Sidna Abi Talib


MENGUNGKAP KEIMANAN ABÎ THÂLIB; Perspektif Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib Karya Zainî Dahlân - Kang Khoirul Anwar

MENGUNGKAP KEIMANAN ABÎ THÂLIB; Perspektif Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib Karya Zainî Dahlân *
Oleh: Khoirul Anwar **

“Dalam buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib tertimbun segudang dalil yang bertalian dengan keimanan Abî Thâlib.”
[Shâlih al-Wardânî][1]

I. Prolog

Dalam wacana agama yang sudah mapan di tengah ummat Islam Abû Thâlib sering kali diklaim sebagai orang kafir dan kelak di akhirat akan menjadi penghuni setia Neraka, asumsi demikian dapat dimaklumi keberadaannya mengingat para “penganggit” kitab dalam beberapa statemennya seringkali mendaku pendapat tersebut sebagai suara mayoritas.

Sebagai sampel, misalnya Abû Zahrah dalam bukunya yang bertitel Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam menyatakan bahwa, “Abû Thâlib mati dalam keadaan syirik”. Menurutnya pendapat ini dikemukakan oleh suara mayoritas dari ulama` Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, pakar fikih (fuqahâ`), dan ahli hadis. Sedangkan pendapat yang mewacanakan “keimanan Abû Thâlib dan keselamatannya di akhirat” oleh Abû Zahrah dituding sebagai pendapat ulama` berhaluan Syî’ah.[2]

Syahdan, klaim Abû Zahrah dan ulama` yang sependapat dengannya tak lebih dari “pepesan kosong” karena Ahmad bin Zainî Dahlân atau yang biasa dikenal dengan Zainî Dahlân, salah seorang “penjaga gawang” Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan seorang yang rajin mengkritik wahabi, menyatakan sebaliknya, yaitu mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah berpendapat bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak akan dimasukkan ke dalam Sorga selama-lamanya.

Pernyataan Zainî Dahlân ini terekam dalam karya intelektualnya yang bertitel Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib. Oleh karena itu kitab ini sangat urgen untuk dikaji mengingat wacana keagamaan yang diyakini oleh umat Islam bertentangan dengan “keyakinan yang sesungguhnya”.

A.       Identitas Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib
Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (mempermudah beberapa pencarian dalam keselamatan Abî Thâlib) ditulis oleh ulama` termuka di masanya (farîd al-‘Ashr wa al-awwân), Ahmad bin Zainî Dahlân, yang lahir di Kota Makkah pada 1232 H. (1817 M.) dan wafat di Madinah pada 1304 H. (1886 M.), ia dikenal sebagai orang yang membidangi semua ilmu; fikih, hadis, sejarah, teologi, dan yang lainnya. Buah karyanya sangat banyak sekali, antara lain; al-Futûhât al-Islâmiyyah, al-Jadâwal al-Mardliyyah fî Târîkh al-Dual al-Islâmiyyah, Khulâshah al-Kalâm fî `Umarâ` al-Balad al-Harâm, al-Fath al-Mubîn fî Fadlâ`il al-Khulafâ` al-Râsyidîn wa Ahl al-Bait al-Thâhirîn, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, dan yang lainnya.[3] Selama hidupnya ia hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan masyarakat, belajar, mengajar, dan mengarang. Ia pernah menjadi guru besar di Masjid al-Haram dan menjabat sebagai Mufti madzhab Syafi’î.[4] Sangkin banyaknya hafalan hadis yang ia miliki para ulama` memujinya dengan mengatakan, “Kitab shahîh Bukhâri bagi Zainî Dahlan bagaikan surat al-Fâtihah.”[5]

Di telinga santri nama tersebut tidak asing lagi karena di samping para ulama Nusantara banyak yang berguru kepadanya juga hampir semua ilmu yang diajarkan di pesantren memiliki “genealogi sanad” bersambung kepadanya. Zainî Dahlân dikenal sebagai salah satu ulama` yang memperjuangkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tengah gebyar aliran wahabiyyah, hal ini tercermin dalam beberapa buah karyanya yang khusus ia sajikan untuk “menelanjangi” dan menyingkirkan paham tersebut, antara lain; Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Fitnah al-Wahâbiyyah, Khulâshah al-Kalâm, dan al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al- Wahâbiyyah.

Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib sebagaimana yang tercermin dalam titelnya berisi tentang pembahasan keimanan Abî Thâlib. Melalui buku ini yang terdiri dari lima pembahasan pokok (baca: bab); bab menetapkan keimanan (Bâb Itsbât al-Îmân), bab Abû Thâlib dan nabi Muhammad Saw. (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî), bab sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib), bab Abû Thâlib dan pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah), dan bab keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abû Thâlib), Zainî Dahlân hendak menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan masuk Sorga.

Namun sebagaimana diakuinya sendiri bahwa buku ini tidak lebih dari komentar (syarh) atas karya al-Barzanjî (w. 1130 H.)[6] yang membahas tentang “keselamatan kedua orang tua nabi Muhammad Saw. (Najâh Abawaî al-Nabî Shallallah ‘Alaîh wa Sallam).”[7]

Dalam buku tersebut al-Barzanjî di samping mengkaji tentang keselamatan kedua orang tua nabi Saw. juga membicarakan keselamatan paman nabi Saw. yang bernama Abû Thâlib, dan ia berkesimpulan bahwa Abû Thâlib beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak di akhirat akan selamat. Namun karena –menurut Zainî Dahlân- pengkajian yang dilakukan oleh al-Barzanjî ini terlalu dalam sehingga menjadikan bukunya sulit dipahami khususnya bagi para pelajar tingkat pemula, Zainî Dahlân melaui Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib mengurai pembahasan tersebut dengan bahasa yang mudah dan renyah sembari membuang pembahasan yang tidak memiliki relevansi dengan tema terkait serta menambahkan keterangan yang ia ambil dari kitab al-Mawâhib al-Laduniyyah dan al-Sîrah al-Halbiyyah.

