PANDANGAN
HIDUP(ALAM) ISLAM 'The Worldview of Islam' SEBAGAI 'FRAMEWORK
STUDY ISLAM'
Ditulis
oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
1)
Pendahuluan
Islam
adalah nama agama yang lahir dari sebab turunnya wahyu ilahi kepada
Nabi Muhammad saw, yang kemudian difahami dan disebarkan oleh akal
dan intuisi manusia. Islam kemudian berkembang menjadi sebuah
peradaban baru dengan struktur konseptualnya yang kokoh dan
universal. Perkembangan Islam keluar dari jazirah Arab merentasi
berbagai suku bangsa di dunia dengan tanpa mengalami perubahan pada
prinsip-prinsip dasarnya adalah diantara bukti bahwa Islam adalah
agama untuk seluruh ummat manusia. Prinsip-prinsip dasar Islam yang
telah turun sempurna itulah sebenarnya yang menjadi titik tolak
perkembangan peradaban Islam dikemudian hari. Artinya Islam yang
turun membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah
kepadanya dan pada saat yang sama juga mengajarkan
pandangan-pandangan (view) fundamental tentang Tuhan, kehidupan,
manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya.
Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama (din) dan
sekaligus peradaban (madaniyyah) nyang memiliki bangunan konsep
(conceptual structure) yang disebut pandangan hidup (worldview).
Pandangan
hidup (worldview) memiliki peran sebagai cara pandang terhadap
segala sesuatu dan secara epistemologis dapat berfungsi sebagai
framework dalam mengkaji segala sesuatu. Dalam kaitannya dengan
poin yang terakhir makalah ini akan mengupas pandangan hidup Islam
sebagai sebuah konsep dan framework kajian Islam. Hal ini penting
dilakukan sebab Islam telah dipahami dengan menggunakan pandangan
hidup dan framework Barat seperti yang telah dilakukan oleh
orientalis [1] ataupun Islamolog-Islamolog yang memilik cara pandang
sendiri terhadap Islam.
[1]
Kajian Edward Said terhadap orientalisme menghasilkan tiga kesimpulan
bahwa 1) kajian orientalis tentang Islam lebih merupakan gambaran
tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur
(orient); 2) bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang
salah tentang kebudayaan Arab dan Islam; 3) bahwa meskipun kajian
orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia
berfungsi untuk tujuan politik. Keith Windschuttle “Edward Said’s
Orientalism revisited” dalam The New Criterion Vol. 17, No. 5,
January 1999, hal. 5.
2)
Pengertian
Untuk
memahami teori tentang pandangan hidup yang pertama-tama perlu
dijelaskan adalah definisi atau pengertian pandangan hidup itu.
Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian
ideologis sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat
doktrin-doktrin teologis yang ber visi keduniaan. Namun terdapat
agama dan peradaban yang memiliki spectrum pandangan yang lebih luas
dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan hidup dalam konteks
Islam diperluas. Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris tidak
terdapat istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih
luas dari sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview,
maka cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk
ekspressi bahasa Inggeris) untuk makna pandangan hidup yang
spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakheratan dengan
menambah kata sifat “Islam”. Namun dalam bahasa Islam para ulama
mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda
antara satu dengan yang lain.
Karena
pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk
menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa
atau agama maka beberapa definisi tentang worldview yang juga
menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan
disini.
Menurut
Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang
terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” [1] Hampir serupa
dengan Smart, Thomas F Wall mengemukakan bahwa worldview adalah
sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita,
realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic
beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of
existence).[2] Lebih luas dari kedua definisi diatas Prof.Alparslan
mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia,
termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas
manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam
pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi
pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including
scientific and technological activities. Every human activity is
ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to
that worldview.[3]
Ketiga
definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun
definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan
spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan
definisi worldview Islam oleh beberapa tokoh ulama zaman modern.
Dalam
tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum
diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para
ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview
ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana
al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision),
Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic
Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ
(Islamic Principle), Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul
Islam lil wujËd (Islamic Worldview).
Meskipun
istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut
sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala
sesuatu. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini
sejatinya adalah netral. Artinya agama dan peradaban lain juga
mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga
dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i,
Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll. Maka
dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview,
Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi
berubah.
Manurut
al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang
berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia.
Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk
melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.[4] Shaykh Atif
al-Zayn mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah (kepercayaan
yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib
beriman kepada hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad saw, dan kepada
al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu
berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga
tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din yang
diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.[5] Sayyid Qutb mengartikan
al-tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang
terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran
khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.[6] Bagi
Naquib al-Attas worldview Islam adalah pandangan Islam tentang
realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang
menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam
adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam
tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).[7]
Definisi
diatas menunjukkan dua makna yang saling melengkapi. Pertama, yang
disampaikan al-Mawdudi dan Atif al-Zain, menekankan bahwa cara
pandang Muslim terhadap segala sesuatu dimulai dari keimanan pada
Tuhan yang direfleksikan dalam keseluruhan aktifitas kehidupan.
Sedangkan kedua, yang disampaikan Syed M.N. al-Attas dan Sayyid Qutb,
menekankan bahwa Islam telah mengandung gambaran dan cara pandang
terhadap realitas (wujud). Bahkan al-Attas, seperti yang tertuang
dalam karya-karyanya, melihat padangan hidup Islam secara
metafisis dan epistemologis sehingga dapat menjadi basis bagi
framework mengkaji segala sesuatu.
Dalam
studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview
secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi
sekuler, [8] tapi dalam Islam pandangan hidup merujuk kepada makna
realitas yang lebih luas, oleh sebab itu terma yang diperkenalkan
al-Attas adalah ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam
terhadap hakikat dan kebenaran tentang wujud.[9] Oleh sebab itu ia
menjelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu,
….bukan
sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan
manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan
kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana
aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek
akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek
final”.[10]
Lebih
teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah
“visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran
yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak
(non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas
ilmiah dan teknologi”.[11] Ini berarti bahwa pandangan hidup Islam
merupakan seperangkat konsep dasar (basic concept) yang berguna untuk
melihat berbagai obyek kajian. Adapun konsep-konsep dasar itu dapat
digambarkan dalam elemen pandangan hidup yang juga merupakan struktur
konsep dibawah ini.
3)
Pandangan Hidup sebagai Bangunan Konsep
Jika
konsep-konsep dalam pandangan hidup itu saling terkait erat dan
merupakan kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan
konsep yang terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir
(mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan
(architectonic whole). Bangunan konsep itu terbentuk dalam alam
pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual manner),
bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang
dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya
membentuk framework berfikir (mental framework).[12]
Secara
epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan
memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a
posteriori.[13] Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu
pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari
berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan
lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang
saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network).
Jaringan
ini membentuk struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan
yang saling berhubungan. Maka dari itu pandangan hidup seseorang itu
terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk
konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling
berhubungan.[14] Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu
melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan menolak
pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal
seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami,
dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain
ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian
dari struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak
menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa
saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi ia tidak mesti
menerima faham itu dan menjadi sekuler.
Jika
struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak
secara alami maka maka akan kita bahwa konsep yang pertama kali masuk
dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya
konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kasus Islam
bisa bertambah menjadi arti hidup dunia dan akherat), cara-cara
manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap
individual dan sosialnya, dan sebagainya.[15] Sesudah konsep hidup
dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami
pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk.
Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan
konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan
pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu
konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak
kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri.
Meskipun
pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun
ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk
konsep-konsep ia dapat diindetifikasi. Professor Alparslan
mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima bidang konsep:
1)
Struktur konsep tentang kehidupan,
2)
Struktur konsep tentang dunia,
3)
Struktur konsep tentang manusia,
4)
Struktur konsep tentang nilai dan
5)
strutktur konsep tentang pengetahuan.[16]
Proses
akumulasi struktur konsep diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu
berurutan, atau bahkan mungkin dalam beberapa aspek simultan, tapi
yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan
konsep. Kesatuan konsep ini berfungsi sebagai kerangka umum (general
scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, dan
bahkan mendominasi cara berfikir kita. Maka dalam pengertian ini
pandangan hidup merupakan framework berfikir. Ini berarti bahwa teori
atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan
hidup tertentu akan merupakan produk dari struktur konsep diatas.
Bagi
seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep
Tuhan akan masuk kedalam pandangan hidupnya.[17] Bagi al-Attas elemen
pandangan hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam
Islam. Diantara yang paling utama adalah Konsep tentang hakekat
Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep tentang penciptaan,
Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep
tentang agama, Konsep tentang kebebasan, Konsep tentang nilai dan
kebajikan, Konsep tentang kebahagiaan,[18] dsb.
Disini
konsep menurut al-Attas sangat penting dalam pandangan hidup Islam.
Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain
membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna
bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality).
Konsep-konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang
dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya
sistim metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi
menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan.
Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk
perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess)
dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu
yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam
suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.[19] Dengan
konsep seperti ini dapat dikatakan bahwa pandangan hidup adalah
merupakan sebuah framework untuk mengkaji sesuatu.
4)
Pandangan Hidup Islam sebagai Asas Epistemologi
Karena
pandangan hidup telah menjadi konsep-konsep yang terstruktur dalam
pikiran seseorang maka ia akan mempengaruhi proses berfikir seseorang
atau dapat digambarkan sebagai vicious circle (lingkaran setan),
dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap
pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris
menjadi mungkin (possible). Sebaliknya ingkar terhadap pengetahuan
tentang Tuhan dapat berakibat pada menafikan pengetahuan non-empiris
(metafisis). Demikian pula dalam masalah moralitas. Dalam kajian
Thomas F Wall kaitan konsep dalam worldview dan moralitas sangat
jelas, ia menyatakan:
It
(belief in God’s existence) is very important, perhaps the most
important element in any worldview. First if we do believe that God
exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a
meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe
that the source of moral value is not just human convention but
divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have
to believe that knowledge can be of more than what is observable and
that there is a higher reality – the supernatural world. ..if on
the other hand, we believe that there is no God and that there is
just this one world, what would we then be likely to believe about
the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the
origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[20]
Arti
bebasnya, kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin
elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita
percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa
disana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan
percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia
tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya,
kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati
[empiris, pen] dan disana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni
alam supernatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan
alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percayai tentang arti hidup,
hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas,
kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.
Kutipan
diatas menjelaskan adanya kaitan antara worldview dengan realitas,
ilmu dan moralitas. Secara konseptual hubungan pandangan hidup dengan
epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi,
kosmologi dan aksiologi.
