Pengaruh Tasawwuf dalam Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1928-1948)

Pengaruh Tasawwuf dalam Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1928-1948)

1. Latar Belakang

Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan Islam kontemporer yang cukup berpengaruh saat ini. Gerakan yang didirikan oleh Hasan al-Banna (1908-1948) pada tahun 1928 di Mesir ini banyak menarik perhatian para peneliti tentang Islam dan Timur Tengah. Ini disebabkan karena pemikiran Islam yang dikembangkan oleh al-Banna tentang Islam integral (din wa daulah) mampu mempengaruhi beberapa gerakan Islam di belahan dunia Islam lainnya. Pengaruh pemikiran yang terwujud dalam gerakan sosial dan politik ini termanifestasikan menjadi gerakan Islam yang beragam, mulai gerakan yang moderat hingga yang radikal sekali pun. Bebarapa gerakan Islam dan partai politik yang mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin ini antara lain Partai AKP di Turki, Hammas di Palestina, Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia, Angkatan Belia Muslim di Malaysia dan beberapa gerakan sosial di Timur Tengah maupun di Amerika Serikat dan Eropa.

Kemampuan Ikhwanul Muslimin untuk berkembang melampui batas-batas negara (transnasional) disebabkan oleh pengaruh organisasi tradisional Tasawwuf yang sejak awal memang cenderung tidak dibatasi oleh batasan regional. Organisasi Tasawwuf memang dalam sejarahnya sering menjadi mediasi dalam menyatukan kelompok yang tidak dibatasi oleh geografi, keluarga, maupun etnis.[1]

Tasawwuf yang terlembaga menjadi organisasi thariqah adalah bagian terpenting sistem organisasi IM. Hanya saja banyak kalangan baik para peneliti maupun pengikut gerakan ini yang tidak menyadari peran Tasawwuf membentuk orientasi gerakan. Akar tradisionalisme Islam sebenarnya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh modernisme maupun puritanisme. Bahkan banyak pihak yang salah kaprah dengan menyebutnya sebagai bagian dari gerakan Wahabi. Istilah-istilah yang dipakai oleh IM adalah murni adopsi dari warisan Tasawwuf yang berakar dari Islam tradisionalis. Sejauhmana pengaruh Tasawwuf dalam IM akan dibahas dalam artikel ini.

Artikel ini berusaha untuk menjelaskan aspek-aspek dalam IM yang terlupakan. Sebagian besar penelitian dan penulisan tentang gerakan ini lebih banyak memfokuskan pada aspek-aspek politik dan pengaruhnya dalam menciptakan radikalisasi. Akibatnya, stigma tentang IM adalah lebih banyak memunculkan kesan fundamentalis dan radikal daripada sikap moderat and kompromi. Peneliti seperti Christina Phelps Harris, misalnya, menggambarkan kehidupan keagamaan al-Banna lebih banyak diisi oleh pengaruh mazhab Hambali yang berorientasi fundamentalis.[2]

Biografi al-Banna

Apabila mempelajari biografi Hasan al-Banna akan nampak dengan jelas bahwaa al-Banna mengembangkan ide-ide keislamannya berdasarkan pada konsep-konsep Tasawwuf. Dalam beberapa tulisan-tulisannya, al-Banna lebih banyak menggunakan istilah-istilah Tasawwuf dengan mengutip pemikiran klassik al-Ghazali maupun Syafi’i. Buku yang ditulisnya sendiri dalam bentuk memoar sebagian besar menceritakan perjalanan spiritualnya bersama tokoh-tokoh Tasawwuf yang terkenal di Mesir. [3] Sejak kecil dia telah menjadi pengikut Tasawwuf al-Hasafiah karenanya istilah-istilah dalam organisasi Ikhwanul Muslimin menggunakan nama-nama yang biasa dipakai dalam khazanah Tasawwuf. Nama Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan mencirikan sebutan “ikhwan” yang biasa dipakai oleh kelompok Tasawwuf dalam menyebut sesama anggota kelompok Tasawwuf. Keterlibatan al-Banna dalam kelompok Tasawwuf selama lebih dari 20 tahun tentu berbekas pada organisasi yang dibentuknya terutama dalam hal rekruitmen anggota dan hubungan antara pemimpin dan anggota jamaahnya.[4] Bahkan tidak ada bukti yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisannya maupun pernyataan saksi sejarah bahwa al-Banna menyatakan tidak lagi mengikuti ajaran Tasawwuf.[5] Semua ini tercermin dalam tulisan-tulisan dan program-program dakwahnya yang cenderung mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan yang ada di kalangan umat. Dimensi Tasawwuf juga nampak dalam bentuk kecenderungan untuk berperan sebagai mediator dan bersikap kompromistis dalam setiap menghadapi persoalan maupun konflik.[6]