B.       Konsep Iman Dan Islam
Sebagai pra wacana dalam mengungkap keimanan Abû Thâlib, Zainî Dahlân mengawali pembahasannya dengan menyuguhkan konsep iman di bawah judul “Bab menetapkan keimanan (itsbât al-îmân).” Menurut pendapatnya yang ia copy dari al-Barzanjî, pengertian iman ialah pembenaran hati terhadap ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Saw., serta percaya bahwa semua pesan yang dibawa oleh nabi Saw. berasal dari Allah Swt. Sedangkan Islam adalah tunduk kepada Allah dengan menjalankan aktifitas dzahir yang diperintahkan-Nya.[8]

Islam bertali temali dengan anggota dzahir, sedangkan iman hanya bertalian dengan anggota batin. Kendati keduanya memiliki wilayah sendiri-sendiri namun dalam tataran praksisnya keduanya harus saling bertalian intim, bagai dua sisi mata uang yang dapat dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi seorang mukmin harus menjalankan keduanya; percaya terhadap Tuhan yang maha Esa dan Utusan-Nya, dan mengakui secara lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sehingga apabila “islam” berjauhan dengan “iman” maka seseorang tidak bisa menjadi “mu’min” sebagaimana yang terjadi pada diri orang munafiq, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk terhadap hukum Tuhan (baca: berislam), namun di dalam hatinya ia mengingkari hal tersebut. Begitu juga yang terjadi pada diri orang yang mengakui ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Saw. (baca: beriman) namun dzahirnya tidak mengakui, sebagaimana para pembesar Yahudi, hati mereka mengakui risalah nabi Muhammad Saw. namun dzahirnya mengingkari.

Keislaman orang munafiq tidak diterima oleh Tuhan karena di dalam hati mereka terdapat pengingkaran, ia hanya diakui oleh manusia di sekelilingnya saja. Sedangkan para pembesar Yahudi walaupun di dalam hati sebenarnya beriman, namun karena dzahirnya mengingkari padahal dalam kondisi normal maka keimanannya sama seperti keislaman orang munafiq, di sisi Tuhan tidak diterima.

Berbeda dengan situasi normal sebagaimana permasalahan di atas, apabila keadaan yang dialami seseorang tidak normal (li‘udzr) seseorang boleh untuk tidak menampakkan keislamannya, cukup islam di dalam hati (iman). Beriman namun secara dzahir tidak berislam karena terdapat halangan yang merintangi, bukan menentang, di sisi Allah dapat diterima. Kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang beriman (mukminîn), namun secara dzahir di dunia ia diperlakukan sebagaimana orang kafir, singkatnya berlabel kafir di dunia dan muslim di akhirat.[9]

Halangan dimaksud menurut Zainî Dahlân memiliki beberapa sebab, di antaranya; khawatir terhadap penganiayaan, apabila seseorang menampakkan keislamannya di muka umum maka ia akan disakiti atau dibunuh. Atau khawatir menyakiti salah satu dari anak-anak atau kerabat-kerabatnya. Dalam kondisi demikian seseorang boleh untuk menyamarkan keislamannya, bahkan apabila ia dipaksa untuk mengucapkan perkataan kufur ia diperbolehkan mengatakannya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Swt. dalam QS. al-Nahl 106:

Barangsiapa yang kufur kepada Allah sesudah beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, namun hatinya tetap tenang beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. 

Setelah mengajukan konsep keimanan yang diramu dari pemikiran al-Barzanjî dan ulama` lain yang seide Zainî Dahlân segera menerapkannya pada permasalahan yang dikaji, yaitu tentang keimanan Abû Thâlib. Menurutnya, keislaman Abû Thâlib berada dalam kondisi ‘udzur. Abû Thâlib sebenarnya beriman, namun ia tidak menampakkan keislamannya karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal negatif yang menimpa kepada keponakannya, Muhammad Saw.[10]

Pada masa-masa awal berdakwah nabi Muhammad Saw. banyak mendapat serangan dari kafir Quraisy, namun berkat perlindungan pamannya, Abû Thâlib, serangan tersebut sedikit demi sedikit menjadi berkurang. Hal ini karena sejak Abdul Muthallib (kakek nabi Muhammad Saw./ayah Abdullah dan Abû Thâlib) wafat kepemimpinan Quraisy dikendalikan oleh Abû Thâlib, sehingga Abû Thâlib mendapat tempat yang sangat baik dan berpengaruh di kalangan suku Quraisy, ia sangat disegani oleh mereka, bahkan perlindungannya pun kepada nabi Muhammad Saw. diterima oleh mereka tanpa kecurigaan sedikitpun.

Kafir Quraisy menerima hal tersebut lantaran mereka beranggapan bahwa Abû Thâlib melindungi nabi Muhammad Saw. karena didorong oleh rasa ikatan darah (Himyah), bukan karena membela agama yang dibawanya (Ittibâ’). Anggapan seperti ini diperkuat dengan kesaksian mereka bahwa Abû Thâlib masih setia mengikuti agama leluhurnya yang berlaku dikalangan suku Quraisy.

Oleh karena itu andai masyarakat Quraisy mengetahui bahwa ternyata Abû Thâlib telah masuk ke agama Islam dan mengikuti nabi Muhammad Saw. maka mereka tidak akan pernah menerima perlindungannya yang diberikan kepada nabi Muhammad Saw., mereka akan membabi buta dalam menyerang nabi Saw. dan berbuat lebih kasar ketimbang sebelumnya, bahkan akan segera membunuhnya.

Fenomena demikian jelas menjadi halangan besar bagi Abû Thâlib untuk berterus terang dalam beragama, sehingga kepercayaan keagamaannya pun hanya ia semayamkan di dalam hati. Hal ini pula yang menjadikan Abû Thâlib terkadang “bermuka dua” sesekali ia menyampaikan perkataan-perkataan yang menunjukkan keislamannya, namun dalam satu kesempatan terkadang ia menyampaikan perkataan yang mengindikasikan bahwa dirinya masih tetap berpegang teguh dengan agama kaum Quraisy dan tidak mengikuti ajakan Rasulullah Saw.[11]

Sebagai penunjang gagasannya, Zainî Dahlan mengungkap persoalan yang bertalian dengan pernyataan dua kalimat syahadat yang telah dibahas oleh al-Barzanjî. Apakah mengucapkan dua kalimat syahadat termasuk bagian dari ketentuan iman (musammâ al-Îmân), atau hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia (al-Ahkâm al-Dunyawiyyah).? Jika pengucapan tersebut menjadi ketentuan keimanan maka orang yang tidak mengucapkannya dihukumi kafir dan berhak hidup di Neraka selama-lamanya. Namun apabila hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia maka di sisi Allah dihukumi sebagai orang yang beriman dan apabila masuk Neraka hanya bersifat sementara, tidak abadi.[12]

Dalam menjawab persoalan ini Zainî Dahlan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia, bukan sebagai syarat keabsahan iman. Karena sebagaimana yang dikatakan Al-Safâqasî dalam Syarh al-Tamhîd bahwa iman adalah membenarkan. Sehingga yang terpenting pengakuan di dalam hati, bukan penampilan luar.[13]

Al-‘Ainî dalam Syarh al-Bukhârî mengatakan, “pengakuan dengan lisan merupakan syarat pemberlakuan hukum. Sehingga orang yang membenarkan ajaran yang dibawa nabi Muhammad Saw. berarti ia mu’min di sisi Allah walaupun di lisan ia tidak mengakuinya.”