Prinsip
ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis
tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud
Tuhan sebagai realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam
Islam realitas alam fisik yang nampak (sensible world) dipandang
sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada
realitas metafisis yang absolut. Struktur ontologi yang dalam
terminologi Islam dikategorikan menjadi Élam al-mulk dan Élam
al-shahÉdah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidaklah
sekedar persoalan indera dan akal yang analitis yang bidang
operasionalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan
pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab
hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya
realitas alam yang nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam
sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan
prediktif) tentang realitas alam berada dibawah pengetahuan vertikal
kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu.[21] (inna
fi khalqi al-samawat) (QS….). Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu
tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam
transenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.
Prinsip
kosmologis artinya adalah visi tentang struktur, proses dan fungsi
realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan
yang sejalan dengan al-Qur’an yang tidak diciptakan. Sebab keduanya
mempunyai sistem ÉyÉt yang integral yang memberi petunjuk kepada
manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak
tertulis sedangkan al-Qur’an adalah kitab yang tertulis. Dalam hal
ini al-Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari
ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada
manusia dan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan
melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek Realitas ini agar dapat
memahami hakekatnya yang tertinggi”.[22] Karena susunan dan sistim
kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistim
kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus
diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat
dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu
kesatuan organis yang merefleksikan al-Qur’an itu sendiri.[23]
Karena
struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikan itu maka
realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika
terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak
(invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas
dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap
kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun
pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat
artificial. [24]
Pendekatan
integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara
ayat-ayat kawniyyah dengan ayat-ayat qauliyyah, inilah sejatinya
framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan
hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi. Untuk
lebih detailnya ilustrasi berikut ini menunjukkan peran pandangan
hidup terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas alam nyata.
Contoh yang paling sederhana adalah pandangan seorang pengamat
peristiwa alam. Orang pertama mengatakan “Saya melihat gunung dan
melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang
terjadi”; orang kedua menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat
letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang saya
lihat”; orang ketiga menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat
letusan dari dalamnya, dan semua itu bukan apa-apa kecuali setelah
saya menyebutnya”. Masing-masing cara pandang diatas menunjukkan
pandangan tentang bagaimana kita mengetahui.
Di
Barat cara pandang orang pertama disebut dengan cara pandangan
realisme; yang kedua dinamakan anti-realisme dan yang ketiga dinamai
realisme kritis. Penjelasannya adalah sbb: Realisme berdalih bahwa
pemahaman terhadap cosmos adalah langsung dan akurat serta tidak
dipengaruhi oleh presupposisi dari worldview ataupun
pengaruh-pengaruh subyektif lainnya. Pandangan ini berdasarkan pada
empat premis dasar 1) realitas obyektif dan independen itu ada 2)
ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan bebas dari pengamat 3)
manusia yang mengetahui memiliki kemampuan kognitif untuk memahami
realitas yang tetap ini tanpa dibebani oleh tradisi atau
kecenderungan personal 4) kebenaran dan pengetahuan tentang alam
adalah ditemukan dan pasti, dan tidak diciptakan dan relatif.
Ringkasnya, bagi seorang realis menolak masuknya (interposition)
apapun dari pikiran kedalam diri pengamat dan obyek yang diamati.
Sedangkan
anti-realisme adalah pandangan yang memisahkan secara radikal apa
yang ada disana dan berbagai pandangan tentang itu. Disini worldview
mendominasi dan sistim kepercayaan tidak ada kaitannya dengan
realitas, danbahkan realitas dianggap tidak ada. Pandangan ini dapat
dicirikan menjadi empat 1) meski mengakui bahwa dunia yang nampak ini
mungkin saja ada, ciri-ciri obyektifnya tetap saja kabur 2)
pengetahuan manusia memilik kelemahan dalam memahami alam seperti apa
adanya 3) apa yang dianggap realitas adalah sesuatu yang dibentuk
secara linguistik, produk akal manusia yang idealistis dan 4)
konsekuensinya, kebenaran dan pengetahuan tentang alam, tidak
ditemukan (dicovered) dan pasti, tapi diciptakan (invented) dan
relatif.
Adapun
realisme kritis (critical realism) menerima realitas obyektif dan
kemungkinan diperoleh ilmu yang dapat dipercaya tentangnya, bahkan
juga mengakui adanya presupposisi yang menyertai manusia ketika
mereka mengetahui sesuatu yang mendorong pembahasan kritis tentang
esensi pengetahuan seseorang tentang itu. Proposisi aliran ini ada
empat 1) realitas obyektif dan endependen itu ada 2) ciri-ciri
realitas ini adalah tetap dan independen dari pengamat 3) seseorang
yang tahu, memiliki kemampuan kognitif yang dapat dipercaya untuk
mengetahui realitas yang tetap ini, namun pengaruh presupposisi dan
pandangan hidup serta tradisi individu menjadi prasyarat dan
merelatifkan proses mengetahui itu dan 4) karena itu kebenaran dan
pengetahuan tentang alam, sebagiannya ditemukan dan pasti dan
sebagian yang lain diciptakan dan relatif.[25]
Metode
mengetahui dalam tradisi intelektual Barat seperti yang dipaparkan
diatas dan juga metode-metode lain seperti metode rasional, empiris,
dan kombinasi antara realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai
asas-asas kognitif mempunyai kesamaan dengan tradisi keilmuan Islam.
Namun kesamaan dengan realisme kritis dan juga metode-metode lain
hanya dalam aspek-aspek eksternalnya saja. Keduanya menggunakan
medium yang sama untuk mengetahui, seperti panca indera eksternal
yakni indera raba, bau, rasa, lihat dan dengar, dan panca indera
internal seperti indera umum, representasi, estimasi, retensi,
rekoleksi dan imaginasi. Keduanya sama-sama bersandar pada akal
sebagai alat dan sumber pengetahuan. Selain itu realisme kritis
menggunakan pandangan hidup (worldview) untuk mengetahui sesuatu dan
tidak bisa menerima realisme karena menafikan kaitan antara worldview
dengan realitas dan juga berseberangan dengan anti-realisme yang
melepaskan pandangan hidup dan kepercayaan dari realitas. Realisme
kritis menggabungkan obyektifisme dan subyektifisme, mengakui alam
nyata dan juga realitas manusia yang ingin mengetahui alam. Tidak
sepenuhnya percaya pada kemampuan kognitif manusia, tapi mengakui apa
yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Perbedaannya
akan nampak pada prinsip epistemologi yang dilatar belakangi oleh
pandangan hidup. Jika realisme kritis mencoba menengahi cara pandang
realisme dan anti-realisme, cara pandang dalam pandangan hidup Islam
telah bersifat tawhÊdi (integral), tidak dichotomis, tidak
membedakan antara obyektif-subyektif, tekstual-kontektual,
historis-normatif, dsb. prinsip epistemologi tentang kesatuan
subyektif-obyektif dalam Islam, misalnya, berdasarkan pada konsep
manusia dalam Islam bahwa jiwa manusia itu bersifat kreatif dan
dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam
membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan
dunia imaginasi. Artinya ketika seorang subyek yang memiliki
pandangan hidup Islam akan melihat obyek sesuai dengan
prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam Islam dan akan memahami
obyek itu dengan cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Cara pandang
yang dichotomis dalam cara berfikir Barat tidak dapat diterima dalam
epistemologi Islam karena ia memisahkan dua hal yang saling
berhubungan yang mengakibatkan timbulnya paham-paham ekstrim seperti
materialisme dan idealisme atau metodologi-metodologi yang sama
ekstrimnya seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme dan lain-lain.
Perbedaan
prinsip epistemologis lainnya menurut Prof. Naquib al-Attas adalah
dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai
sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran Tertinggi.
Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimana pada Tuhan,
mempengaruhi cara pandang Muslim terhadap benda-benda ciptaan dan
Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kita asas bagi
framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai
sistim yang integral yang menggambarkan realitas dan kebenaran. Hal
ini berarti bahwa dalam Islam ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah
dan selain melalu media panca indera dan akal yang sehat, ia
diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan dari
juga diperoleh dari intuisi.[26] Dengan kata lain epistemologi dalam
Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang
telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman
dan intuisi.[27]
Jika
sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu
wahyu al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alam semesta sebagai
kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang
perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas
memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan
bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan
tafsir.[28] Seperti halnya kitab al-Qur’an, alam semesta ini juga
mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamÉt) dan ada pula
ayat-ayat yang mutasyabihÉt (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang
jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami
ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan
al-Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan
ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.
Jika
metode ini ditrapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual,
maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode
tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan
metode ta’wil. Jadi ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir
dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada
tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir
terhadap suatu obyek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula.
Penggunaan metode ini menurut al-Attas berkaitan dengan konsep
realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari
realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh
adanya pengelaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak
yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan
intuisi. Dalam hal ini al-Attas menyatakan:
… disana
ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh
intelek; dan mereka yang memiliki ilmu yang dalalm menerima itu semua
apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah
pandangan yang benar: artinya disana ada batasan-batasan dalam makna
sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan
kepentingannya.[29]
Islam
mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi
dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu
yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi
meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam
Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar
dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat
rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafat dan sains modern yang
merupakan produk pandangan hidup Barat tidak bisa dianggap sama
dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada
asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh
konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti
misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan
sebagainya.
Meskipun
pengaruh pandangan hidup terhadap epistemologi sangat besar, namun
pengaruhnya terhadap setiap disiplin ilmu berbeda-beda. David K
Naugle dalam karyanya Worldview, History of Concept menyatakan:
..the
epistemic implication of the worldview vary per discipline. Worldview
seem to be least influential (which is not to say noninfluential) in
the so-called exact and formal sciences, but are much more telling in
the the humanities, the social science, and the fine arts.[30]
Artinya,
implikasi epitemologis dari pandangan hidup berbeda-beda pada setiap
disiplin ilmu. Pandangan hidup nampak kurang berpengaruh (tidak untuk
mengatakan tidak berpengaruh) dalam apa yang disebut ilmu eksak dan
formal, tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humniora, ilmu sosial
dan seni halus. David juga menjelaskan impak asumsi-asumsi pandangan
hidup nampak lebih berkurang dalam praktek ilmu Kimia dibanding ilmu
sejarah, misalnya, dan bahkan lebih kurang lagi dalam bidang
mathematika dibanding filsafat. Kecuali jika pembahasan menyangkut
filsafat kimia atau matematika, karena yang dibahas bukan soal prakek
ilmu ini tapi mengenai prinsip-prinsip utamanya atau filosofinya.
Dalam kasus ini peran pandangan hidup sangat penting. Jika pandangan
hidup tidak banyak berpengaruh terhadap sains keras (hard science)
maka unsur realisme meningkat dan diskusi kritis mengenainya
berkurang secara proporsional. Ketidak sepakatan diantara para
praktisi bidang sains keras ini juga kurang meskipun mereka berbeda
pandangan hidup.
