Kalender Matahari Milik Kaum Muslimin
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang (matahari) itu terang benderang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan waktu. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (Qur'an surah Al Isra’: 12)
Banyak orang menyangka bahwa Kalender Matahari atau disebut Kalender Masehi adalah milik kaum Nasrani. Di Indonesia pendapat seperti ini hampir berurat berakar dalam masyarakat. Bahkan, banyak hari ini orang yang mencela dengan pedas kaum muslimin yang masih mempergunakan kalender Masehi dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai Muslim pengekor kaum kuffar.
Benarkah kaum muslimin yang memakai Kalender Masehi pengekor kaum kuffar?
Ada yang mengatakan kita kaum muslimin sudah punya kalender sendiri, kalender Islam, kalender Sunnah, yakni kalender Hijriyah. Maka, memakai kalender Masehi berarti mencampakkan dan menghina kalender Islam! Benarkah pendapat ini?
Dalam perjalanan sejarah dunia, paling tidak ada dua jenis kalender yang dipakai untuk perhitungan waktu bagi manusia. Suku Maya di Amerika Latin dan orang-orang Mesir di Afrika, menurut bukti sejarah yang ada telah menggunakan dan mengembangkan kalender Matahari dalam kehidupan sehari-hari mereka pada kurun waktu 5000 tahun Sebelum Masehi.
Julius Caesar yang berkuasa pada sekitar 200 tahun SM telah menggunakan dan mempopulerkan Kalender Matahari (Masehi) di seluruh tanah jajahan Romawi. Dengan demikian, pada saat Yesus lahir di Palestina, masyarakat Palestina otomatis memakai perhitungan Kalender Matahari, sebagai konsekuensi tanah jajahan Romawi pada saat itu.
Sebaliknya, masyarakat Arab telah terbiasa selama ribuan tahun memakai Kalender Bulan untuk perhitungan hari-hari mereka. Itulah sebabnya ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallamdilahirkan, mereka sudah dapat mencatat harinya, yaitu, Senin 12 Rabi'ul Awwal. Hanya tahunnya saja yang belum mempunyai patokan awal. Dan mereka menyebut tahun-tahun mereka sesuai dengan kejadian besar yang berlangsung di tahun itu. Tahun kelahiran Nabi ditandai dengan datangnya 'Pasukan Gajah' yang dipimpin Abrahah dengan tujuan ingin menghancurkan Ka’bah, untuk kemudian tahun itu disebutTahun Gajah. Di lain pihak, Orang-orang Parsi, 'Super Power' saingan Romawi, sudah pula ribuan tahun mempergunakan Kalender Bulan. Dengan demikian, dua belahan dunia terbagi dua dalam penggunaan Kalender, sebagai usaha mereka menghitung waktu.
Tidak heran jika kemudian kaum Nasrani terbiasa memakai kalender Masehi karena pengaruh jajahan Romawi atas Palestina, sementara ummat Islam terbiasa pula memakai kalender Bulan yang memang sudah turun-temurun berlaku pada masyarakat Arab. Namun demikian, tidaklah berarti kalender Matahari milik orang Nasrani saja, dan Kalender Bulan hanya milik orang Islam saja. Terbukti orang Jawa, orangCina, Jepang, Korea, dan Mesir terbiasa memakai kalender Bulan, bahkan ribuan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara Suku Maya di Latin Amerika, mereka memakai Kalender Matahari juga selama ribuan tahun pula.
Tahun Matahari
Jika kita teliti lebih mendalam ternyata tidak satupun ayat suci pada kitab Taurat, pegangan orang Yahudi, ataupun kitab Injil pegangannya orang Nasrani, yang memuat Matahari sebagai alat perhitungan waktu. Justru hitungan waktu dengan memakai peredaran matahari didapati pada kitab suci Al Qur’an pegangannya kaum Muslimin. Lantas bagaimana bisa muncul kesimpulan bahwa tahun Matahari adalah miliknya orang Nasrani? Apakah karena mereka terbiasa memakai tahun matahari itu maka 'otomatis' Kalender Matahari menjadi milik mereka? Perlu diketahui bahwa memakai belum tentu memiliki. Memakai bisa saja diperoleh dengan cara meminjam, dan bukan mesti, memilikinya!
Dalam Al Qur’an, pada surat Al Isra’ ayat 12 di atas, dijelaskan setidaknya ada dua fungsi matahari yang rutin dipakai keseharian ummat manusia: Pertama, untuk mempermudah mencari rezeki; dan yang kedua, untuk menghitung tahun-tahun dan waktu, yakni pemakaian kalender. Secara jelas ayat ini mengatakan bahwa dengan matahari itu manusia dapat menghitung tahun-tahun dan waktu. Yang menjadi pertanyaan, waktu apakah yang dihitung berdasarkan peredaran matahari? Tidak lain waktu matahari, bukan? Dan, tahun apakah yang dapat diketahui manusia dari peredaran matahari itu? Jawabnya tidak lain adalah tahun Matahari pula, bukan Tahun Bulan…..!