Pendapat seperti ini juga diungkapkan oleh para pembesar Ahl al-Sunnah lainnya seperti Abû Hanîfah, Abû al-Hasan al-Asy’arî, Abû Manshûr al-Mâturîdî, ‘Idludd al-Dîn, Imâm al-Haramain, al-Bâqillânî, Abû Ishâq al-Isfirâyinî, dan yang lainnya. Bahkan al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya, Ihya` ‘Ulûm al-Dîn, dan al-Taftâzânî, menetapkan pendapat ini sebagai madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.[14]

Di samping berpijak pada pendapat para ulama` Zainî Dahlân -dengan mengutip dari al-Barzanjî- juga mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis nabi Muhammad Saw.[15] Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh ‘Imrân binHushain:

من علم أن الله ربه وإني نبيه صادقا عن قلبه حرم الله لحمه على النار

Barang siapa mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhannya, dan aku nabinya sembari membenarkan di dalam hati maka Allah mengharamkan dagingnya masuk Neraka.”

Hadis riwayat Muslim, dari ‘Utsmân bin ‘Affân bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

من مات وهو يعلم أن لاإله إلاالله دخل الجنة

Orang yang meninggal dunia dan ia tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah maka ia akan masuk Sorga.” 
Hadis riwayat Thabrânî dari Salmah bin Nu’aim al-Asyja’î bahwa Rasulullah Saw. bersabda: 

من لقى الله لايشرك به شيئا دخل الجنة، قال: قلت يارسول الله وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق.

“Barang siapa bertemu Allah (meninggal dunia) dan ia tidak mensekutukan-Nya maka ia masuk Sorga. Salmah bertanya: Walaupun ia pernah melakukan zina atau mencuri ya Rasul? Nabi Saw. menjawab: (Ya), walaupun ia pernah berzina dan mencuri.”

Di samping persoalan di atas, masih dalam Bab pertama dalam bukunya, Zainî Dahlân mendedah permasalahan apakah dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus menggunakan lafadz khusus (لاإله إلاالله وأشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن) atau boleh diganti dengan yang lain. Dengan mengutip pernyataan al-Barzanjî ia mengatakan bahwa pendapat yang kuat (al-Râjih) dikalangan para ‘ulama` ialah tidak harus menggunakan dua kalimat tersebut, melainkan menggunakan lafadz lain pun diperbolehkan sebagaimana dalam persaksian kepada Tuhan menggunakan kata “غير الله”, “ماعدا الله”, “سوى الله” “إلاالباري” sebagai ganti dari kata “إلاالله”. Dalam bersaksi kepada nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah juga tidak harus menggunakan kalimat “وأشهد أن محمدا رسول الله” tapi boleh menggunakan lafadz lain seperti “محمد نبي الله”, “محمد مبعوث الله”, atau “أحمد الماحي.” Begitu juga boleh menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab (al-Lughât al-‘Ajamiyyah).[16]
  
C.       Mengungkap Keimanan Abî Thâlib
Jika dalam bab pertama Zainî Dahlân mewejangkan konsep iman dan islam yang kemudian diterapkan pada keimanan Abû Thâlib, dalam bab kedua di bawah judul Abû Thâlib dan Nabi Muhammad Saw. (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî) dan bab ketiga dengan judul Sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib) melalui analisanya yang tajam ia membuktikan bahwa Abû Thâlib benar-benar seorang mukmin.

Dengan mengutip perkataan dari al-Barzanjî, Zainî Dahlân menyatakan bahwa riwayat yang memberikan informasi tentang kecintaan Abû Thâlib kepada nabi Muhammad Saw. sangat banyak sekali, antara lain sya’ir yang dikumandangkan olehnya:

ولقد علمت بأن دين محمد      #         من خير أديان البرية دينا

“Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa agama Muhammad merupakan agama terbaik yang dimiliki makhluk di persada bumi ini.” 

ألم تعلموا أنا وجدنا محمدا      #         رسولا كموسى صح ذلك في الكتب 

“Apakah kalian tidak tahu bahwa sesungguhnya aku menemukan Muhammad sebagai utusan Tuhan sebagaimana Musa, (kerasulan Muhammad) benar adanya dan terungkap dalam semua kitab suci.”

إذا أجمعت يوما قريش لمفخر   #         فعبد مناف سرها وصميمها
فإن حصلت أنساب عبد منافها   #         ففي هاشم أشرافها وقديمها
وإن فخرت يوما فإن محمدا      #         هو المصطفى من سرها وكريمها 

“Pada suatu hari ketika kaum Quraisy berkumpul untuk membanggakan diri maka keturunan Abd Manâf menjadi hatinya.
Apabila keturunan Abd Manâf berkumpul maka keturunan Hâsyim orang-orang yang paling mulia (di antara mereka) dan pemimpinnya.
Apabila pada suatu hari nanti keturunan Hâsyim berada pada derajat termulia maka sesungguhnya Muhammad sebagai orang yang terpilih menjadi pemimpinnya dan termulia (di antara mereka).”[17] 

Sya’ir Abû Thâlib yang terakhir ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memilihku dari keturunan Hâsyim.”

Dalam mengomentari hadis nabi Saw. ini al-Barzanjî mengatakan, bahwa sya’ir yang pernah didendangkan oleh Abû Thâlib sesuai dengan wahyu yang diberikan kepada Muhammad Saw., karena beberapa saat setelah itu nabi mendapatkan wahyu bahwa dirinya telah terpilih menjadi manusia pilihan (al-Mushthafâ).”[18]
Dalam berbagai kesempatan Abû Thâlib juga sering berpesan (washiyyah) kepada orang-orang Quraisy untuk mengikuti nabi Muhammad Saw., ia mengatakan:

والله لكأني به وقد غلب ودانت له العرب ودانت له العرب والعجم فلا يسبقنكم إليه سائر العرب فيكونوا أسعد منكم 

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan selalu bersama Muhammad, ia akan menang, orang Arab dan ‘Ajam akan bersatu karenanya. Oleh karena itu jangan sampai kalian didahului oleh orang Arab lain untuk mengikuti Muhammad, sehingga mereka lebih bahagia daripada kalian.” 