5)
Worldview Islam basis Peradaban
Jika
pandangan hidup dibahas dalam konteks pembentukan peradaban, maka ia
harus dikaitkan dengan tradisi keilmuan. Meskipun pandangan hidup
Islam lahir dan berkembang menjadi sebuah peradaban, namun ia tidak
didahuli oleh masyarakat ilmiyah (scientific society). Artinya
pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat yang
mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan
ilmiah. Konsep keilmuan dalam Islam tidak terdapat dalam masyarakat
ketika Islam datang, tapi terdapat dalam wahyu yang dijelaskan oleh
Nabi. Konsep-konsep dalam wahyu itu baru berupa konsep-konsep seminal
yang hanya mempengaruhi kondisi berfikir (mental environment).
Pandangan hidup Islam mulai disebarkan ketengah masyarakat oleh Nabi
di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas.
Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an,
beliau menjelaskan dan menyebarkannya kemasyarakat. Pandangan hidup
yang lahir dengan cara ini disebut ‘quasi-scientific worldview’
sedangkan pandangan hidup yang lahir oleh adanya masyarakat ilmiyah
dinamakan scientific worldview.[31] Yang terakhir adalah pandangan
hidup Barat yang dilahirkan oleh scientific society. Oleh sebab itu
pandangan hidup yang menguasai masyarakat Barat modern adalah
pandangan hidup ilmiyah (scientific worldview).
Jadi
pandangan hidup Islam lahir dari pancaran konsep-konsep fundamental
yang terdapat dalam wahyu. Proses turunnya wahyu sendiri dari
sejak di Makkah hingga Madinah ternyata menyimpan kronologi
pembentukan ide dan pandangan masyarakat Muslim pada waktu itu.
Kronologi dari sejak turunnya wahyu hingga terbentuknya tradisi
intelektual dan peradaban Islam dapat dibagi menjadi tiga periode
penting: periode pertama, dimulai dari periode Makkah disaat turunnya
wahyu dan peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan
wahyu itu. Periode ini penting karena hampir 75 % wahyu turun di
Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an). Karena itu dengan
merujuk kepada konsep-konsep yang terdapat dalam wahyu maka periode
Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode
akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung
konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan,
penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan
buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen
penting dalam struktur worldview Islam.
Pada
periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih
luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan
lain-lain.[32] Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena
sepertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan
wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam
memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia
(world-structure) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan
hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang
dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam
(Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam
menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[33] Terminologinya
mungkin sama tapi maknanya telah dirubah (di islamkan). Konsep karam,
misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan
banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena
ketaqawaan (inna akramukum inda AllÉh atqÉkum).
Pada
periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung
tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun
Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan
masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris,
hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[34]
Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan
kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak
terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah,
dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan.
Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar
aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah
konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip
itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam
konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia
terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu
pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep
keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam
terjadi pada periode Madinah.
Periode
kedua adalah periode ketika masyarakat mulai menyadari bahwa wahyu
yang turun dan dijelaskan Nabi itu mengandung struktur fundamental
scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan
(life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan,
tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat
potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah
konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir,
ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah
memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan
(pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya
elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup
Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya
struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti
menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam,
meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode
Makkah.
Periode
ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini
memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti
diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi
logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam.
Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof.
Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan
Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan
proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian
menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific
conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam
tradisi keilmuan itu.[35]
Sejarah
membuktikan bahwa masyarakat ilmuwan dalam bentuk kelompok belajar
yang disebut AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah,[36] merupakan masyarakat
yang berupaya untuk memahami wahyu. Sebab disitu kandungan wahyu dan
hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang
efektif. [37] Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran
terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan
merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam.[38] Hasil
dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang
menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË
Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, ‘Abd AllÉh ibn Mas’Ëd
dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota
sekolah ini.
Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh didukung oleh tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.
Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh didukung oleh tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.
Framework
yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu
adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual
scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha
para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang
rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata
al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul,
ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur,
hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam, nutq, zann,
haqq, batil, haqiqah, ‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr,
sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr,
halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan
adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari
keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang
kali disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an,[39] adalah istilah
sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan belajar mengajar.
Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan wahyu itu
sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan
dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih
luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat
sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122)
menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman
al-Qur’an dan hadith, yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan
Fiqh berkaitan erat sekali.
Kegiatan
awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad
lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang
studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad
ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma’bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn
‘Abd al-’Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723),
Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja’far
al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas
(179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan
lain-lain.
Perlu
dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana
masih terdapat beberapa masalah[40] yang terbuka untuk difahami
secara rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[41] Jadi
Fiqh (tafqquh) pada periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah
kegiatan ilmiah untuk memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi
al-din) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat Islam telah
memiliki metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami
makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain,
menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan dengan
ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah
dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang
dibahas maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai
induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir
berbagai disiplin ilmu yang lain. Lahirnya disilplin ilmu-ilmu Fiqih,
kalam, hadith, tafsir, faraidh, falak, dlsb, membuktikan wujudnya
tradisi ilmiah dalam Islam.
Ini
berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman
(tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal,
permanen (thawÉbit) dan dinamis (mutaghayyirÉt), pasti (muÍkamÉt)
dan samar-samar (mutashÉbih), yang asasi (uÎËl) dan yang tidak
(furˑ). Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat
dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual,
subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami
sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru.
Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan
ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan
realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam
wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip
tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting
didalamnya. Tak diragukan lagi jika tradisi intelektual dalam
peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara progressif. Jadi
peradaban Islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu
yang kemudian berkembang menjadi tradisi intelektual yang melahirkan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam dan akhirnya menjadi
peradaban yang kokoh. Disitu pandangan hidup atau worldview dan
epistemologi sama-sama bekerja.
Pandagan
hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din)
dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan
hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian
ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan
historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan
pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim
teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan
oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah
“dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan.
Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada
sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah
otentisitas dan finalitas.
Maka
apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi
pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern
tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya
menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup
dan sistim nilai mereka. [42] Pandangan hidup Barat terbentuk secara
gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka
untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam
dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian
synthesis. Cara pandang mereka terhadap dunia juga berubah dari
god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi
world-centered dan kini menjadi man-centred. Perubahan-perubahan ini
tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada
spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata
nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.
6)
Worldview Sebagai framework Studi Filsafat Islam
Sejalan
dengan pemaparan bahwa worldview adalah basis epistemologi dan
peradaban Islam maka dapat disimpulkan bahwa worldview Islam dapat
digunakan sebagai framework kajian berbagai disiplin ilmu dalam
Islam. Seperti dijelaskan diatas bahwa pandangan hidup Islam yang
diproyeksikan oleh al-Qur’an dengan konsep-konsep seminalnya telah
menghasilkan komunitas ilmuwan. Komunitas ini kemudian melahirkan
struktur konsep keilmuan yang diikuti oleh lahirnya berbagai disiplin
ilmu. Dalam framework seperti ini maka jelas disiplin cabang-cabang
dalam Islam termasuk filsafat Islam adalah produk dari pandangan
hidup dan peradaban Islam.
Namun
perlu digaris bawahi bahwa makna filsafat Islam kini tidak dapat lagi
difahami sebagai filsafat Muslim peripatetik yang mengadapsi aliran
Aristotelian-neo-platoisme. Sebab istilah filsafat itu sendiri dari
sejak zaman kuno, pertengahan dan modern telah mengalami perbuahan
makna dari konsepsi rasionalis, kritis dan akhirnya konsepsi
positifis. Kini filsafat dalam Islam dapat difahami dari
konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam yang diproyeksikan oleh
al-Qur’an. Konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an tentang alam
semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dsb. adalah
konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas
dan kebenaran. Oleh sebab itu terma yang sesuai dengan itu adalah
hikmah.[43] Jika konsep-konsep asasi dalam filsafat Islam berasal
dari al-Qur’an maka asal usul filsafat harus ditelusuri dari dalam
pandangan hidup Islam. Dan oleh sebab itu kajian filsafat Islam
memiliki frameworknya sendiri. Namun, karena filsafat Islam tidak
dikaji dari pandangan hidup Islam, maka framework yang dihasilkan
tidak sejalan dengan makna filsafat Islam sendiri. Dalam sebuah buku
filsafat Islam Henry Corbin menyatakan:
Filsafat
Arab mulai dari al-Kindi, [orang bisa saja menambahkan : melalui
penterjemahan karya-karya Yunani] mencapai puncaknya dengan al-Farabi
dan Ibn Sina, mengalami serangan yang mengejutkan dari kritik
al-Ghazzali dan melakukan upaya heroik untuk bangkit kembali lagi
dengan [lahirnya] Ibn Rushd. Itulah.[44]
Framework
seperti ini sangat umum dikalangan para orientalis dan banyak diikuti
oleh cendekiawan Muslim dan menjadi kurikulum di perguruan tinggi
Islam. [45] Dalam buku-buku pedoman Kurikulum Perguruan Tinggi Islam
Indonesai pengkajian filsafat berangkat dari asumsi bahwa filsafat
Islam adalah filsafat peripatetik dan filosof Muslim pertama adalah
al-Kindi. Framework ini jelas mereduksi filsafat Islam hanya sebatas
filsafat Muslim Aristotelianisme.
