Pendekatan Pengkajian Tasawuf


Adapun ihsān dalam hadis tersebut diartikan: “Bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan kau melihatNya, dan jika engkau tak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” Jelas bahwa pengertian ihsān ini menekankan pada pentingnya kesadaran seseorang akan kedekatan, dan usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawuf kiranya merupakan ilmu keislaman yang menelaah dan menggali makna ihsān.

Seperti fiqh dan kalam, tasawuf juga menyandarkan diri pada otoritas al-Qur’an dan Hadis. Tetapi berbeda dengan kedua ilmu keislaman tersebut, tasawuf memberikan penekanan yang kuat pada pentingnya pengalaman keagamaan yang sifatnya langsung, subyektif dan cenderung misterius. Kalau ilmu kalam membicarakan argumen-argumen tentang adanya Tuhan, maka tasawuf menekankan bagaimana agar Tuhan yang diyakini ada itu benar-benar tarasa hadir bahkan “dilihat” oleh mata batin. Demikianpula jika fiqh membicarakan apa syarat dan rukun sembahyang yang lebih bersifat lahiriah, maka tasawuf akan membicarakan dimensi-dimensi batin dalam ibadah tersebut.

Penekanan pada pengalaman keagamaan ruhaniah yang subyektif dan cenderung misterius itu pada gilirannya membuat kajian terhadap ilmu tasawuf memiliki watak tersendiri. Abū Hāmid al-Ghazāli (W. 505 H/ 1111 M), tokoh tasawuf sunni yang sangat berpengaruh hingga hari ini, dengan gamblang menggambarkan betapa ilmu tasawuf itu berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam al-Munqidz min al-Dhalāl, ia mengatakan:

Kemudian setelah aku selesai mempelajari ilmu-ilmu ini [ilmu kalam, filsafat dan ajaran Syia’h Batiniah, pen.], aku memusatkan perhatian sepenuhnya kepada jalan tasawuf, dan aku mengetahui bahwa metode mereka hanya dapat dilaksanakan dengan sempurna melalui ilmu dan amal. Buah dari amal mereka adalah tersingkirnya berbagai hambatan dari jiwa dan kebersihannya dari berbagai akhlak tercela dan sifat-sifat yang buruk, sehingga orang mencapai pengosongan hati dari selain Allah, dan mengisinya dengan ingat kepada Allah.

Bagiku ilmu lebih mudah daripada amal, karena itu aku memulai dengan mempelajari ilmu mereka dengan cara menelaah karya-karya mereka seperti Qūt al-Qulūb karya Abū Thālib al-Makkī rahimahullāh, karangan-karangan al-Muhāsibī dan serpihan-serpihan yang berasal dari al-Junaid, al-Shiblī, Abī Yazīd al-Busthāmī, semoga Allah mensucikan arwah mereka, dan juga berbagai pernyataan dari guru-guru mereka, sampai akhirnya aku dapat menembus hakikat maksud-maksud ilmiah mereka, dan aku memperoleh apa yang mungkin diperoleh melalui metode belajar dan mendengar.

Maka nampaklah bagiku bahwa keistimewaan orang-orang yang istimewa ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dicapai melalui belajar, melainkan melalui rasa (dzawq), pengalaman batin (hāl) dan perubahan sifat-sifat diri. Betapa jauh perbedaan antara mengetahui definisi sehat dan definisi kenyang beserta sebab-sebab dan syarat-syaratnya, dengan merasakan sehat dan kenyang itu sendiri. [Demikianpula] betapa jauh perbedaan antara mengenal definisi mabuk sebagai suatu istilah tentang keadaan yang timbul karena naiknya uap panas dari perut ke pusat pikiran, dengan menjadi mabuk. Sesungguhnya seorang pemabuk tidak mengetahui definisi mabuk dan ilmu tentangnya ketika dia sedang mabuk, bahkan dia tidak menyadari ilmu apapun yang dimilikinya, sedangkan orang yang sadar dapat mengenali definisi mabuk dan unsur-unsurnya, padahal dia tidak mengalami kemabukan sedikit juapun. Adapun seorang dokter yang sakit, dia tetap mengetahui definisi sehat, sebab-sebabnya dan obat-obatnya, meskipun dia sendiri tengah mengalami hilangnya kesehatan itu. Demikian itulah perbedaan antara kamu mengetahui pengertian zuhud, syarat-syaratnya dan sebab-sebabnya, dengan keadaan dirimu sendiri yang zuhud dan berpalingnya jiwamu dari dunia.

Watak tasawuf yang menekankan pada pengalaman langsung yang diperoleh melalui “ilmu dan amal” ini menjadi masalah penting terutama manakala tasawuf ditelaah secara akademis. Apa kiranya pendekatan yang tepat dalam mengkaji tasawuf secara akademis? Apakah, untuk benar-benar memahaminya, seorang pengkaji tasawuf haruspula menjadi seorang sufi, atau cukup mempelajarinya sebagai ilmu saja? Jika mempelajarinya sebagai ilmu saja, apakah kiranya pendekatan yang tepat untuk dapat memahami berbagai pernyataan dan penjelasan para sufi yang disebutkan dalam kitab-kitab tasawuf? Bukankah pernyataan dan penjelasan mereka itu hanyalah ungkapan verbal dari pengalaman ruhaniah yang jauh lebih dalam? Di sisi lain, pertanyaan kritis bisa juga diajukan. Apakah memang benar klaim-klaim pengalaman ruhaniah para sufi itu? Benarkah ilmu tasawuf yang secara doktrin sangat berorientasi keruhanian itu dalam kenyataan sosialnya tidak memiliki hubungan kepentingan duniawi seperti kepentingan ekonomi dan politik?

Berbagai pertanyaan di atas telah mengusik para pengkaji tasawuf di dunia akademik hingga sekarang. Dalam kesempatan ini saya akan mencoba memaparkan beberapa pendekatan yang selama ini telah dikembangkan para akademisi dalam mengkaji tasawuf. Pemaparan ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai apa yang telah dilakukan para sarjana selama ini, dan pada gilirannya diharapkan dapat dikembangkan oleh kita masing-masing. Berikut ini akan dipaparkan enam pendekatan, yaitu pendekatan historis, filologis, fenomenologis, tradisionalis, reformis dan sosiologis.