Wasiat untuk menjadi pengikut nabi Muhammad Saw. ini berulang kali Abû Thâlib sampaikan, baik kepada Banî Hâsyim maupun kepada semua orang Quraisy lainnya.[19] Dalam satu kesempatan lain Abû Thâlib juga berkata kepada orang Quraisy:

“Kalian akan selalu mendengarkan sebaik-baik perkataan dari Muhammad dan sebaik-baik tindakan yang akan kalian ikuti darinya. Oleh karena itu taatlah kepada Muhammad, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.”[20] 

Bukan basa basi, bahkan jauh sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi nabi, Abû Thâlib menyebutkan “kenabian Muhammad Saw.”, yaitu pada saat ia berkhutbah dalam acara pernikahan Muhammad Saw. dengan Khadîjah Ra.
Dalam khutbahnya Abû Thâlib mengatakan:

الحمد لله الذي جعلنا من ذرية إبراهيم وزرع إسمعيل وضئضئ معد وعنصر مضر، وجعلنا حصنة بيته وسواس حرمه، وجعل لنا بيتا محجوبا وحرما أمنا، وجعلنا الحكام على الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لايوزن برجل إلارجح شرفا ونبلا وفضلا وعقلا وهو والله بعد هذا له نبأ عظيم وخطر جسم. 

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menjadikan kita sebagai keturunan nabi Ibrahîm melalui nabi Isma’îl berpangkal pada Mu’ad dan berasal dari Mudlar, dan Dzat yang telah menjadikan kita sebagai penjaga rumah-Nya dari syaitan yang berada di tanah Haram, Dzat yang telah menjadikan rumah tertutup, mulia, dan aman untuk kita, Dzat yang telah menjadikan kita juru hukum untuk manusia. Sesungguhnya keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak bisa dibandingkan dengan siapapun kecuali ia akan unggul kemuliaannya, kepintarannya, keutamaannya, dan kecerdasannya. Demi Allah, setelah ini Muhammad akan memiliki cerita yang besar dan derajat yang paling tinggi.”

Khutbah ini disampaikan jauh sebelum nabi Muhammad Saw. diutus menjadi nabi dengan selisih lima belas tahun.[21] Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum nabi Muhammad diutus menjadi nabi, Abû Thâlib sudah melihat tanda-tanda kebaikan (tafarras) pada diri Muhammad, hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ketika nabi Muhammad Saw. diutus Abû Thâlib seketika itu langsung beriman dan membenarkan risalahnya.

Abû Thâlib juga banyak meriwayatkan hadis nabi Muhammad Saw. dan beberapa kalimat lain yang mengindikasikan bahwa dirinya beriman, hatinya dipenuhi dengan keperpacayaan terhadap ke-Esaan Tuhan. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh al-Khathîb al-Baghdâdî dengan sanad yang bersambung kepada Ja’far al-Shâdiq, Muhammad al-Bâqir, Zain al-‘Âbidîn, Husain, Ali bin Abî Thâlib, bahwa Ali bin Abî Thâlib mengatakan: Aku pernah mendengar Abû Thâlib berkata:

حدثني محمد ابن أخي وكان والله صدوقا. قال: قلت له بم بعثت يامحمد؟ قال: بصلة الأرحام وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة. 

“Muhammad, keponakanku, bercerita kepadaku dan demi Allah dia orang yang sangat jujur. Abî Thâlib berkata: Aku bertanya kepada Muhammad Saw., dengan apa engkau diutus wahai Muhammad? Muhammad menjawab: Dengan menyambung tali persaudaraan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”

Dalam mengomentari hadis ini Zainî Dahlân menafsirkan kata shalat dengan dua macam; pertama, shalat dua raka’at sebelum matahari terbit dan dua raka’at sebelum matahari terbenam, shalat ini dilakukan pada masa-masa permulaan Islam. Kedua, shalat tahajjud, karena sejak nabi Muhammad Saw. diutus beliau diperintahkan Allah untuk melaksanakannya.

Shalat dalam hadis tersebut tidak boleh dipahami dengan shalat lima waktu sebagaimana sekarang, karena shalat lima waktu baru diwajibkan di malam Isrâ`, sementara Isrâ` sendiri baru dilakukan setelah Abî Thâlib wafat dengan selisih waktu satu tahun setengah. Abî Thâlib wafat pada pertengahan bulan Syawal tahun kesepuluh setelah nabi Saw. diutus dalam usia lebih dari delapan puluh tahun.

Kata zakat yang terdapat dalam hadis di atas juga menurut Zainî Dahlân tidak boleh ditafsirkan dengan zakat sebagaimana yang ada sekarang (al-Zakâh al-Syar’iyyah), melainkan zakat yang dimaksud adalah shadaqah secara mutlak, memuliakan tamu dan bentuk shadaqah harta lainnya, karena al-Zakâh al-Syar’iyyah dan zakat fitrah baru disyari’atkan setelah nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, dan ini terjadi setelah Abû Thâlib wafat.[22]
Al-Khathîb juga meriwayatkan hadis yang sanadnya berakhir kepada Abû Thâlib. Diceritakan oleh Abî Râfi’, hamba yang telah dimerdekakan oleh Ummi Hânî` bint Abî Thâlib, bahwa ia mendengar Abû Thâlib mengatakan:

حدثني محمد ابن أخي أن الله أمره بصلة الأرحام وأن يعبد الله لايعبد معه أحدا. قال ومحمد عندي الصدوق الأمين. 

“Muhammad, keponakanku bercerita kepadaku bahwa Allah telah memerintahkannya untuk menyambung tali persaudaraan, menyembah kepada-Nya dan tidak menyembah yang lain. Abû Thâlib mengatakan, Muhammad menurutku adalah orang yang sangat bisa dipercaya.”[23]

Dalam membuktikan keimanan Abû Thâlib Zainî Dahlân di samping menggunakan bukti sejarah tertulis juga menggunakan telaah kontemplatif dari sejarah hidup Abû Thâlib. Di masa hidupnya Abû Thâlib sangat mencintai nabi Muhammad Saw. bahkan sejak Abdul Muthallib wafat Abû Thâlib selalu mengawal nabi Saw., kemanapun beliau pergi Abû Thâlib pasti ada di sisinya.

Diceritakan oleh Ibn ‘Abbâs bahwa, “Cintanya Abû Thâlib kepada nabi Muhammad Saw. melebihi dari cintanya yang diberikan kepada anak-anaknya, Abû Thâlib tidak tidur kecuali di sisi nabi Saw. dan setiap kali nabi Saw. keluar ia selalu menyertainya.”

