The Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur: Ministry of Culture of Malaysia, 293.

[53] Lihat al-Attas (1999), The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, h. 39-45.

[54] Al-Attas, The Concept of Education, h. 40.

sumber : inpasonline

Akhmad R. Damyati, MA*