1. Pendekatan Historis

Kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya yang dikembangkan oleh para orientalis dan berpengaruh luas ke dunia Islam, kebanyakannya bersifat historis. Asumsi dasar dari pendekatan historis adalah bahwa suatu pemikiran, gerakan dan peristiwa yang telah terjadi adalah anak kandung dari zamannya (ibn zamānih). Sekurang-kurangnya ada dua pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pendekatan historis, yaitu: (1) Apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau? (2) Apakah kesinambungan dan perubahan yang telah terjadi dalam rentang waktu tertentu?

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa semua pendekatan yang berkembang dalam kajian tasawuf di dunia akademik dipengaruhi oleh pendekatan historis. Yang membedakan antara pendekatan yang murni historis dengan pendekatan-pendekatan lainnya adalah kadar penekanan yang diberikan. Dalam pendekatan yang murni historis, penekanan pada “apa yang sesungguhnya telah terjadi” benar-benar penting, sehingga bukti-bukti empiris biasanya merupakan dasar utama dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik. Kajian historis terhadap tasawuf biasanya sangat menekankan pada kronologi perkembangan pemikiran dan gerakan beradasarkan tanggal dan periode. Selain itu, pertanyaan tentang “asal-usul” sangat penting, baik asal usul sebuah konsep pemikiran ataupun gerakan.  Pertanyaan tentang asal usul ini terkait erat dengan masalah “kesinambungan dan perubahan” yang telah terjadi dalam rentang waktu tertentu. Jika kita memperhatikan bentuk konkritnya, hal ini ditunjukkan oleh kejelasan tanggal lahir dan meninggalnya seorang tokoh sufi yang dikaji, kapan sebuah karya tasawuf ditulis, dan kapan suatu gerakan tarekat lahir, berkembang atau mengalami kemunduran.

Dalam menjelaskan masalah kesinambungan dan perubahan, pendekatan historis menekankan pentingnya masalah pengaruh mempengaruhi antara pemikiran dan gerakan yang terdahulu terhadap pemikiran dan gerakan yang muncul sesudahnya. Hubungan guru-murid, atau hubungan persahabatan antara seorang sufi dengan tokoh-tokoh yang sezaman dengannya juga sangat penting untuk diperhatikan. Demikianpula hubungan tidak langsung yang terjadi melalui karya-karya tulis yang dikarang oleh para sufi. Misalnya, kutipan dari pernyataan al-Ghazāli di atas menunjukkan bahwa dia mempelajari tasawuf dari karya Abū Thālib al-Makkī, al-Muhāsibī dan serpihan-serpihan yang berasal dari al-Junaid, al-Shiblī, dan Abī Yazīd al-Busthāmī. Jika orang mau meneliti pemikiran tasawuf al-Ghazāli secara historis, maka berbagai karya tokoh-tokoh sufi tersebut harus ditelaah untuk melihat sejauhmana mereka mempengaruhi dan kemudian dikembangkan oleh al-Ghazāli.

Kesulitan yang dihadapi pendekatan historis antara lain adalah manakala bukti-bukti sejarah yang tersedia tidak memadai. Dalam keadaan demikian, pendekatan historis tidak bisa berbicara banyak, atau jika pun berbicara, maka yang disampaikan adalah spekulasi-spekulasi tentang apa yang diperkirakan telah terjadi. Misalnya, bukti-bukti sejarah seputar tokoh sufi seperti Syekh Siti Jenar di Jawa atau Abdul Hamid Abulung di Kalimantan Selatan sangatlah terbatas. Karena itu pendekatan historis dalam mengkaji mereka akan menghadapi kesulitan.

Selain itu, ada masalah lain dalam tasawuf yang tidak sejalan dengan asumsi-asumsi pendekatan historis. Misalnya, para sufi mengklaim bahwa mereka bisa bertemu dan berguru dengan orang-orang yang sudah mati, baik dalam mimpi atau pertemuan semi-fisikal. Klaim semacam ini tidak hanya dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi, melainkan juga oleh al-Ghazāli. Lantas apa yang harus dilakukan pendekatan historis dengan klaim tersebut? Apakah membuangnya begitu saja, atau sekadar menerimanya sebagai klaim, tetapi bukan sebagai “kebenaran” historis?

Dalam sebuah karya yang mengesankan tentang bioragrafi Ibn ‘Arabi, Claude Addas mencoba memetakan perjalanan hidup sang sufi secara kronologis dengan tanggal-tanggal dan tahun yang ditetapkan. Ketika menjelaskan tentang klaim-klaim Ibn al-‘Arabi perihal mimpi-mimpinya, yang dilakukan Claude Addas bukannya menyangkal atau membenarkan, melainkan mengisahkannya seperti yang dikisahkan oleh Ibn al-‘Arabi sendiri, dengan tetap mencoba menetapkan kapan tanggal dan/atau tahun terjadinya mimpi-mimpi tersebut.  Jadi yang dilakukan Addas adalah menjadikan klaim Ibn al-‘Arabi sebagai fakta historis, sementara pertanyaan apakah klaim itu benar-benar terjadi tidak dipersoalkan karena memang ia tidak bisa diverifikasi.

Masalah lain yang mungkin muncul dari pendekatan historis adalah bias yang lahir dari pra-konsepsi yang dimiliki oleh penulis ketika ia mencoba menjelaskan hubungan pengaruh mempengaruhi antara yang terdahulu dan yang kemudian. Bias itu semakin terasa manakala seorang penulis secara sadar atau tidak sadar menganggap bahwa agama yang dinautnya lebih otentik dari agama-agama lain. Bias semacam ini terutama dapat kita temukan pada tulisan orientalis yang mencoba membuktikan bahwa asal usul tasawuf sebenarnya bukan agama Islam itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran Kristen yang dikenal oleh Nabi Muhammad, dan juga oleh generasi-generasi Muslim sesudah Nabi. Beberapa kemiripan ajaran dan praktik tasawuf serta adanya komunitas-komunitas Kristen di Timur Tengah telah dijadikan alasan bahwa kaum Muslim telah mengambil ilmu keruhanian dari orang-orang Kristen, dan mengembangkannya menjadi ilmu dan amalan tasawuf.  

2. Pendekatan Filologis
 
Kajian-kajian historis terhadap tasawuf yang dilakukan para sarjana selama ini, baik oleh para sarjana Muslim ataupun orientalis sangat erat dengan kajian naskah-naskah atau manuskrip-manuskrip klasik. Kajian terhadap manuskrip-manuskrip inilah yang saya maksudkan dengan kajian filologis. Kajian semacam ini menarik terutama karena pada saat perkembangan pemikiran dan gerakan tasawuf begitu pesat di dunia Islam, mesin cetak belum dikenal. Karena itu karya-karya ulama saat itu, termasuk kitab-kitab tasawuf, ditulis secara manual (tulis tangan). Ini kemudian menyebabkan adanya beberapa naskah yang berbeda-beda, karena disalin oleh orang yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda pula. Naskah-naskah ini masih banyak yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan, baik di dunia Islam ataupun di Barat, disamping banyak pula yang telah hilang, tak diketahui lagi keberadaannya.