a)
Framework orientalis
Pada
umumnya para orientalis, dengan beberapa pengecualian,[46] sependapat
bahwa geneologi filsafat dalam Islam harus dilacak dari Yunani, sebab
menurut mereka filsafat tidak ada akarnya dalam tradisi intelektual
Islam. Peter menyimpulkan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”,
bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri”
filsafat yang juga berasal dari Yunani (the stepsisters borne by the
same mother).[47] Ueberweg dalam History of Philosophy juga
menegaskan The whole philosophy of the Arabians was only a form of
Aristotelianisme, tempered more or less with Neo-Platonic
conceptions.[48] Dengan argumentasi lain De Boer, orientalis periode
awal, dengan tegas menyatakan bahwa “Islam datang ke dunia ini
tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam
tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Filsafat dalam
Islam hanyalah eklektisism yang terkait dengan hasil terjemahan karya
Yunani, dan karena itu kajian kesejarahannya lebih merupakan
assimilasi dari pada originasi.[49] Tidak aneh jika bukunya The
History of Philosophy in Islam dimulai dengan pemaparan Sains Yunani
dan Wisdom dari Timur dengan porsi yang berlebihan. Jika De Boer
mengasumsikan ketiadaaan metode dan sistim filsafat dalam Islam, maka
Gustave E von Grunebaum menyinggung ketiadaan pemikiran rasional,
konsep-konsep dan prinsip klassifikasi dalam Islam, ia menulis
begini:
Hellenisme
memberikan bentuk pemikiran yang rasional kepada peradaban
Muslim….bahkan dalam beberapa kasus menyediakan seperangkat
konsep-konsep, dan pada banyak kasus menyuguhkan prinsip-prinsip
klassifikasi. [50]
Tidak
hanya filsafat, ilmu tasawwuf dalam Islam sekalipun, tetap dia anggap
berasal dari aspirasi Yunani, kalaupun tidak bisa disebut transmisi
kata per kata. Bahkan sistimatika tasawwuf dalam Islam menurutnya
merupakan kelanjutan dari mistikisme dalam Kristen. Kalaupun ada
sumbangan Muslim, itu hanyalah hasil dari upaya wajar yang lebih
menonjol faktor manusianya ketimbang Islamnya. Jadi, menurutnya
konsep-konsep filsafat Yunani itu telah dimodifikasi oleh Muslim,
tapi elemen-elemen Yunani masih tetap dipertahankan.[51] Kalau
Gustave mementahkan prestasi Muslim dalam bidang Tasawwuf dan
filsafat M.W.Watt dalam bidang filsafat dan ilmu Kalam. Kalam yang
menggunakan argumentasi rasional itu, menurutnya, memperkenalkan dan
mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil
dari filsafat dan sains Yunani.[52] Sejalan dengan Watt, Joseph van
Ess dan Michael Cook menganggap formula perdebatan dalam ilmu Kalam
diambil dari Yunani atau dari teks Syriac.[53] Tapi, mereka umumnya
tidak memberikan bukti yang kuat tentang bagaimana proses pengambilan
dari Yunani itu berlangsung. Watt sendiri mengakui bagaimana
MutakallimËn berhubungan dengan Yunani hanya merupakan asumsi yang
mash perlu dibuktikan.
Dalam
buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis
artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia
mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat
Baru (New West). Tapi ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua
tidak berasal dari jazirah Arab. Sebab sebelum orang-orang Arab itu
berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran yang masuk Islam,
mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Lebih tegas lagi ia
menyatakan bahwa Muslim pada abad ke 7 M mustahil bisa faham arti
logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat
baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli
mereka.[54]
Pernyataan
bahwa seluruh filsafat Islam (the whole philosophy of the Arab)
merupakan pernyataan yang tidak ilmiyah karena tidak disertai
bukti-bukti yang kokoh. Pernyataan Edward bahwa filsafat Islam
berasal dari Kritsten Syria dan Yahudi juga demikian, sebab
penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873),
Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah
bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran
apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian
mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu
Islamisasi konsep-konsep pentingnya.[55] Anggapan itu juga
bertentangan dengan temuan Peter, bahwa orang Kristen tidak bisa
menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan
membahayakan keimanan mereka.[56] Ini berarti, menurut teori
worldview Alparslan, mereka tidak mampu menyerap pemikiran Yunani
yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk
menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme)
dalam pandangan hidup mereka.[57] Jadi kalau fakta yang dikemukakan
Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview)
Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu
bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu
muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang
berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih. Proses ini diakui oleh
penulis Barat lain sebagai “appropriaing and developing” tradisi
Yunani kedalam “Islamic cultural milieu”.[58] Marmura, dalam hal
ini menyatakan:
Thus,
the falÉsifah did not simply accept ideas they received through the
translations. They criticized, selected, and rejected; they made
distinction, refined and remolded concepts to formulate their own
philosophies. But the conceptual building block, so to speak, of
these philosophies remained Greek. [59]
Disini
pengakuan Marmura benar dan tepat, yaitu bahwa cendekiawan Muslim
bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa
memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada
proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reormulasi konsep.
Pengakuan serupa juga dilakuan oleh Sabra. Dalam kajiannya tentang
filsafat dan sains Islam menyatakan:
Philosophy,
in Islamic consciousness, has always been the “foreign” science
par excellence (to use a current word for the disciplines of
knowledge “acquired by Islamic civilization from antiquity), and it
has retained its Greek name in an Arabicized form up to our own day.
…..but the Arabicized name falsafah, is also a sign of successful
naturalization.[60]
Meskipun
Sabra mengakui keberhasilan proses naturalisasi filsafat Yunani ke
dalam Islam dan Marmura mengakui adanya proses seleksi dan
modifikasinya yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim, namun satu hal
yang mereka pegang secara konsisten adalah bahwa filsafat itu ilmu
asing dalam Islam dan unsur-unsur Yunani masih terdapat didalamnya.
Dari
pandangan para orientalis mengenai asal usul filsafat dalam Islam
diatas dapat ditangkap suatu indikasi bahwa dibalik menafikan asal
usul filsafat Islam itu adalah pengingkaran adanya sistim, konsep dan
pemikiran rasional dalam Islam. Pemikiran rasional hanya dimiliki
oleh Yunani. Implikasi logisnya, Islam tidak memiliki konsep dan
sistim pemikiran. Selain itu terdapat sikap ambivalen dalam cara
berfikir mereka. Ilmu Kalam dalam Islam tidak dikategorikan kedalam
filsafat, sebab ia berdasarkan pada teologi atau berangkat dari
doktrin-doktrin keagamaan. Namun disisi lain mereka menganggap para
teolog Kristen pada abad pertengahan sebagai filosof. Berdasarkan
pemahaman tentang asal usul filsafat Islam yang demikian itu maka
akibatnya nama filsafat Islam tetap dikaitkan dengan filsafat Yunani.
b)
Nomenklatur Orientalis
Anggapan
tentang asal usul diatas ternyata berkaitan dengan penamaan filsafat
Islam. Karena filsafat Islam dianggap berasal seluruhnya dari Yunani,
maka penamaan filsafat Islam berangkat dari istilah yang dipakai
untuk merujuk kepada aktifitas pemikir Muslim yang berkaitan filsafat
Yunani. Oleh Karen itu nama untuk filsafat Islam selalu merujuk
kepada istilah falsafah, yaitu istilah Yunani Philo dan Sophia yang
di Arabkan (Arabicized). Atas dasar itu maka Sabra menyimpulkan bahwa
filsafat adalah ilmu asing dalam Islam, meskipun ia mengakui bahwa
filsafat Yunani telah mengalami proses naturalisasi sebelum ia
menjadi bagian dari ilmu Islam.[61]
Para
orientalis seperti Montgomery Watt, Majid Fakhry, George Hourani,
George Anawati, Henry Corbin, Michael Marmura, dan lain-lain
menggunakan istilah Islamic Philosophy (Filsafat Islam), tapi makna
sebenarnya masih tetap merujuk kepada makna falsafah. Kata sifat
Islam atau Islamic tidak mencerminkan substansi Islam dalam filsafat.
Fakhry
menggunakan istilah filsafat Islam tapi juga setuju dengan istilah
Filsafat Arab, sebab alasannya, filsafat dalam Islam merupakan produk
dari proses intelektual yang kompleks yang melibatkan peran serta
bangsa-bangsa Syria, Arab, Persia, Turki, Barbar dan lain-lain. Tapi
karena unsur Arab lebih dominan maka akan lebih mudah disebut dengan
Filsafat Arab.[62] Anehnya, penulis-penulis Arab sendiri tidak pernah
menggunakan istilah al-Falsafah al-Arabiyyah. Penekanan pada elemen
Arab atau Yunani, agaknya menunjukkan suatu kesengajaan untuk
menyembunyikan elemen Islam dalam filsafat. T.J.De Boer, malah
memberi judul bukunya The History of Philosophy in Islam, yang bisa
diartikan sebagai “Sejarah Filsafat [Yunani] dalam Islam”. Dalam
buku Vergilius Ferm berjudul A History of Philosophical Systems, bab
ke 13 tentang filsafat Islam diberi judul The Arabic and Islamic
Philosophy, tapi didalamnya lebih banyak menggunakan istilah Arab
philosophy.
Dalam
sebuah Kamus tentang Islam yang diterbitkan pada sekitar tahun
1920-an, filsafat Islam dimasukkan kedalam entri Muslim Philosophy,
Arabic falsafah or ilmu al-Íikmah. Penamaan ini agak aneh, sebab
falsafah disamakan dengan Íikmah. ×ikmah disitu diartikan sama
dengan Aristotelianisme yang dicampur dengan Neo-Platonisme.[63]
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah intelektual Islam,
filsafat merupakan penjelasan, penafsiran dan adapsi (appropriating)
elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi fakta yang juga tidak
dapat diingkari adalah bahwa cendekiawan Muslim telah menyeleksi dan
mengembangkan elemen-elemen asing itu kedalam millieu peradaban
Islam.[64] Namun perlu dicatat bahwa cendekiawan Muslim tidak akan
mampu menjelaskan, menafsirkan, mengadapsi elemen penting dalam
filsafat Yunani dan memasukkannya kedalam peradaban Islam, kecuali
dengan bekal konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam
(worldview) yang mereka miliki. Berbeda dari para pemikir Kristen
yang tidak “berani” menggunakan pemikiran Yunani kecuali seteleh
di modifikasi oleh pemikir Muslim. Albertus Magnus ( 1193-1280 M)
misalnya menggunakan argumentasi tentang eksistensi Tuhan dari
metafisika al-Farabi.
Dikalangan
Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai sebutan
yang diberikan kepada aktifitas ilmiyah pada sekitar abad ke 8 M.
yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Namun, setelah proses, sebut
saja, Islamisasi terjadi, nama falsafah difahami sebagai istilah umum
yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam
Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi
dipermasalahkan, yang lebih penting falsafah adalah ilmu tentang
Wujud.[65] Ibn Taymiyyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah
ini, asal ditambah dengan predikat al-ÎaÍÊÍah. Definisi filsafat
pun ia terima sebagai ilmu tentang Wujud. [66]
Ini
berarti falsafah tidak lagi dipahami dalam kaitannya dengan pemikiran
Yunani, tapi dipahami dalam arti luas dan bahkan dihubungkan dengan
Íikmah. Istilah Íikmah disebut sekitar 20 kali dalam al-Qur’an
itu sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat
Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang
berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan banyak orang yang
tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam
ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh,
Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang
memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu
sendiri.[67]
Mungkin
pernyataan Oliver Leaman bisa menggambarkan realitas ini. Ia
manyatakan bahwa: “philosophy arose in Islamic theology and was
without any direct contact with (Greek) philosophy”. Menurutnya,
filsafat Islam tumbuh dan berkembangan melalui prinsip-prinsip
penalaran dibidang hukum. Assimilasi pemikiran asing menjadi suatu
keharusan ketika terjadi ekspansi Islam yang begitu cepat, sehingga
Muslim menguasai peradaban yang sangat canggih. Meskipun demikian,
asimilasi tersebut dilakukan melalui proses Islamisasi.[68]
Artinya
wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah
Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dsb.
sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, ontologi dan cosmologi,
dan masuk kedalam kategori filsafat ketimbang teologi per se.