Begitu juga sebaliknya, nabi Muhammad Saw. juga sangat mencintai Abû Thâlib. Dalam salah satu riwayat diinformasikan bahwa nabi Saw. tidak pernah berlindung kepada siapapun kecuali kepada Abû Thâlib, hati nabi Saw. tidak pernah merasa tenang kecuali bersamanya. Oleh karena itu nabi Saw. bersabda: “Orang Quraisy tidak pernah menyakitiku lebih kasar sehingga Abû Thâlib wafat.” Karena begitu dalamnya cinta nabi Muhammad Saw. kepada Abû Thâlib hingga tahun kematiannya disebut dengan “tahun derita” (‘Âm al-Huzn).[24]

Tak dapat disangkal bahwa Abû Thâlib sering menyaksikan mukjizat nabi Saw., bahkan sejak nabi Saw. masih berusia belia ia tidak jarang menjumpai keajaiban-keajaiban yang terjadi pada diri Rasulullah Saw. (Khawâriq al-‘Âdah).
Al-Kisah, Abû Thâlib merupakan salah seorang yang ekonominya pas-pasan sementara keluarga yang menjadi tanggungannya sangat banyak, setiap kali keluarganya makan sendiri-sendiri mereka tidak merasa kenyang karena makanan yang disediakan sangat terbatas. Namun setelah mereka makan bersama nabi Saw. mereka merasa kenyang. Oleh karena itu setiap kali Abû Thâlib hendak memberikan makanan kepada mereka ia berkata, “Kalian makan harus bersama Muhammad Saw.” Mereka pun berkenan menunggu hingga ketika Muhammad Saw. datang baru dilaksanakan makan bersama. Setiap makan bersama nabi Muhammad Saw. mereka merasa kenyang, bahkan makanannya terkadang sampai lebih. Ketika menu hidangan yang diberikan Abû Thâlib berupa susu maka nabi Muhammad Saw. mengawali meminumnya, kemudian baru disusul keluarganya yang lain. Susu yang berada di dalam gelas bambu itu –dengan lantaran nabi Muhammad Saw.- tidak akan habis sebelum semua keluarga Abû Thâlib merasa kenyang walaupun mereka meminumnya sendiri-sendiri. Abû Thâlib berkata kepada nabi Muhammad Saw., “إنك لمبارك (Sesungguhnya engkau orang yang diberi kebaikan).”[25]

Selama hidupnya Abû Thâlib selalu melindungi nabi Muhammad Saw. baik sebelum nabi Saw. diutus maupun sesudahnya. Ketika Abû Thâlib bepergian bersama nabi Muhammad Saw. untuk berdagang ke kota Syâm, pada saat itu nabi Saw. baru berusia sembilan tahun, tiba-tiba di tengah jalan bertemu dengan seorang pendeta yang bernama Bahîrâ. Bi al-iktifâ wa al-Ikhtishâr, pendeta melihat bahwa pada diri Muhammad Saw. terdapat tanda-tanda kenabian hingga kemudian diceritakan kepada Abû Thâlib. Lalu pendeta meminta kepada Abû Thâlib agar Muhammad Saw. segera dibawa pulang ke Makkah karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari perlakuan orang-orang Yahudi. Tanpa berpikir panjang Abû Thâlib pun segera membawa nabi Saw. pulang karena demi menyelamatkannya.[26]

Sungguh melalui bukti-bukti di atas tidak dapat diragukan lagi bahwa Abû Thâlib merupakan orang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya, Abû Thâlib bukan orang kafir, musyrik, ataupun munafiq, tapi ia adalah orang mukmin dan muslim sejati. Andai tidak demikian tidak mungkin Abû Thâlib melindungi nabi Saw. hingga mati-matian, tidak mungkin ia berpesan kepada masyarakatnya agar mengikuti perintah nabi Saw., juga tidak mungkin pula ia memerintahkan anak-anaknya seperti Ali, Ja’far, untuk mengikuti nabi Saw., menolong, dan shalat bersamanya. ‘Imrân bin Hushain menceritakan bahwa Abû Thâlib memerintahkan puteranya yang bernama Ja’far untuk melaksanakan shalat bersama nabi Saw.:

صل جناح ابن عمك فصلى جعفر مع النبي صلى الله عليه وسلم كما صلى علي رضي الله عنه. 

“Shalatlah bersama anak pamanmu (Muhammad Saw.). Lalu Ja’far pun shalat bersama nabi Saw. sebagaimana Ali shalat bersamanya.”

Dalam mengomentari riwayat ini al-Barzanjî menyatakan, “Andai Abû Thâlib bukan orang yang membenarkan agama Muhamad Saw. niscaya ia tidak rela menyaksikan kedua anaknya bersama nabi Saw. dan shalat bersamanya, dan ia tidak mungkin memerintahkan kedua anaknya untuk melakukan shalat, karena permusuhan sebab beda agama merupakan permusuhan yang sangat tajam (Asyadd al-‘Adâwât) sebagaimana yang terungkap dalam sya’ir berikut:

كل العداوات قد ترجى إمانتها   #         إلا عداوة من عاداك في الدين 

“Semua permusuhan sesungguhnya diharapkan segera reda, kecuali permusuhan orang yang memusuhimu karena persoalan beda agama.”[27]

D.      Reinterpretasi Teks-Teks Kontradiktif
Kajian keimanan Abû Thâlib merupakan salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama`, di antara mereka ada yang pro dan ada yang kontra. Zainî Dahlân dan al-Barzanjî merupakan salah satu dari sederet ulama` yang pro atas keimanan Abû Thâlib. Salah satu hal yang menarik dalam bukunya Zainî Dahlân ini -yang tentunya didapat dari al-Barzanjî- ada dalam bab keempat di bawah judul “Abû Thâlib dan Pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah).” Dalam bab ini Zainî Dahlân di samping menyatakan bahwa di akhirat Abû Thâlib akan mendapatkan pertologan dari Nabi Saw. (syafâ’ah) juga ia menanggapi pendapat yang kontra dengan cara menginterpretasikan ulang Teks-teks keagamaan (al-Quran dan al-Hadis) yang dijadikan kaki pijak referensial oleh para ulama` yang kontra.

Di antara dalil yang dijadikan dasar pemikiran oleh ulama yang kontra ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim:[28]

عن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه عم النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم: أن أبا طالب كان يحوطك أي يحفظك وينصرك ويغضب لك فهل ينفعه ذلك؟ قال: نعم وجدته في غمرات من النار. 