Dalam pendekatan filologis, pertama-tama harus ada naskah yang diteliti, dan akan lebih baik kalau naskah itu umurnya tua, dan jumlahnya lebih dari satu agar bisa dilakukan perbandingan. Tugas seorang peneliti adalah mencoba menetapkan teks yang diperkirakan tulisannya paling tepat, dan kalau perlu, menyingkirkan teks yang dianggap salah salin. Biasanya, untuk kehati-hatian, teks yang disingkirkan itu tetap disebut dalam catatan kaki agar memungkinkan bagi pembaca untuk membuat penilaian sendiri. Jika sebuah teks tidak mencantumkan tanggal penulisannya, seorang peneliti dapat menggunakan berbagai pertimbangan seperti karakter teks, kertas naskah asli itu sendiri dan sebagainya, untuk memperkirakan kapan kira-kira teks itu diproduksi.

Syarat utama untuk bisa melaksanakan kajian filologis ini adalah kemampuan untuk memahami naskah yang dikaji. Memang kerja menyunting atau mentahqiq sebuah naskah klasik, apalagi di bidang ilmu tasawuf, bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang yang mengerti bahasa Arab secara umum saja akan menemukan banyak kesulitan karena banyak sekali term-term ilmu tasawuf, apalagi dalam tasawuf falsafi, yang harus dipelajari terlebih dahulu sebelum orang bisa memahami teks yang bersangkutan. Apalagi tidak sedikit term-term dalam ilmu tasawuf yang memiliki akar jauh ke belakang, misalnya pada filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme. Orang yang tidak mengerti filsafat, dan hanya bermodalkan bahasa Arab/Persia/Turki/Melayu, kemungkinan akan kesulitan memahami teks-teks klasik di bidang tasawuf.

Biasanya kajian filologis tidak sekadar bertujuan memproduksi naskah yang dianggap sebagai salinan yang paling tepat, tetapi juga mencoba untuk memberikan keterangan lebih jauh agar naskah tersebut bisa dipahami pembaca. Keterangan tersebut bisa berupa anotasi, bisa juga berupa kata pengantar yang menjelaskan sejarah hidup pengarang dan naskah yang ditulisnya. Dengan demikian, kajian filologis tidak bisa dipisahkan dengan kajian historis. Selain itu, seringkali kajian filologis juga dilengkapi dengan terjemahan dari naskah yang diteliti ke bahasa penulisnya. Di bidang tasawuf, banyak sekali contoh karya-karya seperti ini, yang sangat berguna bagi generasi yang akan datang. Misalnya, orientalis R.A. Nicholson (1868-1945) telah menyunting dan menerjemahkan Matsnāwī karya Jalaluddin Rumi, Kasyf al-Mahjūb karya al-Hujwiri dan Tarjumān al-Asywāq karya Ibn al-‘Arabi. Di kalangan Muslim, Abdurrahman Badawi, Fazlur Rahman dan Seyyed Hossein Nasr juga melakukan hal serupa untuk karya-karya klasik lainnya.

Di Indonesia, terjemahan karya-karya tasawuf masih sangat sedikit, dan banyak dilakukan dari tangan kedua (terjemahan dari terjemahan orang lain), dan penerjemahnya kadang-kadang tidak ahli di bidangnya. Saya melihat ada kecenderungan di kita untuk melihat karya terjemahan dengan sebelah mata. Ini memang akibat banyaknya karya-karya terjemahan yang dilakukan secara amatiran dan kemudian diedarkan di pasar. Barangkali salah satu cara untuk meningkatkan kualitas terjemahan, khususnya di bidang tasawuf, adalah membuka peluang bagi dimungkinkannya karya terjemahan untuk dijadikan tesis dan disertasi. Terjemahan semacam ini akan lebih bermutu karena akan diperiksa oleh seorang pembimbing yang ahli di bidang yang bersangkutan.
  
3. Pendekatan Fenomenologis

Boleh dikata penekanan pendekatan fenomenologis bertolak belakang dengan pendekatan historis. Jika pendekatan historis menekankan tentang apa yang sebenarnya terjadi, maka pendekatan fenomenologis menekankan pada apa yang dianggap subyek telah terjadi, meskipun bukti empirisnya tidak ada. Misalnya, beberapa cerita maulid yang ditulis kaum Muslim mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw lahir, dia sudah dalam keadaan dikhitan dan bercelak mata, dan waktu kelahirannya itu dihadiri oleh Maryam (ibu ‘Isa) dan Asiah (isteri Fir’aun) serta para bidadari. Pendekatan historis akan cenderung menolak riwayat semacam ini karena sulit dibuktikan, tetapi pendekatan fenomenologis menerimanya sebagai suatu fenomena keagamaan kaum Muslim yang menunjukkan pengagungan mereka terhadap Nabi. Selain itu, kalau pendekatan historis menekankan hubungan sebab akibat dalam kerangka kesinambungan dan perubahan, pendekatan fenomenologis lebih melihat pada kesamaan struktur di antara fenomena keagamaan tanpa keharusan untuk melihat hubungan pengaruh mempengaruhi. Argumen dasar kaum fenomenolog adalah bahwa pengalaman keagamaan, termasuk pengalaman mistik, bersifat universal, dan karena itu adanya keserupaan antara satu fenomena keagamaan dengan yang lain tidak harus diartikan yang satu terpengaruh yang lain.

Pendekatan fenomenologis nampaknya adalah “jalan tengah” antara pendekatan positisivistik dan pendekatan teologis yang bersifat dogmatis. Ia juga merupakan upaya mencari jalan keluar agar tidak terperangkap dalam kesalahan para orientalis terdahulu yang seringkali dipengaruhi oleh pandangan keagamaan mereka (Kristen/Yahudi) atau oleh kepentingan politik kolonial. Dengan melihat fenomena sebagaimana adanya, yakni bagaimana fenomena itu menampakkan dirinya sendiri kepada si peniliti, maka diharapkan tidak akan ada lagi penilaian apriori yang seringkali salah kaprah.

Fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl memang punya perhatian khusus pada kesadaran manusia, dan dalam kajian agama, kesadaran merupakan lokus dari pengalaman keagamaan.  Mungkin karena inilah maka dalam kajian keislaman, pendekatan fenomenologis banyak dikembangkan oleh para sarjana yang mendalami tasawuf.  Seorang orientalis asal Perancis bernama Henry Corbin (1903-1978) merupakan tokoh yang mula-mula menggunakan pendekatan fenomenologis dalam kajian Islam. Dalam bukunya tentang Ibn al-‘Arabi, dia mengatakan antara lain:

Sekarang, dengan bantuan fenomenologi, kita dapat menguji cara bagaimana seseorang mengalami hubungannya dengan dunia tanpa mereduksi data obyektif dari pengalaman tersebut menjadi data yang dipersepsi oleh indera, atau membatasi wilayah pengetahuan yang benar dan bermakna hanya pada kerja-kerja pemahaman rasional belaka. Dengan terbebaskan dari perangkap lama, kami telah belajar untuk menunjukkan dan menggunakan maksud-maksud implisit dalam semua gerak-gerik kesadaran atau trans-kesadaran.

Corbin kemudian melanjutkan bahwa tujuan dari studi tentang Ibn al-‘Arabi bukanlah untuk membentangkan sejarah pemikiran dengan cara melacak asal usul dan mendaftar pengaruh-pengaruh, karena pendekatan semacam itu akan mengerdilkan tokoh yang tengah dikaji. Tokoh-tokoh semisal Ibn al-‘Arabi, Suhrawardi, Mulla Sadra dan sebagainya, kata Corbin, mengatakan bahwa ide tertentu yang mereka tulis tidak akan ditemukan di manapun, karena ia adalah temuan mereka sendiri melalui pengalaman pribadi (it is their discovery of their personal experience).

Lantas, bagaimana caranya memperlajari sufisme Ibn al-‘Arabi? Corbin mengatakan:

Menurut pendapat kami, penjelasan terbaik mengenai Ibn ‘Arabi adalah Ibn ‘Arabi sendiri. Satu-satunya cara untuk memahami dia adalah menjadi muridnya untuk sementara waktu, dan mendekati dia sebagaimana dia sendiri mendekati guru-gurunya di bidang tasawuf. Yang kami coba lakukan adalah mengalami spiritualitasnya bersama dirinya untuk sementara waktu. Dan sekarang kami ingin mengkomunikasikan sesuatu dari spiritualitas ini kepada orang-orang yang mencari jalan yang serupa.

Setelah Corbin, pendekatan fenomenologis dalam kajian tasawuf dikembangkan oleh sarjana perempuan asal Jerman dan professor di Harvard University, Annemarie Schimmel. Dengan penguasaan banyak bahasa, Schimmel dapat membaca dengan baik teks-teks klasik yang ditulis kaum Muslim dari berbagai bangsa. Dia juga sempat tinggal cukup lama di Turki, dan sempat mengajar di sana. Keberadaannya di tengah-tengah kaum Muslim, membuatnya dapat menyaksikan secara langsung realitas keagamaan mereka. Dengan kekayaan data, pengalaman dan kemampuan ini, Schimmel akhirnya dapat menulis buku-buku yang berbobot tinggi, khususnya di bidang kajian tasawuf. Salah satu bukunya yang secara eksplisit menyebutkan pendekatan fenomenologis adalah buku yang merupakan Gifford Lecture yang disampaikannya tahun 1992.  Buku ini dengan penuh simpatik mencoba membentangkan pemikiran Islam tentang aspek-aspek yang sakral dari alam, budaya, ruang, waktu, dan tindakan, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan individu dengan masyarakat.

Selain Schimmel, sarjana lain yang perlu disebutkan disini adalah Sachiko Murata, wanita berkebangsaan Jepang yang belajar Islam selama 12 tahun di Iran. Murata adalah murid sarjana Jepang terkenal di bidang studi Islam, Toshihiko Izutsu. Melalui Izutsu, Murata antara lain mendapatkan inspirasi tentang kemiripan pemikiran Taoisme dan Sufisme.  Minat terhadap masalah ini semakin tinggi ketika Murata harus mengajar spiritualitas feminin menurut agama-agama di Department of Comparative Studies, State University of New York. Dalam mengajar itu, Murata seringkali menemui sikap mahasiswa yang apriori dan antipati terhadap Islam. Untuk mengatasi hal ini, ia kemudian mencoba memasuki pikiran mereka melalui pintu lain, yakni pemikiran keagamaan Cina atau Taoisme. Karena mahasiswa pada umumnya tidak punya prasangka buruk pada Taoisme, maka ketika Islam dijelaskan dalam kerangka Taoisme mereka akhirnya menjadi simpatik dan terbuka pada Islam.  Perkuliahan inilah kemudian melahirkan sebuah buku yang sangat berbobot berjudul The Tao of Islam.

Dari segi pendekatan, buku ini dapat dianggap menggunakan pendekatan fenomenologis, seperti yang ditunjukkan oleh pengantar Schimmel terhadap buku ini. Ciri-ciri fenomenologis itu nampak terlihat pada banyaknya kutipan langsung dari teks-teks asli dimana penulis mencoba membiarkan tokoh yang dikaji “berbicara sendiri”. Selain itu, meskipun Murata secara tegas menyatakan adanya kemiripan pemikiran Taoisme dan Sufisme, dia sama sekali tidak menjelaskan bahwa yang satu mempengaruhi atau dipengaruhi oleh yang lain. Sebenarnya Izutsu adalah orang pertama yang melihat adanya paralel antara Sufisme dan Taoisme, tetapi karya Murata sangat orisinil dari segi upayanya membentangkan pemikiran-pemikiran tentang relasi jender dalam Islam.

4. Pendekatan Tradisionalis

Pendekatan tradisionalis yang dimaksudkan disini adalah pendekatan yang melihat sufisme sebagai sebuah tradisi, yakni kebenaran-kebenaran atau prinsip-prinsip yang berasal dari Tuhan dan disingkapkan kepada manusia melalui para Nabi dan orang-orang suci. Pandangan tradisionalis ini disebut juga “filsafat perenial”, yaitu filsafat yang mendasarkan diri pada anggapan bahwa dalam hidup ini ada kebenaran dan kearifan abadi (sophia perenis/al-hikmah al-khālidah) yang terus hadir sepanjang masa dan tidak terikat oleh perubahan-perubahan sosial. Kearifan abadi itu ada dalam semua agama yang otentik, yakni agama yang diwahyukan dari langit.   Missi utama kalangan perenialis adalah mengkritik pandangan hidup modern yang telah melupakan hakikat diri manusia dan membuatnya jauh dari asal usulnya yang sejati. Dalam konteks ini, ajaran-ajaran tasawuf, baik yang tertulis ataupun yang ditransmisikan secara lisan oleh guru kepada murid-muridnya sepanjang masa, termasuk kearifan abadi tersebut.