Terdapat
kerancuan nomenklatur dikalangan orientalis. Disatu sisi mereka ingin
berpegang pada nama falsafah yang merupakan kata Yunani yang di
Arabkan, namun disisi lain mereka menyamakan filsafat Islam dengan
filsafat Muslim, filsafat Arab dan juga Íikmah. Padahal penamaan itu
membawa implikasi sendiri. Yang nampak rancu adalah ketika falsafah
disamakan dengan Íikmah dan kemudian mengartikannya sebagai warisan
dari Yunani.
Meski
para orientalis memakai berbagai nama unuk filsafat Islam, namun
mereka tetap konsisten pada pendapat bahwa filsafat dalam Islam
sepenuhnya berasal dari Yunani. Penamaan dan pengertian filsafat
Islam yang sedemikian itu, pada akhirnya menghasilkan framework
kajian terhadap materi filsafat Islam. Untuk itu sebaiknya kita bahas
framework orientalis dalam mengkaji filsafat Islam.
c)
Konsekeuensi Framework orientalis
Framework
kajian filsafat Islam para orientalis sudah tentu mengikuti prinsip
asal usul dan nomenklatur seperti yang telah dikemukakan diatas. Asal
filsafat Islam, seperti dinyatakan oleh Watt tumbuh dari hasil dua
gelombang Hellenisme, yaitu periode penterjemahan dan periode
munculnya filosof Muslim Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Farabi,
Ibn Sina dan lainnya.[69] Menurut Majid Fakhry bahkan bukan hanya
dari Yunani, tapi juga dari India dan Persia.[70] Bagi penulis
Kisten, seperti Edward Jurji, misalanya asal muasal filsafat Islam
dikaitkan dengan latar belakang komunitas Kristen. Karena itu kajian
filsafat Islam, menurutnya harus dimulai dari kajian situasi
peradaban di Timur Dekat (yakni kawasan Timur Tengah sekarang). Di
kawasan itu kajian terhadap warisan Yunani kuno menjadi semakin inten
karena tersebarnya agama Kristen saat itu. Jadi, menurut Edward,
sejarah filsafat Arab (yakni filsafat Islam) berakar pada pengikut
gereja Nestorian dan Jacobite.[71] Framework semacam ini sangat umum
dijumpai dalam tulisan sejarah filsafat Islam.[72]
Sebagai
konsekuensi dari framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan
filsafat Yunani ataupun Kristen, adalah menganggap konsep-konsep dan
sistim pemikiran dalam Islam sebagai berasal dari dan didominasi oleh
pemikiran asing. Ini dapat juga dibaca dari pemikiran Alfred
Gullimaune yang secara tegas menyarankan agar framework, skop dan
materi Filsafat Arab ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat
Yunani mendominasi sistim ummat Islam.[73] Tidak dijelaskan bagaimana
filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam. Tidak dielaborasi
pula sistim apa saja dalam Islam yang didominasi oleh filsafat
Yunani.
Jika
pun yang didominasi itu adalah sistim pemikiran Muslim peripatetik,
juga tidak dapat sepenuhnya diterima. Sebab, para filosof Muslim
peripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb juga telah
merobah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Konsep-konsep Islam yang mendasar seperti konsep keesaan Tuhan
(tawhid), konsep kehidupan dunia-akherat, konsep manusia, dsb
meskipun bertentangan dengan konsep Yunani tetap dipertahankan. Jika
konsep Yunani dominan dalam pemikiran Islam, maka Islam tidak dapat
berkembang menjadi peradaban yang kuat dimasa itu. Karena tidak ada
peradaban yang tumbuh dengan konsep peradaban lain, kecuali peradaban
itu akan punah.
Selanjutnya,
menggunakan framework seperti tersebut diatas juga membawa akibat
pada penafian peran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ini
dapat dilihat dari pandangan O’Leary dalam karyanya Arabic Thought
and Its Place in History.[74] Ia meletakkan pemikiran Arab hanya
sebagai transmitter filsafat Yunani dari Hellenisme versi Syriac
kedalam peradaban Barat Latin. Disini lagi-lagi, anggapan bahwa
Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional sangat menonjol. Tidak
disadari bahwa proses mentrasmisikan suatu pemikiran memerlukan kerja
rumit yang tidak hanya sebatas penterjemahan dan penjelasan. Ketika
Muslim menterjemahkan teks-teks Yunani, didalam pikiran mereka telah
terdapat pandangan hidup (worldview) yang teratur, rasional dan mampu
menerima pemikiran dalam teks-teks yang diterjemahkan itu. Jika
Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional, mereka akan bersikap sama
dengan para teolog Kristen yang tidak berani menterjemahkan Organon
Aristotle, khawatir membahayakan keimanan mereka. Jika mereka mampu,
tentu bangsa Syriac yang umumnya adalah penganut Kristen itu sudah
maju mendahului ummat Islam dalam bidang filsafat dan sains. Tapi
kenyataannya tidak demikian.
Dari
framework kajian diatas, sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh
buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam
dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap
cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat
Yunani. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti
al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut
filosof.
Nampaknya
frameworks kajian sejarah mereka berdasarkan pada hypotesis yang
dijustifikasi dengan teori. Namun hypotesa dan teori boleh jadi tidak
relevan dengan realitas alam pikiran Islam, meskipun secara
kronologis boleh jadi benar. Mengapa hypotesa dan teori oritentalis
tidak relevan, mungkin bisa dirujuk kepada kesimpulan Edward Said
bahwa orientalisme adalah merupakan gambaran tentang pengalaman
manusia Barat sehingga menghasilkan gambaran yang salah tentang
kebudayaan Arab dan Islam. Selain itu meskipun kajian orientalis
nampak obyektif dan tanpa kepentingan, namun ia berfungsi untuk
tujuan politik.[75]
Apa
yang seringkali dilupakan oleh para orientalis adalah bahwa Islam
adalah pandangan hidup (worldview) yang sangat menghargai penggunaan
akal dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat tumbuh menjadi suatu
peradaban yang maju dan terbuka untuk “meminjam” unsur-unsur
asing tanpa kehilangan identitas dirinya.
d)
Framework Pemikir Muslim
Sesungguhnya
falsafah adalah cabang pengetahuan dalam khazanah intelektual Islam,
namun falsafah tidak dapat disebut sebagai nama Filsafat Islam. Hal
ini dapat dilihat ketika falsafah yang berasal dari Yunani masuk
kedalam tradisi intelektual Islam para ulama yang umumnya fuqaha
menolaknya, terutama ilmu mantiq (logika),[76] karena berkaitan
dengan metafisika.[77] Ada pula ulama, seperti al-Ghazzali, Fakhr
al-Din al-Razi yang menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran
Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan. Yang lain lagi
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb. menerima falsafah dan
memodifikasinya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam
ajaran Islam.
Namun
penolakan dan penerimaan para cendekiawan Muslim diatas bukan hanya
sekedar karena filsafat itu berasal dari ilmu asing, tapi lebih
karena adanya beberapa prinsip dalam “filsafat” yang dianggap
bertentangan dengan Islam. Ibn Taymiyyah yang termasuk diantara yang
penolak keras “filsafat” ternyata juga menerima “filsafat”,
tapi dengan prasyarat, yaitu asal berdasarkan pada akal dan berpijak
pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Filsafat yang demikian itu
ia sebut al-falsafah al-ØaÍÊÍah (filsafat yang betul) atau
al-falsafah al-ÍaqÊqiyyah (Filsafat yang sebenarnya).[78] Imam
Al-Ghazzali sendiri sebenarnya juga tidak menolak filsafat, tapi
mengkritik prinsip-prinsip berfikir para filosof. Jadi para ulama
menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi
prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak
sejalan dengan konsep-konsep dalam Islam. Selain itu juga karena
mereka percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dari
konsep asing itu. Ini berarti bahwa para ulama menganggap bahwa dalam
Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda
dari Yunani.
Dari
kritik al-Ghazzali terhadap falsafah dan penerimaan istilah Falsafah
al-Sahihah Ibn Taymiyyah menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah
falsafah yang berasal dari Yunani. Maka dari itu mengaitkan asal usul
filsafat Islam secara menyeluruh dengan filsafat Yunani akan membawa
konskuensi logis bahwa kegiatan ilmiyah dalam Islam tidak ada sebelum
periode penterjemahan karya-karya Yunani. Demikian pula memberi nama
filsafat Islam dengan melulu merujuk kepada pengertian Yunani juga
akan membawa akibat yang sama. Padahal jika kita cermati pemikiran
Islam periode awal akan kita temukan tidak kalah dari pemikiran
spekulatif Yunani pada periode awal di Ionia. Jika di Ionia pemikiran
spekulatif mereka membahas masalah kejadian alam semesta dan asal
usul segala sesuatu, ummat Islam bahkan membahas masalah-masalah
Tuhan, alam semesta, moralitas, hari akhir dan lain-lain yang dalam
filsafat Yunani termasuk dalam bidang metafisika.
Jadi
framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
menurut C.A.Qadir jauh dari benar. Sumber aspirasi yang asli dan riel
para pemikir Muslim, menurutnya, adalah al-Qur’an dan Hadith.
Pemikiran Yunani hanya memberi stimulasi dan membuka jalan untuknya.
Karena itu fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama
benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa
pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam
semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang
justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[79]
Pandangan
serupa juga dapat ditemua dalam DirÉsÉt fÊ al-Falsafah
al-IslÉmiyyah, karya ‘Abd al-LaÏÊf Muhammad. Menurutnya dalam
Islam telah ada pemikiran filsafat yang disebut Íikmah dan ketika
ummat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani mereka
mengembangkannya, tapi masih tetap berangkat dari konsep Íikmah.
Jadi, menurutnya, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran
filsafat Yunani kedalam Islam, tapi ×ikmah dalam Islam telah
menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.[80]
Tanpa
menafikan adanya hubungan antara filsafat Islam dan Yunani MM Sharif
mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan
pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas,
kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”.[81] Ini
adalaah pernyataan yang cukup adil, artinya meskipun didalam filsafat
Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tapi filsafat Islam bukanlah
filsafat Yunani. Filsafat Barat sendiri yang juga mengandungi unsur
Yunani, Islam dan Kristen, tetap saja disebut Filsafat Barat dan
dikaji menurut framework Barat.