“Diceritakan dari ‘Abbâs bin Abd al-Muthallib Ra., paman nabi Saw, bahwa ‘Abbâs berkata kepada Rasulullah Saw.: Sesungguhnya Abû Thâlib selalu menolong, melindungi, dan menasihatimu, apakah hal tersebut dapat bermanfaat bagi Abû Thâlib? Nabi Saw. menjawab: “Ya, aku menemukan Abû Thâlib di Neraka bagian paling atas (fî ghamarât min al-Nâr).”

Dalam riwayat lain hadis tersebut terdapat tambahan keterangan demikian:

وكان في غمرات من النار أي مشرفا عليها فأخرجته إلى ضحضاح، ولولا أنا لكان في الدرك الأسفل من النار. 

“Abû Thâlib berada di Neraka paling atas kemudian aku mengeluarkannya hingga Neraka hanya dapat merembas ke kedua telapak kakinya (Dlahdlâh), andai tidak ada aku niscaya Abû Thâlib akan berada di Neraka paling bawah.”

Dalam riwayat lain yang juga diinformasikan oleh Bukhârî dan Muslim diceritakan:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم ذكر عنده عمه أبو طالب فقال: لعله تناله شفاعتي يوم القيامة فيجعل في ضحضحاح من نار يبلغ كعبيه يغلى منها دماغه. 

“Diceritakan dari Abî Sa’îd al-Khudrî Ra. bahwa nabi Muhammad Saw. pernah bersabda di sisi pamannya, Abû Thâlib: “Semoga saja kelak di hari Qiyamat syafa’atku sampai kepada Abû Thâlib sehingga ia berada di tempat yang api Neraka hanya mengenai kedua mata kakinya dan otaknya mendidih sebab api Neraka tersebut.

Imam Muslim dan yang lainnya menceritakan bahwa nabi Saw. pernah bersabda:

أن أبا طالب أهون أهل النار عذابا. 

“Sesungguhnya siksaan Abû Thâlib merupakan paling ringan-ringannya penduduk Neraka.”

Para ulama` yang berpendapat bahwa Abû Thâlib kelak di akhirat tidak selamat alias masuk Neraka karena ia kafir berkaki pijak pada hadis di atas. Menurutnya hadis shahîh tersebut memberikan informasi bahwa Abû Thâlib telah kufur dan kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam Neraka. Oleh karena itu sangat muhal untuk menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan selamat karena dalam hadis tersebut nabi Muhammad Saw. menceritakan keadaan yang terjadi di antara Abû Thâlib dengan Allah. Sehingga dari informasi nabi Saw. di atas terungkap bahwa Abû Thâlib di dalam hatinya tidak membenarkan risalah nabi Saw. Sedangkan pertolongan dan perlindungan yang diberikan Abû Thâlib kepada nabi Saw. tidak lebih dari bentuk pembelaan suku atau untuk menjaga harga diri klan (Himyah al-‘Arab wa al-Unfah) yang memang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Arab saat itu.

Dalam mengomentari hadis nabi Saw. yang dijadikan kaki pijak referensial oleh ulama` yang kontra di atas al-Barzanjî menyatakan, bahwa hadis tersebut sebenarnya malah menunjukkan pemahaman sebaliknya, yaitu Abû Thâlib beriman dan kelak di akhirat akan selamat, karena Allah telah memberikan khabar bahwa siksaan bagi orang kafir tidak bisa diperingan, mereka tidak bisa keluar dari Neraka dan tidak akan bisa ditolong oleh orang yang bisa memberikan syafa’at, sementara Abî Thâlib siksaannya dapat diperingan dan bisa menerima syafa’at.

Dalam hadis lain dijelaskan bahwa orang mukmin yang durhaka (‘ushâh al-Mukminîn) kelak di akhirat akan di tempatkan di ruang  Jahîm, yaitu ruangan Neraka paling atas dan siksaan yang ditimpakan kepadanya lebih ringan ketimbang siksaan yang dikenakan kepada orang kafir. Oleh karena itu hadis yang menginformasikan bahwa siksaan Abû Thâlib merupakan siksaan yang paling ringan  di atas tidak boleh dipahami “ringan dibanding orang kafir saja,” tapi “mencakup perbandingan dengan orang mukmin yang durhaka.” Andai tidak demikian berarti “dawuh nabi” di atas tidak dapat dibenarkan keabsahannya.

Begitu juga andai Abû Thâlib dipastikan sebagai orang kafir yang kelak akan dimasukkan ke dalam Neraka selama-lamanya, sementara nabi Muhammad Saw. menjanjikan keringanan siksa bagi Abû Thâlib, maka dari hadis tersebut akan menimbulkan pemahaman bahwa siksaan orang kafir lebih ringan ketimbang orang mukmin yang durhaka, dan pemahaman seperti ini jelas tidak mungkin.

Abû Thâlib mendapat keringanan demikian karena pertolongan dari nabi Saw., siksaan yang ia dapat merupakan siksaan yang paling ringan di antara yang lainnya. Abû Thâlib diangkat ke permukaan Neraka hingga api Neraka hanya berada dibawah kedua telapak kakinya. Keberadaan Abû Thâlib di tempat ini jelas membuktikan bahwa ia berada di ruang Neraka yang ditempati oleh orang-orang mukmin durhaka, karena di atas tempat tersebut tidak ada tempat lagi.
Untuk memperkuat pandangannya Zainî Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî- menyebutkan beberapa hadis lain yang bertalian dengan permasalahan ini, antara lain hadis yang mengungkap bahwa nabi Muhammad Saw. bersabda: “Pertolonganku (Baca: Syafa’at) hanya untuk orang mukmin yang melakukan dosa besar.” Dalam  riwayat lain diungkapkan, “Syafa’atku hanya untuk orang yang tidak menyekutukan Allah.”