Secara umum Hasan al-Banna adalah seorang guru yang memiliki latar belakang religius yang kuat dengan orientasi tradisionalis dan modernis.[7] Dia bukanlah tipikal pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh maupun figur-figur reformis Islam lainnya. Dia adalah seorang tokoh agama yang kharismatik dengan kemampuan untuk mengarahkan individual untuk bergabung dalam sebuah kelompok jamaah yang taat. Al-Banna mampu menciptakan sebuah wadah gerakan yang efektif dan mampu untuk mengaplikasikan ide-ide keagamaannya. Keunikannya sosok ini dibanding dengan tokoh-tokoh Islam sezamannya di samping kemampuannya sebagai orator dan pemimpin gerakan adalah bahwa al-Banna tidak pernah mengikuti pendidikan formal agama secara khusus. Dia adalah lulusan Universitas Darul Ulum di Kairo dengan spesialisasi di bidang pendidikan.

Al-Banna dalam aktifitas dakwahnya selalu berusaha untuk menyatukan orang-orang yang berasal dari aliran yang berbeda dan menghindari perselisihan dalam urusan agama.[8] Pengalaman keagamaan dalam persaudaraan Tasawwuf yang diterimahnya selama menjadi anggota tarekat Hasafiyyah Shadziliyyah telah mengalami internalisasi dan tercermin dalam personalitasnya. Namun demikian, orientasi Tasawwufnya tidaklah membuat al-Banna kemudian melupakan persoalan-persoalan dunia tetapi sebaliknya justru membuatnya untuk melakukan aktifitas-aktifitas sosial dan politik untuk melakukan perubahan.[9]

Pada awalnya Ikhwanul Muslimin adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang bertujuan untuk meningkatkan aspek religius and sosial masyarakat Mesir. Di samping itu gerakan ini juga bertujuan untuk menandingi gerakan misionaris Kristen di Mesir yang sedang marak.[10] Setelah mengamati berbagai persoalan sosial dan politik negaranya yang lebih banyak mendapatkan pengaruh peradaban Barat, al-Banna merasakan bahwa rakyat Mesir telah mengalami degradasi moral dan agama. Masyarakat dianggapnya semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam dan membuatnya merasa perlu untuk mengembalikan masyarakat Mesir itu pada naungan Islam.[11]

Perkembangan selanjutnya IM mulai mengembangkan perannya untuk terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan Mesir dan dunia Arab dari dominasi dan penjajahan asing. Untuk mencapai tujuannya, al-Banna menggagas sebuah pemikiran keislaman dan gerakan yang berdasarkan pada gerakan ishlahul ummah (perbaikan umat). Dakwah al-Banna mendapatkan sambutan luas masyarakat Mesir dan berhadapan dengan rezim pemerintah yang korupsi dan pro penjajah.

IM adalah perpaduan antara dimensi spiritual dan sosial yang mampu untuk menggerakkan anggota-anggotanya selalu meningkatkan kualitas moral spiritual guna menciptakan perubahan sosial.[12] Al-Banna memandang tidak ada kontradiksi antara tujuan spiritual tasawuf dengan aktifitas sosial.[13] Metode dan model dakwah IM menurutnya merupakan proses transformasi intelektual dan sosial dari perjalanan Tasawwuf dalam hidupnya.[14] Teman spiritual al-Banna sendiri ketika ketika bergabung tarekat Hasafiah, Ahmad Syukri, diangkatnya sebagai wakil IM di Cairo.[15]

