ASPIRASI / INSPIRASI

Ilmu Massa, Turath, Sejarah. Analisa Kajian Budaya Pemikir. Peradaban Insani Kalbu Akal Mencerah. Hakikat Amal Zikir Dan Fikir. Ilmu, Amal, Hikmah Menjana Pencerahan. Ulul-Albab Rausyanfikir Irfan Bistari. Tautan Mahabbah Mursyid Bimbingan. Alam Melayu Alam Islami Tamadun Melayu Peradaban Islami. Rihlah Ilmiah Menjana Pencerahan Pemikiran, Kefahaman & Ketamadunan (Ilmu,Amal,Hikmah & Mahabbah) - Inspirasi: Rizhan el-Rodi

Seminar & Deklarasi: (Sayyid/Habib) Akar Sejarah Islam Damai di Nusantara



Seminar & Deklarasi: (Sayyid/Habib) Akar Sejarah Islam Damai di Nusantara
Di Yaman Selatan, ada sebuah daerah bernama Hadhramaut. Berdasarkan kajian sejarah dan antropologis tentang masuknya Islam ke Nusantara,  didapatkan fakta sejarah bahwa dari daerah Hadhramaut itulah salah satu arus penyebar Islam pertama di Indonesia berasal. Mereka adalah golongan orang yang dikenal dengan sebutanAlawiyyin. Banyak yang kemudian menyebutnya dengan istilah "Habib" atau "Sayyid".

Para Alawiyyin datang ke Nusantara kala itu sebagai pedagang. Namun, bukan berdaganglah tujuan utama mereka, melainkan berdakwah., menyebarkan Islam di Indonesia. Inilah generasi pertama dakwah Islam di Nusantara.
Sejak awal mereka berdakwah dengan metode damai. Corak dakwahnya persuasif dan akulturatif. Mereka tak datang dengan pedang, melainkan dengan cinta. Mereka juga masuk ke 'jantung' tradisi masyarakat Nusantara kala itu, berbaur dengan penduduk setempat dan baru kemudian secara persuasif mengakulturasikan nilai-nilai dasar Islam dengan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara kala itu. Mereka menjadi dalang di pewayangan dan menceritakan kisah tentang para nabi dalam Islam, khususnya Nabi Muhammad Saw, melalui pertunjukan wayang.

Tak mengherankan, bila kemudian dari penyebaran Islam yang damai sejak awal itu, lahir komunitas Muslim di Nusantara –dan Asia Timur Jauh yang menjadi lokasi dakwah mereka juga- yang merupakan komunitas Muslim moderat, damai dan toleran.
Melacak kembali peran dakwah damai Alawiyyin di Nusantara itulah yang menjadi tema seminar sel
ama dua hari (Sabtu-Minggu, 14-15 Juli 2012) di Gedung Sovereign Plaza, Jalan TB. Simatupang, Jakarta. Seminar yang diikuti oleh sekitar 200 peserta undangan, yang terdiri dari perwakilan organisasi masyarakat (Ormas) Islam, akademisi, peneliti, jurnalis dan LSM di Indonesia itu diselenggarakan oleh Lembaga Studi Agama dan Budaya Indonesia (LSABI). Seminar internasional ini menghadirkan narasumber dari berbagai negara, seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra (UIN – Indonesia), Habib Lutfi bin Yahya (Indonesia), Habib Zayd Abdurrahman Yahya (Hadramaut-Yaman), Prof. Engseng Ho (Duke University), Dr. Mark Woodward (Arizona State University), Prof. Dr. Yasmine Shahab (UI-Indonesia), Ismail Fajrie Al-Attas, Can. Ph.D (Univ. of Michigan – Indonesia), dll.

Seminar itu bermaksud untuk napak tilas, mengingat kembali dan tentunya menerapkan dakwah serta sikap keberislaman damai yang dibawa oleh kaum Alawiyyin Hadhramaut yang kemudian menjadi identitas paling kental dari Islam di Indonesia. Upaya yang layak diapresiasi, terutama karena akhir-akhir ini, Islam Indonesia yang damai itu sering dinodai pertikaian sektarian. Pertikaian yang bukan hanya tak sesuai dengan nafas dakwah dan corak Islam yang dibentuk sejak pertama kali ia masuk, namun telah bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam dan menjadi salah satu penyebab utama kemunduran umat Islam. Sedangkan persatuan Islam (ukhuwah Islamiyah) merupakan salah satu prinsip dasar yang selalu diajarkan dan dipegang teguh oleh umat Islam sejak pertama kali Islam diperkenalkan di Nusantara oleh kaum Alawiyyin.

Oleh karenanya, setelah melacak dan mengingat kembali tentang metode dan corak Islam damai yang masuk ke Indonesia melalui generasi Hadhramaut itu, seminar ditutup dengan pembacaan deklarasi yang secara umum menegaskan bahwa Islam yang masuk, ada, dan berkembang di Indonesia adalah Islam damai. Islam yang damai melihat perbedaan pandangan dan madzhab dalam Islam sebagai bagian dari kekayaan khazanah Islam, dan menempatkan persatuan Islam sebagai 'harga mati' demi kemajuan Islam di masa depan. Deklarasi itu juga menginstruksikan agar umat Islam di Indonesia tak lagi mempermasalahkan –apalagi mempertikaikan- perbedaan madzhab dan pandangan di antara mereka. Sebab, selain tidak sesuai dengan nilai dasar Islam dan nafas Islam yang dibawa kaum Alawiyyin, konflik dan pertikaian itu juga hanya akan membuat komunitas Muslim terpuruk di tengah kemajuan zaman. 

