Historical Fact and Fiction : Sejarah Islam adalah Sebuah Dignity


Historical Fact and Fiction : Sejarah Islam adalah Sebuah Dignity

Adian Husaini membicara dalam acara bedah buku Historical Fact and Fiction di Aula Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu, 2 November 2011 anjuran bersama kerjasama InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) dan Pusat Pengembangan Intelektual (P2I) Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Adian Husaini tidak sendirian. Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Jakarta juga didapuk menjadi pembicara.


Menurut al-Attas dalam buku HFF, fakta sejarah menunjukkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan pristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. Melayu kemudian identik dengan Islam. Sebab, agama Islam terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Penjelasan tersebut termaktub dalam buku HFF halaman 16 :
The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.”


Sultan Agung atau Wali Songo yang jelas-jelas besar jasanya bagi bangsa.
Islamisasi di nusantara telah mengubah wordlview muslim Melayu dan tingkatkan intelektualitas. Kita lihat respon keras dari kaum Kristen menolak penggunaan bahasa Melayu, seperti Frans van Lith, tokoh Yesuit awal abad ke-20 dan J.D. Wolterbeek,” kata Adian. Kaum Kristen rupanya sadar betul kalau penggunaan bahasa Melayu merupakan salah satu format Islamisasi nusantara sehingga mereka menolaknya.


Berkaitan dengan metodologi Ilmu Sejarah pada khususnya, Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan ketajaman buku HFF dalam melakukan kritik serta rekonstruksi terhadap metodologi kajian sejarah Islam di dunia Melayu yang selama ini berkembang, antara lain, pertama, bukan kaum pedagang yang bertindak selaku ‘missionaris Islam’ (istilah yang digunakan SMN al-Attas untuk para pendakwah) sebab perdagangan umumnya hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat materi. Namun, sejatinya penyebaran Islam dilakukan oleh misionaris Islam yang memang memiliki tujuan yang jelas serta pasti, terorganisir, punya kemampuan yang mumpuni, dan dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana serta konsisten.


Kedua, Fakta-fakta sejarah bukan hanya berupa empirical evidences atau bukti-bukti empiris. “Apa yang mereka lakukan (orientalis, red) dalam kajian sejarah itu empiris, dan ini adalah ciri dari sekuler. Prinsip yang mereka pegang adalah habeas corpus atau having a body, harus ada bukti fisik. Itu salah sebab kita tidak bisa ungkap banyak fakta hanya dengan empirical evidences. Apalagi bukti-bukti ini diambil dari orang-orang yang sengaja mengumpulkan lalu memilih bukti-bukti itu yang sesuai dengan kepentingan mereka”, jelas Hamid. Kemudian fakta-fakta empiris ini harus dihubungkan dengan wordlview Islam.
Ketiga, sejarawan harus tahu ilmu yang diteliti secara otoritatif. Jika ingin meneliti umat Islam di sebuah wilayah misalnya, harus Islam dan worldview Islam yang digunakan. Seorang sejarawan juga harus memahami simbol-simbol keagamaan.
Keempat, sejarawan harus kritis terhadap asumsi-asumsi dasar masyarakat pada masa lalu saat sejarah itu bergulir, bahwasanya asumsi mereka bukan berdasarkan agama. Orientalis seluruhnya sepakat bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah dari Gujarat, India. Hal ini jika dibuktikan secara ilmiah, pasti salah. “Menurut al-Attas, kalau orang-orang yang datang ke Indonesia adalah dari India, maka pasti nama-nama orang Melayu adalah nama-nama India. Tapi ternyata di sini enggak. Yang banyak itu nama-nama berbau Arab, bukan India. India-Pakistan itu kan campuran Persi-India.  Dari nama-nama saja al-Attas sudah bisa membuktikan, tidak ada bukti mereka gunakan nama-nama India,” jelas Hamid. Nama-nama berbau India memiliki ciri khas yang berbeda dengan nama-nama Arab karena bercampur dengan Persia.
Kelima, yang dominan sebagai misionaris Islam adalah orang Arab. Islam yang datang ke Indonesia  ini asli dari Arab. Orang Arab yang datang ke negeri ini adalah keturunan Ali bin Abi Tholib tapi bukan Syiah. “Jangan salah paham. Orang-orang Arab yang datang ke Indonesia adalah keturunan Ali bin Abi Tholib tapi Sunni. Al-Attas itu keturunan Ali dan beliau menantang orang-orang Syiah. Kata SMN al-Attas, kalau orang-orang Syiah itu mengaku mencintai Ahlu Bait, maka saya adalah orang Sunni yang mencintai Ahlul Bait,” tegas Hamid.
Keenam, para sejarawan Islam harus memahami bagaimana tradisi intelektual Islam. Para ulama sufi seperti seperti al-Banjari, al-Palimbani, al-Makassari meninggalkan turats sebagai khazanah intelektual Islam.
Ketujuh, Imajinasi dalam pengertian SMN al-Attas bukan sekadar khalayan. Imajinasi ada yang sehat, yakni imajinasi yang diwarnai oleh worldview Islam, dengan menghubung-hubungkan fakta-fakta itu. Misal, nama Rahmat Syah. Dalam kata ‘Syah’ itu ada unsur bahasa Persia.
Kedelapan, Sejarawan Islam dari Barat (orientalis, red) seringkali tidak memahami apa itu Islamic civilization. Dijelaskan oleh Hamid, istilah ‘civilization’ tidak cukup mewakili sebuah gambaran peradaban yang bersifat komprehensif. ”Sedang Islam punya konsep ‘Ummah’; komunitas yang mempunyai kegiatan keilmuan, kepercayaan, dan aqidah yang merupakan sebuah entitas tersendiri. Dari situ muncul apa yang disebut dengan Tamaddun, Madaniyah. Semua berasal dari kata ‘Adab’,” jelas Hamid.