Pendekatan fenomenologis sebenarnya sangat dekat dengan pendekatan tradisionalis dari segi bahwa kedua-duanya melihat tasawuf sebagai suatu pengalaman spiritual yang harus dipahami berdasarkan kerangka tasawuf itu sendiri, bukan kerangka dari luar. Namun jika kita lebih mencermati, nampaknya pendekatan tradisionalis melangkah lebih jauh. Kalau Corbin mengatakan bahwa untuk memahami Ibn ‘Arabi orang harus menjadi “murid” Ibn ‘Arabi untuk “sementara waktu”, maka bagi kalangan tradisionalis, orang harus masuk sepenuhnya ke dalam sebuah tradisi keruhanian jika ia ingin memahaminya. Singkatnya, untuk memahami tasawuf, orang harus belajar ilmu tasawuf dengan guru-guru sufi, dan kemudian mengamalkan ilmu tersebut di bawah bimbingan mereka.

Seyyed Hossein Nasr, Guru Besar kajian-kajian Islam di Georgetown University, merupakan tokoh Muslim terkemuka yang sering berbicara tentang Islam tradisional dan filsafat perenial. Dalam sebuah tulisannya dia mengatakan bahwa filsafat perenial tidak begitu banyak menarik perhatian para akademisi karena: “Untuk menerimanya, ia menuntut bukan saja dedikasi pikiran seorang sarjana, tetapi keseluruhan keberadaannya. Ia memerlukan suatu keterlibatan total yang hanya sedikit sarjana mau melakukannya kecuali mereka yang berbicara sebagai seorang Kristiani, Yahudi, Muslim dst yang taat pada agamanya.”  Dalam perspektif perenial, mengkaji agama adalah suatu kegiatan keagamaan, bukan kegiatan sekuler. Maka tak heran kalau tokoh-tokoh perenialis seperti Frithjof Schoun (1907-1988), René Guénon (1886-1951) dan Titus Burckhardt (1908-1904) dikenal sebagai para penganut agama yang saleh.

Dalam mengkaji tasawuf dan juga falsafah, para tokoh tradisionalis biasanya tidak sekadar membaca teks-teks tasawuf secara mandiri, melainkan dibimbing langsung oleh seorang guru yang memiliki silsilah yang tak terputus dengan pengarang teks. Di sinilah arti penting dari apa yang disebut tradisi lisan (oral tradition), yakni penjelasan-penjelasan yang ditransmisikan secara lisan dan berantai dari guru ke murid hingga sampai ke pengarang teks itu sendiri. Nasr misalnya menceritakan bahwa ia belajar teks-teks tasawuf dan falsafah dibawah bimbingan para guru di Iran selama lebih dari 20 tahun. Para guru itu, kata Nasr, “mengatakan dalam permulaan pengajarannya bahwa seorang murid yang baik harus belajar bukan saja bagaimana membaca baris-baris hitam dari teks Arab atau Persia secara benar, tetapi ia juga harus mampu membaca apa yang mereka sebut “bagian-bagian putih” dari halaman tersebut, atau yang dalam bahasa Inggris disebut membaca di antara baris-baris.”

Untuk memberikan ilustrasi bagaimana kalangan tradisionalis/perenialis mempelajari tasawuf, disini saya kutipkan secara langsung penuturan Titus Burckhardt mengenai pengalaman pribadinya yang cukup mengesankan, yang ditulis untuk mengantarkan sebuah buku terjemahan karya Ibn ‘Arabi, Fushūsh al-Hikam.
     
Ketika aku berumur 24 tahun dan tinggal di Fez, di sebuah kampung tua dimana pakaian dan corak mode klasik masih hidup, aku menghitung-hitung beberapa orang sahabatku yang menjadi anggota pengajian-pengajian tasawuf. Mereka kebanyakan terdiri dari para pekerja ahli, tetapi ada juga di antara mereka orang-orang yang terpelajar di bidang ilmu-ilmu yang diajarkan di universitas Muslim yang amat tua, al-Qarawiyin. Kedua kelompok orang ini seringkali, dengan penuh rasa kagum, membicarakan karya-karya Ibn ‘Arabi yang mereka sebut al-syaikh al-akbar (guru agung). Di waktu itu, kota tua tersebut penuh dengan cinderamata mengenai sang Sufi Agung yang dalam sejarah pernah mengunjungi kota ini dalam berbagai kesempatan, dan di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh paling spiritual dan misterius di zamannya. Aku akhirnya mengetahui tempat ke mana Ibn ‘Arabi seringkali mengasingkan diri untuk berdoa dan bermunajat; tempat itu adalah sebuah mesjid kecil yang terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan, dan di dalamnya terdapat mata air yang disebut ‘ain al-khail, mata air kuda, maksudnya air yang dapat mengisi penuh sebuah kolam besar. Mesjid itu dua tingkat, satu digunakan untuk musim panas dan satu lagi untuk musim dingin, dan menara di sisi-sisinya yang berjumlah delapan buah dibangun di atas jalan sempit. Di Fez ada juga taman-taman tertutup, yang dikelilingi oleh tembok-tembok yang tinggi seperti tempat dimana dahulu Ibn ‘Arabi pernah menemui sahabat-sahabatnya.

Suatu hari ketika aku melihat-lihat toko-toko buku yang  berseberangan dengan mesjid agung dan univeristas [Qarawiyin], aku menemukan kitab Futūhāt Makkiyyah yang terdiri dari tujuh jilid, karya terbesar dan paling elaboratif di antara tulisan-tulisan syekh al-akbar. Ketika aku membolak-balik kitab tersebut, mataku tertuju pada daftar judul-judul yang menjelaskan semua tahapan spiritual yang berujung pada penyatuan tertinggi. Aku lantas membeli kitab itu dan berjalan pulang sambil kubawa beban beratnya melewati jalan-jalan sempit di kota tua itu. Di perjalanan, secara kebetulan aku berpapasan dengan seorang sahabatku, Muhammad Ibn Makhluf, seorang darwis dengan ketajaman mata seekor elang, dan lirikan mencari tahu. Dia segera dapat menebak apa yang tengah kubawa.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan [kitab] itu?” tanya dia. “Itu terlalu tinggi buatmu. Yang kamu perlukan adalah satu buku bacaan untuk pemula [dalam kehidupan spiritual].”
“Kalau begitu, kitab ini akan  kusimpan di rak buku sampai nanti aku cukup bijak untuk dapat mempelajarinya.”
“Ketika kamu sudah bijak, kamu tidak membutuhkan kitab itu lagi.”
“Lantas untuk siapa kitab itu ditulis?”
“Untuk orang-orang yang dapat melihat dari balik tembok, tetapi ia tidak melakukannnya, bahkan tidak berharap melakukannya.” 