Dari
sini kita dapat melihat suatu framework yang berbeda dari framework
orietalis yaitu bahwa akar filsafat Islam bukanlah filafat Yunani,
tapi adalah konsep-konsep kunci dari wahyu. M. Iqbal bahkan
mengatakan bahwa spirit Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah
anti-Yunani.[82] Sementara Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa
Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan
dengan Averroes, murid terbesarnya.[83] Meskipun begitu Nasr
menyadari bahwa dalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani.
Hanya saja unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu
kemudian diintegrasikan kedalam peradaban Islam, khususnya jika hal
itu berkaitan dengan Íikmah dalam pengertian yang universal.[84]
Jadi adalah salah jika berfilsafat dalam Islam itu berarti menganut
paham skeptisisme, keraguan dan aktifitas manusia yang
individualistis yang melawan Tuhan.[85]
Dengan
prinsip asal usul seperti itu maka filsafat Islam dapat di
definisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada
doktrin tawhid. Maka dari itu nama filsafat Islam benar-benar merujuk
kepada sumber Islam dan bukan sumber Yunani. MM. Sharif lebih suka
menyebut Muslim Philosophy (filsafat Muslim) daripada Islamic
Philosophy (Filsafat Islam). Karena itu buku sejarah filsafat Islam
yang ia edit itu diberi judul A History of Muslim philosophy. Nama
ini digunakan agar pemikiran filosof Muslim yang bertentangan dengan
ajaran, kepercayaan dan konsep-konsep Islam tidak disebut sebagai
filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap sebagai idealisme yang
menjadi norma yang dapat digunakan untuk mengevaluasi filsafat
Muslim. Jadi filsafat Islam adalah tujuan dan aspirasi masa
depan.[86] Namun, sebenarnya menggunakan nama Filsafat Islam sebab
hal itu justru menjunjukkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang
lahir pandangan hidup Islam.
Framework
para pemikir Muslim diatas menunjukkan peran Islam yang dominan
dibandingkan peran filsafat Yunani. Ini nampaknya sangat sesuai untuk
digunakan dalam pengkajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam.
Disini filsafat Islam tidak hanya dapat dicari akarnya dari
al-Qur’an, hadith dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat
dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat didalamnya. Oleh
sebab itu framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahasan
dari konsep al-Qur’an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik
pengikut peripatetik maupun pengkritiknya), dan tasawwuf.
e)
Framework Alternatif
Framework
kajian filsafat Islam semestinya sejalan dengan pandangan para
pemikir Muslim kontemporer seperti yang disebutkan diatas. Filsafat
Islam dipahami sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam yang konsep-konsep dasarnya berakar pada al-Qur’an
dan hadith yang kemudian ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama
sehingga menggambarkan struktur konsep yang berbeda dari filsafat
Yunani. Karena sumber pemikiran filsafat Islam adalah wahyu, maka
kajian sejarah filsafat Islam dimulai dari konsep-konsep seminal
(seminal concepts) dalam al-Qur’an dan dilanjutkan dengan kajian
terhadap pemahaman, penafsiran, penjelasan dan pengembangan
konsep-konsep tersebut oleh para pemikir Muslim.
Dalam
kaitannya dengan disiplin filsafat Islam, aktifitas memahami,
menafsirkan, menjelaskan dan mengembangkan konsep-konsep dalam
al-Qur’an dapat digambarkan dalam bidang yang kemudian disebut
kalam, falsafah dan hikmah.
- Kalam, adalah istilah oleh kebanyakan ilmuwan diartikan sebagai ilmu yang mempertahankan asas-asas agama dan seringkali disebut teologi. Tapi sebenarnya kalam lebih luas daripada itu, sebab selain mendiskusikan isu teologis juga membahas problem-problem filsafat. Oleh sebab itu para orientalis memberi berbagai macam kepada kalam, seperti philosophical theology, Islamic theology, atau philosophy of kalam. Jika di Abad Pertengahan Barat menyebut teolog mereka sebagai filosof, maka umat Islam dapat pula menyebut para mutakallimun sebagai filosof.
2)
Falsafah, nama ini adalah terjemahan murni dari Philosophia dan
istilah ini dikaitkan dengan Muslim paripatetic (Mashsha’i).
tokohnya yang terkenal adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rushd, Ibn
Tufayl and Ibn Bajah dsb. Tapi sebenarnya Muslim Paripatetics ini
dalam pengertian Aristotle hanyalah teolog, sebab mereka hanya
mengembangkan teologi Aristotle.
3)
al-Hikmah, berarti ‘wisdom’, sedikit berkaitan dengan istilah
‘philosophy’, tapi lebih luas dari “philosophy”, sebab
al-Hikmah tidak hanya bersumber pada akal manusia, tapi pada
wahyu. Oleh sebab itu bidang kajian al-Hikmah lebih luas daripada
filsafat.
Jika
pembagian diatas kita terima, maka filsafat Islam bukan hanya
terbatas pada falsafah dan pendekatan atau framework mempelajari
filsafat Islam harus dirubah. Untuk merubah framework pengkajian
filsafat Islam kita perlu menekankan dua hal: Pertama, definisi dan
pengertian filsafat Islam; Kedua, proses lahirnya filsafat Islam
Pertama
karena filsafat berbeda dari ilmu (sciences) maka materi kajian
(subject matter) filsafat Islam lebih luas dari ilmu apapun dan
karena itu definisi filsafat yang mencakup seluruh pemikiran filsafat
tidak mudah. Untuk mengatasi kesulitan ini dan sebelum mendefinisikan
filsafat, kita lihat tujuan utama para filosof dalam pemikiran
mereka. Tujuan mendasar mereka ada dua: 1) Membangun sistim filsafat
dan 2) mengevaluasi sistim atau mendiskusikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan sistim tersebut. Berdasarkan pada dua tujuan filosof
tersebut maka jelaslah bahwa materi kajian (subject matter) filsafat
adalah sistim.
Sebagai
suatu sistim pengetahuan maka filsafat mempunyai cirri-ciri utama
diantaranya tersusun secara logic (logically organized). Menggunakan
metodologi khusus (methodological) dan menerapkan teori yang
berdasarkan observasi, analisa, sintesa dan pengalaman (eksperimen).
Jadi, arti filsafat bedasarkan pada pandangan ini adalah kajian
tentang pembentukan (constructing), penilaian (evaluating) atau
pembahasan (discussing) masalah yang berkaitan dengan sebuah sistim
pemikiran dengan pendekatan ilmiyah yang tersusun, metodologis dan
teoritis.
Kedua
untuk menentukan framework filsafat Islam diperlukan gambaran tentang
kemunculannya dan tokoh yang membawanya. Kelahiran dan perkembangan
suatu pemikiran selalu dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan
peradaban yang menaunginya. Sebab, perlu dicatat, ilmu tidak dapat
berkembang tanpa latar belakang peradaban, dan ilmu dalam peradaban
manapun tidak dapat berkembang tanpa adanya struktur konsep keilmuan
(scientific conceptual scheme) sebelumnya. Yang dimaksud dengan
struktur konsep keilmuan adalah jalinan konsep-konsep yang
memungkinkan adanya tradisi keilmuan, termasuk istilah-istilah
keilmuan (scientific terminology) dalam berbagai bidang. Susunan
konsep ini disebut dengan pandangan hidup (worldview).
Dalam
sejarah Islam kita temukan banyak sekali konsep-konsep penting,
seperti ilm, hikmah, kalam, ra’y, ijtihad, sahih, khata’, sawab,
batil dsb., yang kesemuanya itu disebut dengan struktur ilmu
pengetahuan (knowledge structure).
Jika
filsafat Islam dikaji dari konsep-konsep yang berasal dari peradaban
Islam, maka filsafat Islam dan filsafat Yunani jelas berbeda. Yang
pertama bersumber dari wahyu sedangkan yang kedua bersandar pada
akal. Berdasarkan konsep pandangan hidup diatas maka Filsafat Islam
adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan dan
pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Qur’an dan Sunnah yang
dalam perkembangan selanjutnya bersentuhan dengan konsep-konsep
asing.
i).
Tujuan Kajian Filsafat Islam
Tujuan
Pengkajian Filsafat Islam adalah untuk memberikan kemampuan kepada
mahasiswa untuk memahami konsep-konsep penting dalam pemikiran
filsafat Islam. Selain itu juga memberikan kecakapan kepada mahasiswa
untuk merujuk konsep-konsep penting filsafat dari konsep-konsep
seminal dalam al-Qur’an dan Hadith, sehingga dengan begitu ia mampu
menjelaskan konsep-konsep yang pernah ada dalam dalam khazanah
intelektual Islam sesuai dengan situasi masa kini. Untuk
menggambarkan framework ini maka kajian filsafat Islam merujuk kepada
framework Sejarah Filsafat Islam diatas. Untuk tingkatan Sarjana S1,
tidak seluruh materi diberikan dalam 1 semester, namun framework
kajiannya tetap merujuk kepada framework Sejarah dibawah ini. Selain
itu kajian teks diarahkan untuk mengkaji konsep-konsep penting yang
terdapat dalam Madhhab-madhhab filsafat Islam, baik dari Kalam,
falsafah maupun tasawwuf.
ii)
Topik pembahasan disusun sbb:
I.
Pengertian dan obyek kajian Filsafat Islam
II.
Tradisi Pemikiran Spekulatif Periode Awal
A.
Konsep-konsep penting dalam al-Qur’an (konsep teologi, ontologi,
epistemologi, cosmology)
B.
Kajian pemikiran tentang hikmah periode sahabat dan tabiin.
C.
Awal Tradisi pendidikan Ashab al-Suffah
III.
Konsep pandangan hidup Islam dan Sejarah kelahiran ilmu dalam Islam
A.
Lahirnya disiplin ilmu dalam Islam Fiqih, Tafsir, Hadith, Sejarah,
Nahwu dsb
B.
Lahirnya pemikiran spekulatif ( Kharijiyah, Qadariyyah, Murji‘ah,
Shiah)
IV.
Munculnya pemikir spekulatif periode awal
A.
Dari kalangan tradisionalis (Urwah ibn Zubyar, al-Zuhri, Ibn Ishaq)
B.
Dari kalangan ulama dibidang hukum (Qadi Shurayh, Ja‘far al-Sadiq,
Abu Hanifah, Malik Ibn Anas, Abu Yusuf)
C.
Dari kalangan teolog (Hasan al-Basri, Wasil Ibn Ata’, Jahm Ibn
Safwan, Ghyalan al-Dimashqi)
V.
Kelahiran madhhab-madhhab Filsafat
A.
Madhhab Sunni (al-Ash‘ari, al-Maturidi)
B.
Madhhab Mashsha’un, Peripatetik Muslim ( al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina)
C.
Madhhab Sufi (al-Muhasibi, Abu al-Qasim al-Junyad, al-Bistami)
D.