Gaya akomodasi Hasan al-Banna juga nampak dari usahanya untuk mendeskripsikan gerakan IM sebagai wadah dari berbagai macam orientasi dan pemikiran. Baginya IM adalah gerakan yang bercirikan pada (1) dakwah Salafiyah (dakwah salafiyyah) yang berlandaskan pada Qur’an and Sunnah; (2) tarekat suni (t}ari>qah sunniyyah) yang mencontoh perjalanan spiritual Nabi Muhammad; (3) hakekat Tasawwuf (h}aqi>qah s}ufiyyah) yang mementingkan kebaikan dan kesucian; (4) organisasi politik (hay’ah siya>siyyah) yang menginginkan perubahan politik dari dalam; (5) asosiasi olahraga (jam>a’ah riya>d}yyah) yang mengutamakan kesehatan dan kekuatan fisik; (6) jaringan intelektual dan budaya (rabi>t}ah ‘ilmiyyah thaqafiyyah) yang berusaha meningkatkan kualitas intelektual dan pengetahuan anggotanya; (7) amal usaha (shirkah iqtis}a>diyyah) yang menganjurkan anggota untuk melakukan aktifitas ekonomi; (8) organisasi sosial (jam>a’ah ijtima>’iyyah) yang berusaha untuk mengembangkan kekuatan masyarakat.[16]

2. Revitalisasi Konsep Tasawwuf

Dengan pengalaman panjang sebagai penganut tarekat Hasafiyah, al-Banna mampu untuk melakukan revitalisasi konsep tasawwuf sebagai fondaasi utama dalam organisasi IM. IM kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan yang terus berkembang mulai dari wilayah-wilayah pedesaan sampai perkotaan di Mesir. Struktur dan metode dalam IM adalah adopsi dari konsep tarekat yang telah dimodifikasi. Meskipun, al-Banna tidak menyebut kelompok tarekat tertentu, tetapi penggunaan dan praktik tasawwuf banyak dijumpai dalam struktur organisasinya. Al-Banna menyebut pengikutnya dengan istilah al-ikhwa>n (brothers) dan memakai julukan al-mursyid (pembina). Dia juga menggunakan istilah bay’ah (ikrar) dalam merekrut anggota baru dan mewajibkan kepada para anggota untuk membaca wirid-wirid tertentu yand dikenal dengan waz}i>fah (prayers). Perasaan kebersamaan dan persaudaraan di antara anggota-anggota IM juga menunjukkan pengaruh kuat dari tasawwuf yang ditandai dengan penggunaan istilah persaudaraan (ukhuwah) dan keluarga (usrah).[17]

Al-ikhwan (saudara) mengandung arti khusus yang menunjukkan tingkat kebersamaan dan persaudaraan di antara sesama anggota sebuah tarekat. Dalam arti yang lebih sempit istilah al-ikhwan merujuk pada identitas dan simbol keanggotaan kelompok tarekat, seperti ikhwan Naqsyabandiyyah, Tijaniyyah, Qadiriyyah, dan sebagainya. Ada semacam kewajiban saling menanggung sebagai anggota sebuah tarekat bahwa seorang ikhwan itu biasa melakukan perjalanan jauh dan mendapatkan penerimaan dan pelayanan baik di suatu dari dari ikhwan lainnya. Aturan dalam ikhwan memberikan jaminan kepada saudara-saudara sesama anggota tarekat untuk mendapatkan penginapan maupun makanan secara cuma-cuma.[18]

Sejak awal berdirinya IM tidak bermaksud untuk menjauhkan diri dari kelompok mainstream Muslim di Mesir. Alih-alih menyebut kelompoknya sebagai bagian dari persaudaraan tarekat tertentu, al-Banna lebih suka untuk menamai organisasinya sebagai “saudara bagi kaum muslimin” (al-ikhwan al-muslimun).[19] Dia pun menghindari setiap perselisihan antar mazhab maupun perbedaan-perbedaan antar tarekat yang berbedan karena dapat membatasi gerak organisasinya dalam masyarakat. Dia berusaha untuk berdakwah kepada semua masyarakat secara umum tanpa melihat latar belakang pemikiran dan oreintasi keagamaan mereka. Dakwahnya pun dilandasi pada tiga fondasi utama; ilmu pengetahuan (al-ilmu), pendidikan (tarbiyah) dan jihad (al-jihad). His organization had to address all levels of the broader society, based on three fundamentals – knowledge (al-‘ilm), education (al-tarbiyyah) and striving (al-jiha>d). Namun demikian al-Banna tetap memberikan ruang kepada anggota-anggotanya yang menginginkan mempraktikkan persaudaraan khusus ala tarekat.[20] Namun demikian, organisasi ini pun kemudian tidak bisa melepaskan diri dari kecenderungan sikap-sikap yang eksklusif.