Ibadah Dalam Agama Islam Menggunakan Waktu Matahari
1. Sholat
Ibadah yang paling penting dalam Islam adalah sholat fardhu lima waktu. Khusus untuk menetapkan waktunya, Allah sendiri yang menetapkannya tanpa campur tangan Baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lihat surat An Nisa' ayat 103 Artinya: “….Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ayat ini jelas mengatakan bahwa waktu sholat fardhu yang lima itu, kesemuanya ditentukan oleh AllahSubhanahu Wa Ta'ala. Itulah sebabnya pada saat Rasulullah baru pulang dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Baginda telah diwajibkan untuk menjalankan sholat fardhu lima kali dalam sehari semalam. Sebagaimana diketahui Baginda diperjalankan Allah setelah waktu isya’ dan pulang kembali ke bumi saat sebelum waktu shubuh. Namun, Baginda tidak serta merta melakukan sholat fardhu shubuh. Hal ini pertama, karena Baginda belum tahu bagaimana tata cara sholat shubuh itu. Dan yang kedua, belum tahu waktu pelaksanaan sholat shubuh itu. Oleh karena itu Baginda Rasul menunggu petunjuk pelaksanaannya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini mestinya menjadi pelajaran penting bagi ummat Islam, bahwa kita mesti mengikuti Baginda Nabi dengan tidak berlagak pandai akan sesuatu perkara agama yang belum kita pelajari dari para ulama. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah: “Dan tanya olehmu kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Keesokan harinya pada saat tergelincir matahari, barulah Malaikat Jibril datang mengajari Nabi tata caradan waktu sholat fardhu lima kali semalam itu. Ternyata waktu yang dipakai adalah waktu matahari, yakni waktu yang dihitung berdasarkan pergerakan matahari. Hal ini tergambar jelas pada ibadah sholat, yakni ibadah yang paling utama dalam Islam tersebut.
Waktu sholat lima waktu itu adalah; Ketika cahaya matahari memantul di langit berwarna putih, waktu fajar mulai menyingsing, saatnya kaum muslimin sholat shubuh. Saat matahari berada tepat di atas kepala dan tergelincir sedikit ke arah barat, waktunya sholat dzuhur. Ketika matahari condong ke barat dan bayang-bayang sepanjang benda aslinya, waktunya sholat ashar. Saat matahari tenggelam di ufuk barat, adalah waktunya sholat magrib. Ketika cahaya matahari yang tertinggal di ufuk barat berupa safaq merah, saatnya waktu sholat isya. (terjemahan bebas dari hadis riwayat Imam Abu Dawud dan Turmidzi. Imam Turmidzi menghasankannya. Dan, hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan Ibnu Khuzaimah)
2. Ibadah Puasa
Adapun ibadah puasa memakai dua perhitungan waktu. Untuk penentuan hari pertama (satu Ramadhan), dan hari terakhir dari ibadah puasa (malam 1 Syawal) dipakai waktu berdasarkan peredaran bulan. Nabi ada bersabda: “Puasalah kamu jika kamu telah melihat bulan. Dan berhari rayalah kamu jika kamu telah melihat bulan. Namun apabila bulan tidak kelihatan, maka genapkanlah olehmu puasamu itu sebanyak 30 hari.” ( H.R. Muslim).
Dari hadis ini jelas waktu peredaran bulan dipakai untuk menentukan hari awal dan akhir Ramadhan. Namun, untuk waktu imsyak dan waktu berbuka setiap harinya, ibadah puasa tetap memakai waktu berdasarkan peredaran matahari juga. Lihat Al Qur’an, surat Al Baqarah 187: “Maka makan dan minumlah kamu sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakan puasamu itu sampai datang malam hari.”
3. Ibadah Haji
Dalam ibadah Haji penetapan hari-harinya seperti hari Tarwiyah, hari Arafah, hari Nahr dan 3 hari Tasyriq, semuanya memakai waktu peredaran Bulan. Lihat surah Al Baqarah ayat 189, artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji….”
Ternyata dalam menetapkan hari-hari untuk ibadah Haji dipergunakan waktu peredaran bulan. Namun, saat dimulai dan diakhirinya pelaksanaan ibadahnya Islam memerintahkan untuk digunakan waktu matahari.Contohnya: Hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, ditetapkan berdasarkan waktu peredaran bulan, sedangkan saat wukuf dimulai dan diakhiri dengan menggunakan peredaran waktu Matahari, yakni dimulai saat tergelincir matahari waktu Dzuhur sampai dengan tenggelamnya matahari waktu magrib.
Dari keterangan-keterangan di atas ini, jelaslah bahwa Islam memakai perhitungan waktu peredaran matahari dan waktu peredaran bulan. Dengan demikian, sangat tidak tepat jika dikatakan Kalender Matahari atau yang populer disebut Kalender Masehi adalah kalendernya umat Nasrani, bukan kalender kita umat Islam. Padahal orang-orang Nasrani tidak pernah beribadah berdasarkan waktu matahari. Sementara itu perhitungan waktu matahari dan tahun matahari sama sekali tidak pernah disinggung pula dalam kitab suci mereka. Dan, yang ada keterangan waktu dan tahun matahari itu justru di dalam Al Qur’an, kitab sucinya umat Islam dan perhitungan tahun matahari untuk sarana peribadatan, di samping juga mempergunakan tahun perhitungan bulan.
Kesimpulan
Kitab suci umat Islam telah memuat penjelasan Tahun Matahari dan Tahun Bulan sekaligus di dalamnya, dan ternyata dalam prakteknya sehari-hari umat Islam di belahan bumi ini memakai pula kedua-dua kalender tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan dalam ibadah-ibadah mereka kedua-duanya dipakai juga. Artinya, selain kaum Muslimin memiliki Kalender Matahari dan Kalender Bulan dalam Kitab Sucinya, mereka juga sekaligus memakainya pula.