Peradaaban Islam tidak muncul dari sumber yang satu, tapi menyeluruh, dari Mesir, Persia, Hindia, bahkan Melayu. Peradaban Islam merupakan peradaban yang berasal dari kultur Islam dunia sebagai hasil dari proses Islamisasi. Maka dari itu peradaban Islam merupakan peradaban yang bervariasi atau plural dalam bentuk institusi yang bermacam-macam. “Saya paling tidak setuju dengan sebutan Islam Indonesia, Islam India, Islam Pakistan dan sebagainya. Apakah Islam di Indonesia ini berbeda dengan Islam di negeri yang lain? Tapi kalau maksudnya bervariasi (secara institusi, red) itu betul,” kata Hamid.


Selain mengkritik metodologi orientalis dalam mengkaji sejarah Islam, dalam HFF, SMN al-Attas juga mengemukakan sebuah fakta mengejutkan, disertai dengan analisa yang masuk akal. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang negarawan, yang pasti memiliki pengetahuan geopolitik yang baik, sehingga menganjurkan para sahabatnya untuk datang ke tanah Melayu (Sumatera), seperti yang termaktub dalam buku HFF :
The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power.”
Dari ulasan di atas, maka semakin kuatlah argumen yang menyatakan bahwa Islam telah tersebar di Indonesia sejak abad ke-7, seperti ditemukan dalam catatan dari zaman Dinasti Tang (671 Masehi).
Al-Attas dengan detail yang mengagumkan telah merekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah gambaran yang lebih utuh. Beliau tidak hanya menganalisa Indonesia, tapi sekaligus di India, di Mekah, dan China,  juga beliau analisa dengan sangat detail, kaitan antara fakta-fakta di berbagai wilayah,” tegas Adian.


Islam sebagai agama lantas berubah menjadi Islam sebagai wordlview? Cara mengembangkan Islam sebagai worldview adalah lewat jalur pendidikan. “Persoalan yang muncul di dalam studi Islam baik di dalam maupun luar negeri adalah bagaimana bergelut dengan wordlview asing dan bagaimana mengcounter worldview asing yang terkonsep dalam pemikiran Islam? Meski mendapat kritik, lewat Islamisasi, Islam akan menjadi sebuah konsep, lalu konsep menjadi cara pandang, dan cara pandang akan menjadi realitas dalam bentuk institusi, dan kita bisa menjadi rahmatal lil alamin apabila konsep ini berkembang di seluruh masyarakat dunia,” pungkas Hamid.


Tidak hanya menegaskan kepakaran SMN al-Attas dalam mengungkap fakta-fakta sejarah Islam di Melayu, dengan detail yang mengagumkan, namun buku HFF juga menegaskan bahwa mempelajati sejarah Islam adalah fardhu ‘ain, sebab sepertiga isi al-Qur’an adalah sejarah. Dan umat Islam wajib bangga dengan sejarahnya. “Warisan besar orang-orang Islam adalah kebanggaan sejarahnya. Kata al-Attas, seorang Muslim harus punya dignity. Tidak usah minder dengan Barat”, tegas Adian.