Untuk meningkatkan kualitas spiritual, IM menggunakan metode tarbiyah yang dipakai dalam pembinaan moral dan kekuatan jiwa (tarbiyah ruhiyah). Langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai ketakwaan yang sempurna adalah melalui usaha-usaha spiritual, seperti mu’ahadah (janji setia), muroqobah (pengawasan), muhasabah (instrospeksi), mua’qobah (memberi hukuman) dan mujahadah (optimalisasi ibadah).[21] Usaha-usaha spiritual ini dilakukan untuk mendapatkan kepekaan jiwa yang bermanfaat dalam mengendalikan nafsu karena nafsu tidak dapat dikendalikan kecuali dengan takwa (rasa takut) kepada sang Pencipta. Akal dan hati nurani tidak dapat ditaklukkan hanya dengan perdebatan intelektual maupun diskusi-diskusi tetapi dengan menumbuhkan furqon dalam hati yang mampu menyingkap jalan kehidupan. Semua ini tidak dapat dilukiskan dalam kata-kata tetapi hanya bisa dirasakan hakekatnya.[22] Tentu saja konsep-konsep seperti ini merupakan pokok-pokok bahasan yang tidak asing dalam khazanah tasawwuf terutama yang dikembangkan oleh al-Gazhali.

Pemimpin tertinggi IM dikenal dengan sebutan Mursyid Am (Pengarah dan Pembina Umum). Sebutan ini merupakan penamaan yang biasa dipakai oleh kelompok tarekat dalam menyebut sang guru pemberi arahan dan petunjuk. Pemakaian istilah mursyid dalam IM dapat dipastikan bukan karena kebetulan tetapi lebih banyak dipengaruhi obsesi al-Banna yang menginginkan hubungan pemimpin dan anggota IM tidak sekedar bersifat struktur organisasi. Mursyid secara literal bermakna “orang yang memberikan panduan sprititual kepada para muridnya.” Dalam literatur Tasawwuf, mursyid atau disebut juga syaikh memiliki kemampuan khusus untuk membawa murid-muridnya menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Mursyid adalah orang yang memiliki kemampuan memberikan inspirasi untuk membuka tabir-tabir misteri kehidupan karena dia adalah sosok yang bersikap dengan hati.[23] Hal yang paling utama dalam praktik tasawwuf adalah bagaimana untuk dapat menemukan seorang pembimbing yang baik yang menjadi tumpuan spiritual para anggotanya. Para anggota diharapkan dapat memberikan loyalitas dan ketaataannya kepada Mursyid secara total.[24]

Pemilihan dan penekanan pada aspek-aspek tasawwuf seperti ini telah membuat hubungan yang khusus antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin dalam tradisi Tasawwuf memiliki kelebihan otoritas kepemimpinan personal dan ini dapat dijumpai dalam gerakan IM. Ketaatan dan loyalitas anggota adalah hal yang utama sehingga anggota IM dikenal memiliki militansi dan soliditas tinggi terutama dalam hal ketaataan kepada pemimpin. Namun demikian, Al-Banna tidak menggunakan semua otoritas pemimpin seorang mursyid itu untuk mendapatkan ketaatan tanpa reserve tetapi dia berusaha untuk merubahnya pada ketaatan yand dilandasi oleh pengetahuan. Al-Banna lebih menekankan pada kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar dalam hal menjalankan ibadah berupa shalat, zikir dan akhlak.[25] Meskipun al-Banna mendasarkan kepemimpinannya pada otoritas kharismaik tetapi dia berusaha untuk membatasinya dalam lingkup birokrasi dan hirarki organisasi modern.[26] Al-Banna juga memberikan koreksi bahwa tidak semua perintah mursyid itu harus dijalankan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan persoalan duniawi. Al-Banna dalam Risalah Pergerakan menyebutkan:

Pendapat pemimpin maupun wakilnya yang berkenaan dengan isu-isu yang tidak secara tegas diatur oleh teks agama dan memiliki kemungkinan perbedaan interpretasi harus didasarkan pada konsep maslahat ummat. Kemaslahatan umat harus dikedepankan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam syariah. Pendapat itu mungkin saja berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Intinya, ibadah membutuhkan penyerahan total tanpa harus menimbang arti tetapi untuk urusan dunia harus diuji dulu arti dan tujuannya.[27]