5. Pendekatan Reformis

Berbeda dengan pendekatan fenomenologis dan tradisionalis, pendekatan reformis cenderung bersikap kritis terhadap pemikiran dan gerakan sufisme. Saya menyebut pendekatan ini dengan “reformis” karena para pengusungnya adalah tokoh-tokoh yang melakukan pembaruan dalam Islam. Sebenarnya tokoh-tokoh tradisionalis dan reformis memiliki keprihatinan yang sama, yakni krisis yang dihadapi umat manusia di zaman modern. Perbedaan di antara mereka terletak pada jenis krisis yang mau diobati. Kalangan tradisionalis prihatin dengan krisis kehampaan spiritual yang terjadi di Barat (dan mulai merembes ke dunia Islam), sedangkan kalangan reformis prihatin dengan krisis yang menimpa umat Islam yang dalam tiga abad terakhir mengalami ketertinggalan dalam ilmu dan teknologi dari apa yang telah dicapai Barat. Dengan demikian, jika kalangan tradisionalis melihat sufisme sebagai sumber kearifan abadi yang dapat menjadi obat penawar kehampaan spiritual manusia modern, maka kaum reformis melihat ada hal-hal yang perlu disingkirkan dari sufisme, terutama yang dianggap menjadi penyebab keterbelakangan dan kejumudan umat Islam.

Salah seorang tokoh yang menggunakan pendekatan reformis adalah Fazlur Rahman (W. 1988). Sebagai seorang sarjana yang belajar di Barat, Rahman sangat dipengaruhi oleh pendekatan historis yang dikembangkan para orientalis. Tetapi sebagai seorang Muslim yang teguh pada agamanya, Rahman tidak puas dengan pendekatan orientalis yang dinilainya telah mengkaji sejarah Islam “laksana menganalisis tubuh yang sudah mati”. Maka berbeda dengan pendekatan orientalis, Rahman tidak saja menganalisis perkembangan Islam, termasuk di dalamnya sufisme, secara historis, tetapi juga melihat unsur-unsur apa yang ada dalam sejarah tersebut yang perlu diambil dan dibuang guna memperbarui pemikiran dan gerakan Islam di era modern ini.

Dengan pendekatan historis, Rahman menilai bahwa pemikiran-pemikiran sufisme spekulatif yang dikembangkan oleh tokoh semacam Ibn ‘Arabi bersumber pada filsafat Neoplatonisme, dan bahwa ajaran wahdat al-wujūd dinilainya dapat membawa kepada kehancuran prinsip moral. Konsep kewalian dengan berbagai tingkatannya dinilai Rahman berasal dari pengaruh Kristen yang masuk ke dunia Sunni sebagai suatu bentuk paralel dari konsep imam dalam Syi’ah. Rahman juga kritis terhadap apa yang disebutnya sebagai “kediktatoran spiritual” yang dilakukan oleh guru-guru tarekat, suatu sikap yang menurutnya sangat bertentangan dengan sikap para sufi yang lebih awal. Rahman juga sangat kritis terhadap klaim-klaim kejadian ajaib (karāmah) yang dituturkan mengenai seorang tokoh Sufi. Sebagai contoh, dalam sebuah resensi yang dibuatnya untuk karya Seyyed Hossein Nasr mengenai Mulla Shadra, Rahman menyesalkan bahwa Nasr dengan gampang membenarkan riwayat yang mengatakan bahwa Sadra berkali-kali melakukan ibadah haji dari Iran ke Mekkah dengan berjalan kaki.

Di sisi lain, Rahman menilai positif komitmen moral dan kehangatan spiritual yang begitu tinggi di kalangan sufi. Bagi Rahman, semangat moral yang benar-benar otentik dalam Islam adalah aktifisme yang berpijak pada tawhid dan diwujudkan dalam upaya menegakkan keadilan di muka bumi. Maka beberapa gerakan tasawuf di abad 18, yang aktif melawan penjajahan kulit putih, dinilai Rahman sebagai tasawuf yang “benar”, yang disebutnya “Neo-Sufisme”.  Dengan pendapatnya ini jelaslah bagi kita bahwa pendekatan historis yang dikembangkan Rahman tidak berhenti pada deskripsi kritis, melainkan diteruskan pada penilaian teologis.

Rahman memang sangat percaya kepada signifikansi pendekatan historis. Menurutnya, Islam, termasuk al-Qur’an, hanya bisa dipahami dengan baik kalau dikaji secara historis. Rahman tidak menyangkal klaim pendekatan fenomenologis mengenai subyektifitas pengalaman ruhani, tetapi baginya hal itu tidak menghalangi orang luar untuk bisa mengkaji pengalaman tersebut. Rahman mengatakan:

Saya harus tegaskan kembali bahwa pengalaman sebagai suatu keseluruhan yang integral tidak bisa dipindahkan, tetapi melalui apresiasi intelektual terhadapnya, seorang ahli sejarah atau ilmuwan sosial dapat mengambil sesuatu dari efek langsung pengalaman tersebut terhadap si subyek, atau signifikansinya bagi si subyek. Tidak hanya itu. Ketika ahli sejarah atau ilmuwan sosial membuat generalisasi mengenai pengalaman tersebut, dia dapat juga menyorotinya dengan membuat perbandingan, kontras dan analisis dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh orang dalam (insider), kecuali kalau yang terakhir juga adalah seorang ahli sejarah atau ilmuwan sosial.

Selain Fazlur Rahman, di sini saya tambahkan pendekatan reformis lain yang dikerjakan oleh seorang cendekiawan Maroko, Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Ilmu tasawuf, dalam pandangan al-Jabiri, termasuk bagian dari apa yang disebutnya al-turāts, yakni tradisi sebagai “sesuatu yang hadir dalam, atau bersama kita dari masa lalu, baik masa lalu kita sendiri ataupun orang lain, baik yang jauh ataupun dekat”.  Tradisi yang dikaji al-Jabiri sebenarnya terfokus pada tradisi pemikiran Arab Islam, sedangkan tradisi lainnya yang juga menjadi sorotannya adalah tradisi Barat. Dalam konteks ini jelaslah bahwa tasawuf yang dikaji al-Jabiri terbatas pada  tradisi Arab Islam saja.