Filosof Naturalis (Ibn al-Rawandi, Zakariyya al-Razi)
E.
Madhhab Ikhwan al-Safa
VI.
Perkembangan dan Reorientasi Pemikiran Filsafat
A.
Kritik Madhhab Sunni terhadap Madhhab Mashsha’un (Kritik
al-Ghazzali terhadap filsafat Ibn Sina)
B.
Kritik Ibn Rushd terhadap filsafat al-Ghazzali
C.
Kritik Fakhr al-Din al-Razi terhadap Ibn Sina
VII.
Perkembangan Madhhab Sufi
A.
Madhhab Wahdat al-Wujud Ibn Arabi
B.
Madhhab Filsafat Illuminasi al-Suhrawardi
C.
Madhhab Filsafat Wujudiyyah Mulla Sadra
VIII.
Tren Pemikiran filsafat Islam Modern[87]
II.
Kajian Teks Filsafat Islam
Topik
Kajian:
Kajian
teks ditujukan agar mahasiswa memahami konsep-konsep tertentu dalam
teks-teks yang menjadi sumber pemikiran filsafat Islam dan teks-teks
filsafat Islam, khususnya konsep-konsep dalam masalah Tuhan, alam,
manusia, ilmu, etika dsb.
1.
Kajian teks sumber filsafat Islam al-Qur’an, Hadith dan Qaul
Sahabah
2.
Kajian teks-teks dalam tradisi kalam
3.
Kajian teks-teks filsafat Yunani (Plato dan Aristotle)
4.
Kajian teks-teks dalam tradisi falsafah
5.
Kajian teks-teks dalam tradisi tasawwuf
Mengingat
bahwa filsafat Islam adalah kajian mengenai sistim pemikiran yang
terdiri dari konsep-konsep, maka kemampuan bahasa Arab menjadi
prasyarat bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini.
Mengkaji
pemikiran filsafat manapun sebenarnya adalah mengkaji pandangan hidup
dan suatu pandangan hidup adalah sistim pemikiran yang terdiri dari
konsep-konsep penting suatu peradaban. Jika pandangan hidup adalah
suatu bangunan pemikiran yang terdiri konsep-konsep, maka ketika
suatu pandangan hidup dipahami secara filosofis ia menjadi sistim
filsafat dan yang nampak bukan lagi pandangan hidup tapi adalah
sistim filsafat tersebut. Oleh karena itu memahami filsafat Islam
dari pandangan hidup Islam berarti memahaminya dengan pendekatan
sistemik (systemic approach). Dengan pendekatan ini maka sebagai
sebuah sistim, filsafat Islam dapat digunakan untuk memahami
sistim-sitim filsafat lain seperti filsafat Barat dan bahkan dapat
dipakai untuk mengkritik dan juga mengadapsi konsep-konsep asing
kedalam millieu filsafat dan pemikiran Islam.
Kesimpulan
Islam adalah agama dan pandangan hidup yang mempunyai konsep-konsep kunci yang berasal dari dalam tradisinya sendiri dan berbeda secara diametris dari konsep-konsep dalam pandangan hidup lainnya. Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam itu dibingkai dalam susunan yang sistemik dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya serta membentuk suatu keseluruhan yang integral, maka ia akan menjadi asas epistemologi dan bahkan dapat menjadi framework kajian berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam.
Islam adalah agama dan pandangan hidup yang mempunyai konsep-konsep kunci yang berasal dari dalam tradisinya sendiri dan berbeda secara diametris dari konsep-konsep dalam pandangan hidup lainnya. Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam itu dibingkai dalam susunan yang sistemik dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya serta membentuk suatu keseluruhan yang integral, maka ia akan menjadi asas epistemologi dan bahkan dapat menjadi framework kajian berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam.
[1]
Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus
untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan
ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of
Human Belief, Charles Sribner’s sons, New York, n.d. 1-2
[2]
Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A
Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001,
532.
[3]
Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic
Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of
Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2,
6.
[4]
Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) 14,
41.
[5]
Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, DÉr al-
KitÉb al-LubnÉnÊ, Beirut, 1989, hal. 13.
[6]
M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslamÊ, DÉr al-ShurËq,
tt. Hal. 41
[7]
S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An
Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam,
Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, 2
[8]
Ninian Smart, Worldview, 2
[9]
Ia tidak diterjemahkan menjadi Nazrat al-Islam li al-kawn, karena
nazar lebih bersifat observasi spekulatif dan al-kawn lebih merupakan
pengalaman indrawi atau dunia nyata yang kasat mata. S.M.N, al-Attas,
Prolegomena, 1.
[10]
S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[11]
Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala
Lumpur, ISTAC 1996, 29.
[12]
Alparslan, “The Framework” 6. Cf. Alparslan, Islamic Science, 10.
[13]
Pengetahuan a prioriadalah pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi
atau cara berfikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa observasi
atau pengalaman khusus. A posteriori adalah pengetahuan yang tidak
dapat diperoleh secara a priori.
[14]
Alparslan, “The Framework”, 6-7.
[15]
Thomas F Wall, Ninian Smart, al-Attas menyinggung konsep-konsep
tentang kehidupan sebagai elemen pandangan hidup. Lihat, Thomas F
Wall, Thinking.. , 16; Ninian Smart, Worldview, Crosscultural
Explorations of Human Belief, 8-9; S.M.N, al-Attas, “The Worldview
of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa
al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the
inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity:
Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994,
ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[16]
Alparslan, Islamic Science, 20-26.
[17]
Dari enam elemen penting pandangan hidup Thomas Wall salah satunya
adalah konsep Tuhan lainnya adalah 1) Ilmu, 2) Realitas, 3) Diri, 4)
Etika, 5) Masyarakat, lihat Thomas F Wall, Thinking.. , 16; Sementara
itu Smart dalam konteks agama-agama menyebut doktrin keagamaan
sebagai salah satu pandangan hidup, selain itu adalah 1) Mitologi, 2)
Etika, 3) Ritus, 4) Pengalaman dan Kemasyarakatan, lihat Ninian
Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9,
[18]S.M.N,
al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”,
dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of
Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the
Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala
Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[19]
S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An
Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam,
Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.
[20]
Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem p. 60
[21]
Adi Setia, al-Attas’ Philosophy of Science, an extended outline,
makalah diskusi Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS, Sabtu, 21 juni, 2003, Kuala Lumpur, Malaysia.
Hal. 7.
[22]
Al-Attas, Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri,
Kuala Lumpur, Ministry of Culture, 1986, hal. 460.
[23]
Adi Setia, ibid, hal. 9
[24]
Al-Attas menyebut pandangan ini sebagai “artificial coherence”
karena ia tidak bersifat alami dalam konteks hakekat fitrah manusia,
karena itu sifatnya selalu berubah dengan perubahan sosial.
[25]
Lebih detail lihat Gerald Vision, Modern Anti-Realism and
Manufactured Truth, International Library of Philosophy, ed. Ted
Honderich (New York: Routledge, 1988).
[26]
Intuisi, menurut al-Attas bukan hanya berarti pamahaman langsung oleh
subyek yang mengetahui tentang dirinya, dalam kondisi sadar, tentang
diri orang lain, tentang dunia luar, tentang kebenaran, nilai,
rasional dan universal. Intuisi juga merupakan pemahaman, langsung
tanpa perantara tentang kebenaran agama, tentang realitas dan wujud
Tuhan, realitas eksistensi sebagai lawan dari realitas esensi,
intuisi pada tingkat yang tertinggi adalah intuisi tentang wujud itu
sendiri. Lihat al-Attas, Prolegomena, hal. 119
[27]
al-Attas, A Commentary on the Hujat al-ØsiddÊq of NËr al-DÊn
al-RÉnirÊ: being an exposition of the salient point of distinction
between the position of the theologians, the philosophers, the Sufi
dan the pseudo-Sufi on the ontological relationship between God and
the world and related questions, Ministry of Education and Culture,
Kuala Lumpur, 1986, 464-465.
[28]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam; A Framework for an
Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991, hal. 7
ff; Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir al-Attas ini dalam “The
Question of Methodology in Islamic Science” dalam Tawhid and
Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science,
(Penang dan Kuala Lumpur, Secretariat for Islamic Philosophy and
Science, dan Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991; buku ini
diterbitkan kembali sesuai dengan aslinya dengan judul The History
and Philosophy of Islamic Science, (Cambridge, Islamic Text Society,
1999, 13-38.
[29]
Al-Attas, Islamic Philosophy of Science, 31-32; lihat juga
Prolegomena, 138
[30]
David K Naugle, Worldview, History of Concept, William B Eerdmanss
Publishing, Grand Rapid, Michigan / Cambridge, UK, 2002, hal. 328.
[31]
Alparslan, Islamic Science, 19
[32]
Alparslan, Islamic Science, 71-72.
[33]
Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini
dengan menunjukkan sistim kata yang menjadi unsure pokok dalam
kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan disini adalah
kata Allah yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral
yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam
sistim kata pada masa pra-Islam Allah tidak mempunyai kedudukan yang
sangat sentral, Allah adalah tuhan dalam hirarki tuhan-tuhan yang
lain. Penjelasan lebih detail lihat Izutsu, Toshihiko, God and Man in
The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, New Edition,
Kuala Lumpur, Islamic Book Trust, 2002, 36-38.
[34]
Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang
diturunkan di Makkah dan Madinah Lihat Abu Ammaar Yasir Qadhi, An
Introduction to the Science of the Qur’aan, Birmingham, al-Hidayah
Publishing and Distribution, 1999, 100-101.
[35]Alparslan,
Islamic Science, 81
[36]
Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah
didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun
setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia
didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat
(d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya’ al-’Umari
(Najaf: al-Adab Press 1967, vol.1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn
Isma’il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad
Ali al-Subayh, n.d. see Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw
al-Qiblah, 1/104.; lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 81.
[37]
Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam,
seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama,
berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari
sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan
mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Jumlah peserta dalam
komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke
waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang
dikaji memang masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya
berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks ia merupakan
benih-benih kajian pada periode selanjutnya. Lihat Abu Daud
al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha’ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2
vols. (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah,
Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad
Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah,
1953, 2/70; lihat juga Abu Nu’aym, Ahmad ibn ‘Abd Allah
al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya’, 10 vols,
Egypt:al-Sa’adah Press, 1357, 1/339, 341.
[38]
AbË Nu’aym mencatat bahwa Sa’Êd ibn ‘Ubadah sendiri biasa
memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar
mengajar. Ibid, 1/341.
[39]
Dalam al-Qur’an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata ‘ilm,
tidak termasuk kata-kata derivatifnya, dari 91 ayat itu 67
daripadanya diwahyukan di Makkah dan sisanya, 24 ayat, di Madinah.