Memang al-Banna untuk beberapa hal masih mempertahankan gaya kepemimpinan ala mursyid tarekat dalam menjalankan organisasi IM. Dia adalah pemimpin kharismatik dan tidak ada wakil-wakilnya yang mampu membatasi keinginanannya. Sebagai Mursyid Am, al-Banna menampakkan keinginan kuat untuk mendapatkan loyalitas total para anggotanya dan memegang otoritas kepemimpinan secara kuat dan secara personal mampu mengarahkan program dan kebijakan organisasi.[28] Karakter personal yang kuat terutama dalam hal spiritualitas dan intelektual semakin menumbuhkan ketaatan para anggota IM. Banyak orang mengagumi sifat dan keistimewaannya walaupun bukan anggota IM:

Al-Banna dipercaya memiliki tiga kualitas utama kepemimpinan. Dia adalah sosok yang memiliki daya tarik dan magnit bagi para pengikutnya. Dia seorang orator ulung yang mampu mempengaruhi perasaan pendengar-pendengarnya. Kemampuan berbahasa yang luar biasa. Dalam tradisi Arab orang yang memiliki kemampuan berbahasa yang sempurna tentu mendapatkan penghormatan tinggi.[29]

However, it is because of his Tasawwuf style of leadership that many writers on the Muslim Brothers have criticised his leadership: it was not democratic in nature. For instance, Zakariyya Sulayman Bayumi contended that the autocratic style of Hasan al-Banna and lack of democracy in the Muslim Brothers were serious defects in the organization.[30] Furthermore, a number of leftist Egyptian historians, such as Rif’at al-Said[31] and Tariq al-Bisri[32] accused the movement of representing the opponents of the democratic forces because of its alignment with the “autocratic” and “fascist” forces of the palace.[33]

Another term borrowed from the t}ari>qah and applied by al-Banna is bay’ah, the oath taken by the seeker of mystical wisdom to abide by the organization’s rules and guidelines. Strictly speaking, none of the Tasawwuf orders accept new members of the t}ari>qah without the swearing of this covenant. Only those to have taken the vow of allegiance to the leader of the order are allowed to begin practising the rituals. Before taking the oath, the candidate should make sincere repentance before God and renounce his or her past sins.[34] The new student places his hand in the hand of the murshid and the murshid administers the covenant that he or she accepts the murshid as his or her guide.[35] It should be noted that each Tasawwuf order has its own particular details and ways of proceeding in performing the ceremony of covenant taking.

The first members of the Muslim Brothers swore their allegiance to the murshid al-Banna himself. They were six labourers working in the British Company of the Suez Canal, and were seeking a guide able to improve their spiritual and social conditions. Even though it has not been clearly described for posterity, the event of the covenant taking by these ordinary people indicates the strong relations between leader and led.[36] It explicitly shows the Tasawwuf code, when laymen surrendered themselves and all their possessions - blood, soul and coin, to express their adherence to an honourable spiritual Guide.[37] Since that moment, al-Banna fulfilled his dream to become a respected Guide and teacher (murshid and mu’allim) and guided his followers accordingly.[38] He also successfully reformed the absolute dependence of students upon their teacher into the concept of solidarity and brotherhood among the members, under the banner of the Muslim Brothers, in which the murshid was included.

To realise commonality and the sharing of aims rather than a single-focussed loyalty, al-Banna revised the concept and practice of attachment to the murshid (rabit}ah murshid) to the attachment to fellow students (rabit}ah muri>din). When the rabit}ah murshid is undertaken as a practice in certain other Tasawwuf orders, students are instructed to visualise their master and sense his presence within their hearts. Al-Banna’s newly devised rabit}ah however involved a process of communal visualisation among fellow students.[39] Thus the rabit}ah, understood as a special spiritual relation, was not monopolised by the master but was shared by all members. In practising rabit}ah, the Brothers were to visualise their fellow members’ faces and try to feel spiritual contact with them (even those with whom they had no acquaintance). Then the following prayer was recited

O Allah, indeed you know that our hearts have gathered for the sake of your love, met for the purpose of obedience, united under your mission and promised to uphold your path. O Allah! Strengthen our relations, endure our passion, and give us your light that never reduces to a glimmer! Widen our hearts with full faith and the beauty of submission and revive them with your knowledge. Show me the way of jihad. Surely, you are the best Guide and Helper.[40]

.

(Jurnal Arabia, vol. 11, nomor 22, Oktober2008-maret 2009)


[1] Ibid.