Menurut penilainnya, tradisi Arab Islam selama ini telah dibaca dengan dua cara: pertama dengan bacaan tradisional, dan kedua dengan bacaan orientalis. Yang pertama merupakan pembacaan yang ahistoris, sedangkan yang kedua adalah pembacaan yang melihat tradisi Arab Islam dari kaca mata tradisi Barat. Kedua cara membaca tradisi ini, bagi al-Jabiri, sama sekali tidak membantu kaum Muslim untuk melangkah maju ke depan. Karena itu, ia menawarkan suatu pembacaan tradisi yang disebutnya “pembacaan kontemporer” (qirāah mu’āshirah) dengan tujuan agar pembacaan itu obyektif sekaligus menemukan kesinambungannya bagi kekinian kaum Muslim. 

Untuk mencapai obyektifitas, langkah pertama yang dilakukan adalah memisahkan yang dibaca dari si pembaca (fashl al-maqrū’ ‘an al-qāri’). Dalam tahapan ini, si pembaca pertama-tama harus menghindarkan dirinya dari kecenderungan membaca tradisi dalam kerangka kekinian. Langkah kedua adalah memisahkan obyek (teks) dari subyek (pembaca). Di sini ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, membedah bangunan pemikiran dari teks itu sendiri, yakni mencoba menemukan kerangka umum yang membentuk sebuah pemikiran sehingga dapat ditemukan benang merah yang menghubungkan unsur-unsur yang beragam dari sebuah teks. Kedua, membuat analisis historis terhadap teks yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dilihat adalah dimensi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakangi sebuah teks sehingga akan ditemukan apa saja yang mungkin dikandung oleh teks tersebut atau apa saja yang secara historis tidak mungkin. Ketiga, menyingkap fungsi ideologis dari sebuah teks. Di sini pembaca berusaha menemukan cita-cita atau sasaran yang diinginkan oleh teks dalam kondisi konkret kesejarahan dimana ia lahir.

Bagian kedua adalah menghubungkan pembaca dengan yang dibaca (washl al-qāri’ bi al-maqrū’). Sebuah tradisi yang direpresentasikan oleh teks tidaklah sekadar produk sejarah belaka, melainkan dapat terus hidup dan secara relatif terbebas dari ikatan-ikatan sejarah. Dengan kata lain, meskipun unsur-unsur sosio-historis yang membentuk sebuah teks mulai pudar bahkan sirna sama sekali, namun sebagai tradisi ia tetap hidup. Yang tetap hidup itu adalah kandungan ideologis dari sebuah teks. Nah, disinilah seorang pembaca melihat bagaimana kandungan ideologis tersebut hadir dalam kekiniannya, atau sebaliknya, justeru tidak hadir dalam kekiniannya karena hegemoni ideologi lainnya. Dengan demikian, selanjutnya ia akan dapat memutuskan dari mana (kerangka ideologis yang mana) yang dipilihnya untuk menjadi titik berangkat bagi pembangunan ulang tradisi yang ada. Di sini diharapkan akan ditemukan upaya pembaruan yang berdasarkan otentisitas (al-ashālah), yakni suatu ijtihad yang tetap berpijak pada kesinambungan dengan tradisi tanpa harus terbenam dalam tradisi itu sendiri.

Sebagai ilustrasi, al-Jabiri menerapkan telaah kontemporernya terhadap al-Ghazali. Menurutnya, al-Ghazali adalah tokoh yang pemikiran-pemikirannya penuh kontradiksi. Al-Ghazali menegaskan bahwa logika merupakan syarat penting bagi keabsahan ilmu seseorang, tetapi ia juga menyerang filsafat darimana logika itu berasal. Lebih jauh lagi, al-Ghazali malah mendukung klaim-klaim kaum sufi yang mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan tanpa proses penalaran akal. Lantas bagaimana semua kontradiksi ini dimungkinkan? Menurutnya, semua itu tidak akan menjadi kontradiksi kalau kita menyadari siapa lawan ideologis al-Ghazali saat itu, yakni Syi’ah (Bathiniyyah). Penegasan al-Ghazali akan pentingnya logika (nalar rasional) merupakan suatu serangan terhadap pandangan Syi’ah yang mengandalkan otoritas seoang imam. Demikianpula serangan al-Ghazali terhadap filsafat Ibn Sina dan al-Farabi sesungguhnya bertujuan untuk menyerang ideologi Syi’ah yang mendasarkan diri pada filsafat metafisika mereka. Adapun akomodasi al-Ghazali terhadap tasawuf adalah upayanya untuk mengimbangi spiritualitas yang dikembangkan kaum Syi’ah itu pula.   Penilaian al-Jabiri yang negatif terhadap sufisme al-Ghazali ini adalah gambaran pandangannya secara umum terhadap tasawuf. Bagi al-Jabiri, masa depan Islam bukan pada tasawuf yang menilai rendah kemampuan akal, melainkan pada tradisi rasional para filosof, khususnya Ibn Rusyd.

6. Pendekatan Sosiologis

Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis di sini adalah mengkaji sufisme sebagai fenomena sosial atau kemasyarakatan. Karena itu, pendekatan sosiologis mencakup pendekatan sosiologi dan antropologi. Dalam pendekatan ini, perhatian yang besar ditujukan kepada sufisme sebagai gerakan sosial, sementara aspek pemikiran dari sufisme hanya diperhitungkan manakala ia dinilai memiliki signifikansi sosial. Karena itu tidak heran kalau para ilmuwan sosial seperti Ernest Gellner  dan Martin van Bruinessen  umumnya tertarik pada tarekat-tarekat yang berkembang di masyarakat, baik di masa lalu, dan terlebih di masa sekarang, sementara kajian yang memfokuskan hanya pada pemikiran seorang tokoh sufi jarang atau bahkan tidak menjadi perhatian mereka.