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang kafir tidak akan mendapatkan syafa’at dari nabi Saw. sementara Abû Thâlib mendapatkannya, sehingga sangat jelas bahwa ia termasuk orang yang beriman, bukan kafir. Siksaan bagi orang mukmin yang durhaka bersifat sementara, temporal, pada suatu saat mereka akan dikeluarkan dan akan dimasukkan ke dalam Sorga.[29]

Berkait kelindan dengan pembahasan ini Zainî Dahlân juga menampilkan beberapa riwayat lain yang secara tekstual menyatakan bahwa Abû Thâlib meninggal dunia dalam keadaan kafir, namun melaui analisanya yang sangat tajam Zainî Dahlân berhasil menginterpretasikannya ke makna lain yang lebih rasional dan kontekstual. Riwayat tersebut di antaranya menyebutkan bahwa ketika Abû Thâlib hendak meninggal dunia nabi Muhammad Saw. memintanya agar ia mengucapkan kalimat syahadat, namun Abû Thâlib tidak mengucapkannya. Nabi Saw. berkata kepada Abû Thâlib: “Wahai pamanku, katakanlah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karena dengan kalimat ini engkau akan selamat di sisi-Nya.” Saat itu di sisi Abû Thâlib hadir Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah, keduanya mengatakan:“Wahai Abû Thâlib, apakah engkau tidak senang terhadap agama Abdul Muthallib?” Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah terus menerus bertanya demikian kepada Abû Thâlib hingga pada akhirnya perkataan yang keluar dari mulut Abû Thâlib menyatakan kesetiaan dirinya terhadap agama ayahnya, Abdul Muthallib, dan tidak mengucapkan kalimat syahadat.[30]

Menurut Zainî Dahlân kenapa Abû Thâlib enggan menyatakan keislamannya dan berpura-pura setia terhadap agama kaum Quraisy karena ia dalam kondisi terpaksa (‘udzur), di sisinya ada Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah. Andai Abû Thâlib mengikuti perintah nabi Saw. mengucapkan kalimat syahadat niscaya seketika itu nabi Saw. akan diserang oleh Abû Jahal, Abdullah bin Umayyah, dan kafir Quraisy lainnya. Oleh karena itu demi menyelamatkan nabi Muhammad Saw. Abû Thâlib terpaksa harus merahasiakan keislamannya sembari berpura-pura setia terhadap Abû Jahal.

Kendati demikian, sebenarnya riwayat tentang hal ini terdapat banyak versi yang sangat beragam, salah satunya -di samping riwayat di atas- riwayat yang menginformasikan bahwa ketika Abû Thâlib mendekati ajal, Abbâs yang saat itu berada di sampingnya mendengar bahwa Abû Thâlib mengucapkan syahadat. Abbâs berkata kepada nabi Saw.,“Wahai keponakanku, demi Allah saudaraku (Abû Thâlib) telah mengucapkan kalimat yang engkau perintahkan kepadanya.” Lalu Rasulullah Saw. menjawab: “Aku tidak mendengar.” Dalam perkataan ini Abbâs tidak menyatakan kalimat secara jelas (kalimat yang engkau perintahkan kepadanya) karena pada saat itu ia belum masuk Islam.
Hadis ini oleh para ulama` yang tidak menerima keimanan Abû Thâlib dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa keimanan harus dilafadzkan, tidak cukup jika hanya dirahasiakan di dalam hati. Di antara mereka juga ada yang mengklaim bahwa hadis ini lemah sehingga tidak bisa dijadikan kaki pijak hukum.

Bagi Zainî Dahlân hadis tersebut –jika memang benar keabsahannya- justru menegaskan bahwa Abû Thâlib dihukumi kafir dalam hukum dunia, namun di sisi Allah ia orang yang beriman, selamat, dan hatinya penuh dengan keimanan.[31]      

Sedangkan dalil al-Quran yang sering dijadikan sandaran hukum oleh ulama` yang kontra antara lain QS. al-Qashash 56:

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Menurut Zainî Dahlân ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan pernyataan keimanan Abî Thâlib karena makna yang terkandung di dalam ayat ini hanya sebatas memberikan informasi bahwa yang memberikan petunjuk kepada manusia hanyalah Allah, bukan yang lain.

Kendati diceritakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan ketika nabi Saw. meminta Abû Thâlib untuk membaca syahadat yang berarti pada saat itu nabi berada di sisinya, namun pada kenyataannya terdapat beberapa riwayat lain yang mengindikasikan bahwa pada saat itu nabi Muhammad Saw. tidak berada di sisi Abû Thâlib. Riwayat tersebut antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dan Ibn ‘Asâkir bahwa Ali bin Abî Thâlib mengatakan: Aku memberi khabar kematian Abû Thâlib kepada nabi Muhammad Saw. Lalu beliau menangis dan bersabda: “Pergilah, mandikanlah dia (Abû Thâlib), dan kafanilah, serta sediakanlah tempat pemakamannya. Semoga Allah mengampuni dan merahmatinya.” Lalu aku pun melakukan hal tersebut.

Nabi Saw. tidak menghadiri jenazah Abû Thâlib karena beliau khawatir diserang oleh orang-orang bodoh dari kaum Quraisy. Abû Thâlib tidak dishalati karena pada saat itu shalat jenazah belum disyari’atkan.[32]

Walhasil, terlepas dari hadir atau tidaknya nabi Muhammad Saw. pada saat Abû Thâlib menjelang wafat -menurut Zainî Dahlân- riwayat-riwayat tersebut tidak dapat menggoyang pendapatnya yang menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman, karena keimanan Abû Thâlib di dalam hati, bukan di lisan.

E.       Keselamatan Bagi Abî Thâlib
Dalam bab kelima di bawah judul “Keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abî Thâlib)” Zainî Dahlân membuktikan secara jelas bahwa Abû Thâlib kelak di akhirat akan selamat dari api Neraka dan bertempat tinggal di Sorga selama-lamanya.
Di samping menggunakan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas Zainî Dahlân juga menambahkan beberapa dalil lain yang secara eksplisit menyebut keselamatan Abû Thâlib sembari menanggapi pendapat yang kontra. Salah satunya ialah QS. Al-A’râf 157:

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dalam ayat ini terungkap sangat jelas bahwa orang yang membenarkan risalah nabi Saw. (baca: beriman), memuliakan, dan menolongnya, serta mengikuti petunjuk al-Quran kelak di akhirat akan bahagia. Hal demikian telah dilakukan oleh Abû Thâlib, ia di samping di dalam hatinya beriman, menolong nabi Saw. dari serangan kafir Quraisy, juga mengikuti petunjuk al-Quran. Saat itu perintah syari’at hanya berupa meng-Esakan Tuhan, menyambung tali persaudaraan, dan tidak menyembah berhala. Shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan yang lainnya belum disyari’atkan.

Dari sini timbul pertanyaan, kenapa sebelum Abû Thâlib di tempatkan di Sorga ia harus masuk Neraka terlebih dahulu? Dalam hal ini Zainî Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî- memberikan jawaban dengan beberapa opsi, antara lain; karena Abû Thâlib tidak mengucapkan kalimat syahadat secara lisan, atau karena meninggalkan shalat dua rakaat yang dikerjakan pada waktu pagi dan sore yang dilakukan oleh nabi Saw. pada masa awal Islam, atau bisa juga disebabkan ia tidak menjalankan shalat tahajjud yang juga dilakukan oleh Rasulullah pada masa permulaan Islam. Di samping alasan-alasan tersebut juga terdapat kemungkinan lain karena ia tidak menunaikan kewajiban terhadap sesama (huqûq al-‘ibâd), silaturrahim, membantu orang lain, dan yang lainnya.