[40]
‘Abd al-HalÊm MahmËd menyebutkan bahwa ada dua hal yang tidak
disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an: Pertama, masalah yang
berkaitan dengan zat Tuhan (dhat Allah), hakekat sifat Tuhan,
hubungan antara esensi dan sifat, rahasiaNya tentang qadr dan
problem-problem lain yang diluar jangkauan akal manusia. Kedua,
masalah-masalah khusus yang berhubungan cabang-cabang (furË’) yang
jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an hanya menjelaskan asas umum
shari’ah (al-usul al-‘amah li al-tashri’ ) dan beberapa hal
yang khusus. See ‘Abd al-HalÊm MahmËd, al-TafkÊr al-Falsafi fi
al-IslÉm, Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d. hal.108-109.
[41]
Bukti yang sering dirujuk untuk ini adalah Hadith tentang persetujuan
Nabi terhadap Mu‘Édh bin Jabal untuk menggunakan ra’y dalam
menyelesaikan masalah yang timbul dimasyarakat, jika al-Qur’an dan
Hadith tidak menyebutkan penyelesaian masalah itu secara eksplisit.
Musa, Yusuf, Usul al-Tashri’ al-Islami,Dar al-Ma’arif, Cairo,
1964, hal. 11.
[42]
al-Attas, SMN, Prolegomena, lihat “Introduction” 1-37. Cf.
Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an
Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of
Modernity, Historical and Contemporary Contexts, ISTAC, Kuala Lumpur,
1996, 28-29.
[43]
Alparslan Acikgence, A Concept of Philosophy in the Qur’anic
Context, The American Journal of Islamic Social Sciences, 11: 2.
[44]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, diterjemahkan dari
bahasa Perancis oleh Willard R Trask (Irving Texas: Spring
Publication, Inc., 1980) hal. 13.
[45]
Lihat misalnya materi kuliah Filsafat Islam dalam Topik Inti
Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam 1988, Departemen
Agama RI, Direktoreat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1988; Kurikulum
Program Studi Barbasis Komtperensi Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 2005; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Swasta, Wilayah IV, 2004; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta,
Wilayah IV, 2004; Kebijakan Akademik dan Kelembagaan Tentang
Kurikuluml Berbasis Kompetensi, Perguruan Tinggi Agama Islam,
Direktorat Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Perguruan TInggi Agama
Islam, Departemen Agama, Jakarta, 2005.
[46]
Oliver Leaman misalnya menyatakan bahwa Usul Fiqih memiliki peran
penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Lihat Oliver Leaman,
An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University
Press, Cambridge, 1985, hal.5.
[47]
Peter, F.E., Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in
Islam, New York University Press, (New York, 1968) hal. xxi-xxiii.
Juga Richard Walzer, “Islamic Philosophy” dalam Greek into
Arabic: Essays on Islamic Philosophy, Oxford,: Bruno Cassirer, 1962,
hal. 1-28. Lihat juga Gustave E.von Grunebaun, Islam and Medieval
Hellenism: Social and Cultural Perspectives, Variorom Reprints,
(London 1976), hal.25.
[48]
Seperti dikutip oleh Thomas Patrick Hughes dalam, Dictionary of
Islam, Being A Cylopaedia of the Doctrines, ritets, ceremonies and
custom, together with the technical and theological terms, of the
Muhammadan Religion, London W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy
Muslim, hal. 452.
[49]
De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, Curzon Press,
Richmond, U.K., 1994, pp. .28-29,309. The emphasize on translation
see Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western World, Fredrick
Ungar Publishing Co, New York, 1964, hal. 7-8.
[50]
Gustave E. von Grunebaum, Islam and Medieval Hellenism: Social and
Cultural Perspectives, di edit dan diberi Pendahuluan oleh Dunning S
Wilson, diberi pengantar oleh Speros Vryonis, Jr. Variorum Reprints,
London, 1976, hal. 25.
[51]
Ibid
[52]
Wat, M.W, Formative Period of Islam, University Press, Edinburgh,
1969, hal. 183.
[53]
Lihat M.Cook, “The Origin of Kalam” dalam Bulletin of the School
of Oriental and African Studies, 43 (1980): 42-43.; lihat juga
M.Abdul Haleem, “Early Kalam” dalam Seyyed Hossein Nasr et al,
ed. History of Islamic Philosophy, Routledge, London, 1998,
vol.I,72-73
[54]
Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, Rider
and Company New York, 1950, hal. 159-160
[55]
The Harper Collins Dictionary of Religion, HarperSan Fransisco, 1986,
533
[56]
Peter, F.E. Aristotle and The Arabs, hal. 57.
[57]
Acikgenc, Alparsalan, Islamic Science Towards Definition, ISTAC,
Kuala Lumpur, 1996, pp.14-15.
[58]
The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[59]
Michael Marmura, dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Mircea
Eliade, MacMillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan
Publisher, London, hal. 268, s.v. “Falsafah”
[60]
Sabra, A.I., “Science and Philosophy in Medieval Islamic Theology”,
dalam Zeitschrift fur Geschichte der Arabish –Islamichen
Wissenschaften, 1995, hal.2.
[61]
Ibid.
[62]
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, Columbia University
Press, (New Tork, 1983), p.xv.
[63]
Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, Being A Cyclopaedia of
the Doctrines, rites, ceremonies and custom, together with the
technical and theological terms, of the Muhammadan Religion, London
W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy Muslim, hal. 452.
[64]
The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[65]
Al-Kindi, On First Philosophy, quoted by A.F.El-Ehwany in A History
of Muslim Philosophy (Wiesbaden, 1963), vol.I. hal.42; Ibn SÊnÉ,
UyËn al-×ikmah, Cairo, 1326 AH, hal.30.
[66]
Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, ed.R.SÉlim, Maktabah al-Khayyat,
t.t. vol. I, p. 261. Wujud yang ia maksud disni adalah Tuhan, oleh
karena itu filsafat baginya adalah ilmu tentang Tuhan.. Hanya saja
Ibn Taymiyyah tidak sepakat dengan mereka dalam soal titik awal
(starting point) pencarian tentang wujud. Bagi filosof ilmu tentang
wujud maksudnya adalah ilmu tentang realitas sesuatu dan harus dicari
melalui realitas tersebut. Ilmu tentang Tuhan harus dicari melalui
ciptaannya. Namun bagi Ibn Taymiyyah pencarian tentang Wujud tidak
bisa dilakukan melalui wujud yang diciptakan. Ilmu tentang Tuhan,
menurutnya harus dicari melalui Tuhan (wahyu).
[67]
Nasr, S.H.Philosophy Literature and Fine Art, King Abd Aziz
University, (Jeddah) hal. 4. Tentang Íikmah lihat Encyclopedia of
Islam, s.v; Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, Leiden, E.J.Brill,
1970, hal. 35-40. Lihat juga Carmela Baffioni, “Defining Íikmah”,
Some preliminary Notes” Symposium Graeco-arabicum II,
Archivum-Arabicum: 2, Amsterdam, 1989, hal. 1-9.
[68]
Oliver Leaman, An Introduction, pp.5-6
[69]
Watt, M.W, Islamic Philosophy and Theology, University of Edinburgh
Press, Edinburgh, 1985, pp.33-64; 69-128.
[70]
Fakhry, Majid, A History, p.viii-ix.
[71]
Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, hal.
160; bandingkan Michael Marmura “Falsafa” dalam The Encyclopedia
of Religion, 268
[72]
Radhakrishnan, History of Philosophy, Eastern and Western, George
Allan & Unwin Ltd. London, lihat “Islamic Philosophy”, Bab
XXXII, hal.120-149.
[73]
Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of
Islam, Oxford University Press, 1948, p.239.
[74]
O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History,
Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963.p.viii.
[75]
Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” hal.
5.
[76]
Diantara yang menolak logika adalah Hasan ibn Musa al-Nawbakhti
(w.300 A.H./912). Ia adalah pemikir Muslim awal yang sezaman dengan
Thabit ibn Qurrah (d.288 A.H/900). Bukunya Kitab al-Ara’ wa
al-Diyanat menunjukkan kerancuan logika Aristotle. Yang menarik
al-Nazzam (d.231 A.H/845) dan al-Jubba’i (d.303 A.H/915) tokoh
Mu‘tazilah yang dianggap rationalis itu juga menolak filsafat
Aristotle. Kritik terhadap filsafat Aristotle yang lain datang dari
Abu Zakariyya al-Razii (d.313 A.H./925), dan Ibn Hazm al-Andalusi
(d.456 A.H./1063), tapi al-Razii setuju dengan ide-ide Pythagoras.
Selain itu Hibat Allah Ibn ‘Ali Abu al-Barakat al-Baghdadi (d.548
A.H/1155) pengarang buku Kitab al-Mu‘tabar fi al-Hikmah juga
menentang filsafat Aristotle. Lihat M.M.Sharif, A History of Muslim
Philosophy, Otto Harrassowitz Wiesbaden, 1966, pp. 804-805.
[77]
Tokohnya yang terkenal dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah, lihat Ibn
Taymiyyah al-Radd ala al-Mantiqiyyin, di edit oleh .R.’Ajam,
vol.II, Dar al-Fikri al-Lubnani, Beirut, 1993. hal. 84-86..
[78]
Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, hal. 258.
[79]
Qadir, C.A., Philosophy and Science in The Islamic World, Routledge,
(London 1988) hal..28.
[80]
‘Abd al-LaÏÊf Muhammad, DirÉsÉt fÊ al-Falsafah al-IslÉmiyyah,
Maktaba al-NahÌa, (Mesir 1978) hal. 4-5.
[81]
M.M. Sharif, (Ed), A History of Muslim Philosophy, Low Price
Publication, Delhi, vol., 1995, hal. 4.
[82]
Qadir, Philosophy, hal.71
[83]Nasr,S.H.
Science and civilization in Islam, Cambridge, Islamic Text Society,
(1987), hal. 7.
[84]Nasr,
S.H. Islamic Studies, Librairie Du Liban, Beirut, (1970) hal. 112.
[85]
Ibid p.5
[86]
M.Saeed Sheikh, Reorientation of Islamic philosophy, Pakistan
Philosophical Congress, (Lahore, 1964). P.1; bandingkan Qadir,
Philosophy. hal. 70
[87]
Bandingkan Alparslan Acikgence, “The Framework for A History of
Islamic Philosophy”, Journal al-Shajarah, ITAC, vol. I, no. I,
17-19; idem, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The
American Journal of Islamic Social Sciences 11: 2, 155-182; idem,
“Towards An Islamic Concept of Philosophy” Proceeding of the
Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity:
Historical and Contemporary Context. 1-5 August 1994, Kuala Lumpur:
ISTAC 1996, 535-569.
http://idrusali85.wordpress.com/2007/11/22/pandangan-hidup-islam-sebagai-framework-study-islam/