Tarekat sebagai sebuah gerakan yang terorganisasi memang jelas sekali bersifat kemasyarakatan, dan karena itu akan tepat sekali kalau didekati dengan ilmu-ilmu sosial. Pola hubungan guru-murid, hubungan guru dengan para elit yang kaya atau mereka yang memegang kekuasaan, sangatlah menarik untuk ditelaah dan dikaji. Karena tarekat adalah gerakan keagamaan, maka ia melampaui batas-batas teritorial sebuah negara, dan karena itu pola hubungan guru-murid dalam tarekat tidak jarang bersifat internasional. Ilmuwan sosial juga tertarik untuk melihat pola hubungan antara satu tarekat dengan tarekat-tarekat lainnya, baik dalam bentuk kerjasama ataupun persaingan dan konflik. Keterlibatan para elit politik dalam kegiatan-kegiatan tarekat atau sebaliknya, keterlibatan elit tarekat dalam politik, merupakan fenomena yang lazim pula. Teori-teori sosial seperti teori pola hubungan patron-klien, kelas sosial, elit sosial dan massa rakyat, hingga teori-teori seputar ekonomi dan politik, dapat digunakan untuk melihat fenomena tasawuf.

Dalam pendekatan sosiologis, kajian historis tentu sangat diperlukan, terutama untuk membantu memahami perkembangan yang tengah terjadi di masa sekarang. Kajian historis yang diperlukan terutama sejarah sosial, bukan sejarah pemikiran, kecuali kalau yang terakhir dinilai memiliki signifikansi sosial. Maraknya sufisme perkotaan (urban sufism) saat ini, misalnya, tentu tidak akan bisa dipahami dengan baik tanpa penjelasan tentang kronologi historis perkembangan sosial masyarakat yang bersangkutan. Teori-teori sosiologi perkotaan tentu akan sangat membantu di sini. Demikianpula fenomena berbagai tarekat di suatu daerah atau negara yang masih hidup hingga kini tak bisa dipahami dengan baik tanpa menelaah sejarah perkembangan tarekat itu sendiri.

Di atas telah disinggung bahwa dalam pendekatan sosial, kajian tokoh cenderung kurang mendapat perhatian, khususnya kajian yang memfokuskan pada aspek pemikiran. Tetapi sebenarnya kajian tokoh sangat mungkin untuk ditelaah dengan pendekatan sosiologis, khususnya apabila tokoh yang bersangkutan memiliki pengikut dan pengagum yang banyak. Teori Max Weber tentang kharisma atau teori-teori seputar otoritas keagamaan, mungkin dapat membantu untuk mengembangkan kajian mengenai seorang tokoh sufi secara sosiologis. Demikianpula teori tentang hubungan patron-klien dan kepentingan ekonomi politik yang telah disinggung di atas.

Seperti halnya pendekatan reformis, pendekatan sosiologis cenderung kritis terhadap fenomena tasawuf. Hal ini karena, pendekatan sosiologis mencoba melihat fenomena tasawuf sebagai kenyataan manusiawi yang bisa saja bertentangan dengan klaim-klaim dan ajaran-ajaran normatif para sufi itu sendiri. Dengan ungkapan lain, seorang tokoh sufi tidak dilihat sebagai orang suci yang bebas dari kepentingan-kepentingan duniawi baik itu ekonomi, politik, pengaruh dan sebagainya. Misalnya, dalam sebuah kajian tentang kontroversi dan polemik yang melibatkan beberapa tarekat di Indonesia dan organisasi Islam di Indonesia, Martin van Bruinessen menunjukan dengan baik bahwa polemik itu terjadi bukan saja antara orang-orang tarekat tertentu dengan para penganjur pemurnian Islam, tetapi juga antar tokoh tarekat yang berbeda dan bahkan internal suatu tarekat. Kenyataan ini menurutnya menunjukkan bahwa ada persaingan di antara tokoh-tokoh itu, yang ingin mengukuhkan otoritas mereka masing-masing, dan hal ini menyembul dalam bentuk polemik mengenai keabsahan suatu praktik atau ajaran tasawuf tertentu.

Penutup

Kita telah membahas enam pendekatan dalam mengkaji tasawuf. Keenam pendekatan ini berbeda dari segi penekanan dan fokus perhatian, namun dapat saja satu pendekatan terbantu oleh pendekatan lainnya. Pendekatan historis misalnya, sangat berguna untuk hampir semua pendekatan, kecuali pendekatan fenomenologis yang memang punya paradigma yang berlainan. Karena itu bukan sesuatu yang mustahil kalau seseorang dapat menggunakan beberapa pendekatan dalam melakukan kajian tersebut selama tidak terjadi inkonsistensi di dalamnya. Pendekatan inter-disipliner memang tidak mudah karena menuntut keahlian yang beragam. Tetapi jika hal ini bisa dilakukan, hasil dari sebuah studi akan semakin berbobot. Selain itu, enam pendekatan ini sama sekali belum mencakup semua pendekatan yang mungkin dilakukan. Pendekatan psikologis misalnya tidak dibahas di sini, padahal tasawuf sangat dekat dengan masalah kejiwaan.

Dalam pendahuluan makalah ini saya menyinggung “problematika” ilmu dan amal dalam mengkaji tasawuf. Di dunia akademik memang tidak ada tuntutan bagi seorang pengkaji tasawuf untuk menjadi seorang sufi sekaligus. Tetapi meskipun tidak menjalani hidup sebagai seorang sufi, seorang pengkaji tasawuf sedikit banyak akan dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya. Inilah yang dituturkan HAMKA di bagian akhir bukunya Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya.

Kita mempelajari Perkembangan Tasauf, sejak awal tumbuhnya di zaman Nabi dan perkembangan gerak Tasauf di Indonesia. Pelajaran ini obyektif, tetapi subyektif juga. Dalam mempelajari soalnya, diri yang mengajarkan terutama; demikian juga diri yang mempelajarinya, sadar atau tidak sadar, terpengaruh oleh yang diseledikinya. Hidupnya menjadi sederhana, dan ia menjadi orang yang Zuhud.

Dan saya sendiri menyaksikan, seorang yang telah berpuluh tahun pula menumpahkan perhatian dan men-studi Tasauf, yaitu Prof. Louis Massignon. Telah dua kali saya berjumpa beliau, pertama di Chicago di tahun 1952, kedua di Lahore di bulan Januari 1958. Pada kedua pertemuan itu, saya lihat bahwa benar-benar ilmu ini mempengaruhi jiwanya, yaitu: “La yamliku syaian, wa la yamlikuhu syaiun” (tidak mempunyai apa-apa, dan tidak dipunyai oleh apa-apa).

  • Kesimpulannya tasawuf adalah ilmu amali (ad-din)  dan bukan ilmu pengkajian atau dianggap bidang pemikiran Islam. Islam bukan isme atau agama pemikiran.