[2] Christina Phelps Harris, Nationalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood (The Hague: Hoover Institution Publication, 1964), 143.

[3] Lihat Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, terj. Salahuddin Abu Sayyid and Hawin Mustadho (Solo: Era Intermedia, 2000).

[4] Richard Mitchell, The Society of Muslim Brothers (London: Oxford University Press, 1969), 3.

[5] Ibrahim M. Abu-Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (Albany: State University of New York Press, 1996), 68-69.

[6] Michael Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt: an Essay on the Sociology of Religion, (Oxford: The Clarendon Press, 1973), 4.

[7] John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World (Essex: Westview Press, 1982), 175.

[8] Ishak Musa Husaini, The Muslim Brethren (Westport: Hyperion Press, 1986), 25.

[9] Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence, 67.

[10] Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 199.

[11] Mitchell, The Society of Muslim Brothers, 6.

[12] Mitchell, The Society of Muslim Brothers, 6.

[13] Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence, 67.

[14] Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 42-43.

[15] Ibid., 132

[16] Al-Banna, Risalah Pergerakan 2, 227-229.

[17] The Tasawwuf model of brotherhood or family is the best way of disseminating Islamic teachings. The organised Tasawwufs, under their charismatic leader, easily expanded their influence beyond national borders. Some tarekat also served as clandestine organizations that aimed to challenge the authority of an unjust ruler of the day. See Abu Bakar Acheh, Pengantar Sejarah Tasawwuf dan Tasauf (Kelantan: Pustaka Amar Press, 1977), 313.

[18] A member of the tarekat may stay in the zawiyah (contemplation room) or the house of al-ikhwan. See Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 15.

[19] Al-Banna, Memoar Hasan Al-Banna, 43.

[20] Ibid., 116.

[21] Abdullah Nashih Ulwan, terj. Tarbiyah Ruhiyah: Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Takwa (Jakarta: Robbani Press, 2004), hal. 10-20.

[22] Ibid. hal. 6

[23] Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt, 73.

[24] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 83.

[25] Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 80.

[26] Brynjar Lia, The Society of the Muslim Brothers in Egypt: the Rise of an Islamic Mass Movement 1928-1942 (Readings: Ithaca Press, 1998), 115.

[27] Al-Banna, Risalah Pergerakan 2, 163.

[28] Harris, Nationalism and Revolution in Egypt, 143.

[29] Ibid., 152.

[30] See Zakariyya Sulayman Bayumi, The Muslim Brothers and the Islamic Associations in the Egyptian Political Life, 1928-1948 (Cairo: Maktabah al-Wahda, 1978) as quoted by Lia, The Society of the Muslim Brothers in Egypt, 9.

[31] He wrote a book entitled Hasan al-Banna: Mata, Kaifa wa Li-mada? (Cairo: Maktabah Madbuli, 1977).

[32] See his book al-Harakiyah al-Siyasiyah fi Misri 1945-1952 (Cairo: Dar al-Tawzi wa al-Nashr al-Islamiyah, 1972).

[33] Lia, The Society of the Muslim Brothers in Egypt, 7. The stance of the Muslim Brothers vis-a-vis the palace indicates a certain Tasawwuf tradition more accommodating to rulers, and the way in which they gave their support to combat secular and foreign forces in the country.

[34] Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 87.

[35] Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt, 95.

[36] Mitchell, The Society of Moslem Brothers, 8.

[37] Al-Banna formulated ten prerequisites of the covenant. These include understanding (al-fahm), sincerity (al-ikhla>s}), action (al-‘amal), honest striving (al-jiha>d), sacrifice (al-tad}h>yyah), obedience (al-t}a>’ah), perseverance (al-thabat)), authenticity (al-tajarrud), brotherhood (al-ukhuwwah) and trust (al-thiqah).

[38] In his memoir, al-Banna includes a story which describes his goals after graduating from the University of Darul Ulum. He dreamed he became a great teacher who took on a responsibility to educate people through academic training and a great supervisor to extend spiritual guidance to people through the Tasawwuf tradition. See Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 96-100.

[39] In the practice of the Naqsyabandiyah order, students are supposed to sense their teacher’s presence as much as they can in order to strengthen their spiritual connection with him.

[40] Hasan al-Banna, Al-Ma’tsurat Sughra: Doa & Dzikir Rasulullah SAW Pagi dan Petang (Jakarta: Sholahuddin Press, 1996).