Dalam membahas keselamatan Abû Thâlib ini Zainî Dahlân juga mengajukan tesis bahwa sebelum Abû Thâlib “beriman” ia bukan seorang paganis yang menyembah berhala sebagaimana umumnya masyarakat Arab saat itu. Abû Thâlib –menurut Zainî Dahlân- termasuk salah seorang yang saat itu menganut agama tauhîd atau yang biasa disebut dengan agama Ibrahîm. Hal demikian dapat dibuktikan dengan melihat kepribadiannya yang berbudi pekerti luhur, selalu melindungi klannya (himâyah al-dzimâr), dan tidak pernah menyembah berhala. Oleh karena itu saat dia meninggal perkataan terakhir yang keluar dari mulutnya ialah pernyataan kesetiaannya kepada agama Abdul Muthallib, yaitu agama tauhid.[33] Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah saat itu tidak tahu kalau yang dikehendaki “agama Abdul Muthallib” adalah agama tauhid. Menurut Zainî Dahlân agama yang dimiliki Abdul Muthallib sesungguhnya berupa agama tauhid, bukan paganisme, karena andai Abdul Muthallib penganut paganisme berarti nabi Muhammad Saw. sebagai keturunan penyembah berhala, dan ini tidak dapat dibenarkan.

Dalam penelitian Zainî Dahlân, tidak ada satu pun hadis nabi Saw. yang menginformasikan bahwa Abû Thâlib akan hidup abadi di Neraka, karena memang Abû Thâlib di Neraka hanya “mampir,” sementara, dan ia mendapat siksaan yang paling ringan dibandingkan orang mukmin yang durhaka sekalipun. Dalam salah satu hadis diceritakan bahwa nabi Saw. bersabda: “Kelak orang-orang mukmin yang durhaka akan dikeluarkan dari Neraka Jahîm, dan angin akan membukakan pintunya serta di tempat tersebut akan tumbuh tanaman Jarjîr.” Menurut Zainî Dahlân, Abû Thâlib juga demikian, bahkan ia termasuk orang yang pertama kali dikeluarkan dari Neraka karena azab yang ia terima paling ringan dibanding yang lainnya. Setelah itu kemudian mereka, termasuk Abû Thâlib, langsung bertempat di Sorga karena di akhirat tidak ada tempat lain selain keduanya, Neraka dan Sorga.[34]

II. Epilog

Dengan “mengencani” karya intelektual anggitan Zainî Dahlân ini setidaknya dapat dipahami bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang mukmin sejati, namun keimanannya hanya ia simpan di dalam hati, tidak ia obralkan di muka publik.

‘Alâ kulli hâl, kajian yang disuguhkan oleh Zainî Dahlân di atas, khususnya dalam pembahasan konsep iman (Bâb Itsbât al-Îmân), untuk konteks kekinian dan kedisinian kiranya sangat relevan untuk diterapkan. Menurut Zainî Dahlân, sisi yang terpenting dalam beriman adalah pembenaran hati, bukan pengakuan lisan. Oleh karena itu mengingat bangsa Indonesia dihuni oleh lintas iman (baca: agama) maka demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa seyogyanya “ummat yang merasa punya agama” dalam bergaul dengan umat agama lain harus “merahasiakan keimanannya” sebagaimana Abû Thâlib mendiamkan keimanannya di dalam hati demi menjaga persatuan dan kesatuan kaum Quraisy. Karena andai Abû Thâlib berterus terang dalam keimanannya niscaya akan terjadi perpecahan di antara mereka, dan jika terjadi demikian maka amukan emosi Quraisy jelas akan ditimpakan kepada nabi Muhammad Saw. sebagai pihak minoritas yang memiliki keimanan berbeda. Wallahu A’lam bis Shawwâb.


*Dipresentasikan dalam diskusi “Telaah Kitab Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib” pada hari Selasa, 06 Desember 2011. di Kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.

**Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.


[1] Shâlih al-Wardânî dalam kata pengantar buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 14.

[2] Baca Abî Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam, (Dâr al-Fikr al-‘Arabî: Kairo, 1425) vol. I, hal. 391.

[3] Khairuddîn al-Zarkilî, al-A’lâm, (Dâr al-‘Ilm, cet. XV, 2002), vol. I, hal. 129. Lihat karangan selengkapnya dalam Ismâ’îl bin Muhammad al-Baghdâdî, Hadiyah al-‘Ârifîn; Asmâ’ al-Mu`allifîn wa `Âtsâr al-Mushannifîn, (Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî: Beirut-Libanon, tt.), vol. I, hal. 191.

[4] Yûsuf bin `Ilyân, Mu’jam al-Mathbû’ât al-‘Arabiyyah wa al-Mu’rabah, (Mathba’ah Sirkîs: Mesir, 1928), vol. II, hal. 990.

[5] Ridlâ bin Muhammad al-Sanûsî, Daur Ulamâ` Makkah al-Mukarramah fî Khidmah al-Sunnah wa al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Majma’ al-Malik Fahd: Madinah, tt.), vol. I, hal. 24.

[6] Nama asli beliau Ja’far bin Hasan bin Abd al-Karîm bin al-Sayyid Muhammad bin Abd al-Rasûl al-Barzanjî, garis keturunannya bersambung kepada Hasan bin Alî bin Abî Thâlib. Ia lahir pada malam Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1040 H. dan wafat pada bulan Muharram 1103 H. dimakamkan di Madinah. Pada masa hidupnya ia pernah menjabat sebagai mufti besar madzhab Syafi’î di Madinah. Baca Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn al-Tsânî ‘Asyar, (Dâr Ibn Hazm, cet. III, 1988), vol. II, hal. 9. dan Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn al-Tsânî ‘Asyar, vol. IV, hal. 66

[7] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 15.

[8] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 19-20.

[9] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.

[10] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.

[11] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.

[12] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.

[13] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.

[14] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.

[15] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23-24.

[16] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 35.

[17] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.

[18] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.

[19] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 29.

[20] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.

[21] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.

[22] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.

[23] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.

[24] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 38.

[25] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 37-38.

[26] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.

[27] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.

[28] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 52-64.

[29] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 56.

[30] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 59.

[31] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 60.

[32] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 62.

[33] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 70-71.

[34] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 73-98.