11 Deklarasi Islam Damai Kaum Habib/Alawiyin di Nusantara
Selama dua hari, Sabtu-Minggu, 14-15 Juli 2012, sebuah seminar internasional digelar untuk melacak kembali peran dakwah damai Alawiyyin di Nusantara. Seminar di Gedung Sovereign Plaza, Jalan TB. Simatupang, Jakarta, yang diikuti oleh sekitar 200 peserta undangan, yang terdiri dari perwakilan organisasi masyarakat (Ormas) Islam, akademisi, peneliti, jurnalis dan LSM di Indonesia itu, menghadirkan narasumber dari berbagai negara, seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra (UIN – Indonesia), Habib Lutfi bin Yahya (Indonesia), Habib Zayd Abdurrahman Yahya (Hadramaut-Yaman), Prof. Engseng Ho (Duke University), Dr. Mark Woodward (Arizona State University), Prof. Dr. Yasmine Shahab (UI-Indonesia), Ismail Fajrie Al-Attas, Can. Ph.D (Univ. of Michigan – Indonesia), dll.

Di akhir acara, seminar itu ditutup dengan merumuskan dan mendeklarasikan sebuah keputusan penting tentang Islam Nusantara yang patut dikembangkan dan dilestarikan oleh seluruh umat Islam Indonesia, sesuai dengan akar historisnya yang dibawa oleh kaum Habib/Alawiyyin dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
 Berikut "11 Deklarasi Islam Damai Kaum Habib/Alawiyin di Nusantara" yang menjadi pegangan dan komitmen umat Islam di Indonesia, khususnya Kaum Alawiyyin, dalam keislamannya: 

Pertama, Alawiyyin dari Hadhramaut telah mengajarkan Islam yang berpijak pada tradisi tasawuf, jalan tengah atau moderasi (tawasuth), serta inklusif dalam teori dan praktik keagamaan.

Kedua, Thariqah ‘Alawiyah, yang mengajarkan prinsip-prinsip akhlak yang tinggi, menghargai sesama Muslim, ber-husnuzhan kepada sesama umat, dan menghargai sesama manusia terbukti telah berhasil mengembangkan pemahaman Islam yang penuh kedamaian dan toleransi.

Ketiga, metodologi dakwah kaum Alawiyyin Hadharim berpijak pada adaptasi dan apropiasi terhadap budaya lokal. Dengan demikian, dakwah Islam yang dipraktikkan Kaum Alawiyyin bukan saja tidak menimbulkan gesekan dan pertikaian dengan lingkungan lokal, melainkan justru menjadikan ajaran Islam lebih mudah diterima oleh berbagai kelompok yang menjadi obyek-dakwahnya.
Keempat, karena sifat dan metodologi dakwah yang sama, maka Kaum Alawiyyinpada umumnya menjadi pelopor nasionalisme dan membuktikan diri sebagai kontributor penting bagi terbentuknya kebangsaan Indonesia yang kuat dan kemajuannya di berbagai bidang kehidupan.
Kelima, dalam menyikapi perkembangan akhir-akhir ini, Kaum Alawiyyin menyerukan pentingnya revitalisasi dakwah damai di Indonesia dan meninggalkan sikap-sikap ekstrem, radikal, memonopoli kebenaran, serta penuh kekerasan  dan pemaksaan dalam kehidupan keagamaan.

Keenam, Kaum Alawiyyin juga menyerukan agar seluruh umat Muslim di Indonesia  meninggalkan pertikaian terkait soal-soal khilafiyyah yang tidak berguna dan membuang-buang energi umat seraya mengedepankan semangat persatuan dan menerima perbedaan sebagai bentuk rahmat Ilahi.

Ketujuh, dalam konteks keindonesiaan, Kaum Alawiyyin mendukung Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) demi kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia, dan mengingatkan agar seluruh kaum Muslim di Indonesia waspada terhadap upaya-upaya kelompok-kelompok tertentu  untuk memperlemah bangsa dengan cara melakukan fitnah untuk mengadu-domba di antara mereka.

Kedelapan, Kaum Alawiyyin menyerukan ditegakkan ukhuwah Islamiyyah di antara seluruh umat Islam yang di bawah Ketuhanan yang Maha Esa dan Kerasulan Muhammad Saww. yang merupakan rahmat bagi sekalian alam, sebagai pilar bagi terwujudnya ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan nasional) dalam kerangka NKRI.
Kesembilan, Kaum Alawiyin menyerukan agar masyarakat memberikan prioritas utama kepada upaya-upaya menanamkan ketakwaan dan akhlak (budi-pekerti) yang luhur, dan menjadikannya pilar utama dalam setiap upaya pendidikan, baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal, mengingat pembudayaan takwa dan akhlak (budi pekerti) yang luhur adalah prasyarat mutlak bagi terciptanya  kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang baik sekaligus dapat menjadi pembendung serbuan dahsyat pengaruh-pengaruh buruk yang selama ini terbukti makin menggerogoti moral bangsa dan masyarakat di berbagai bidang kehidupan.

Kesepuluh, Kaum Alawiyin menyerukan agar dilakukan upaya-upaya lebih sistematis dan terorganisasi untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam rangka upaya-upaya mengentaskan dhu’afa dari kemiskinan serta memberantas segala bentuk korupsi yang menjadi penghalang utama menuju bangsa Indonesia yang kuat, adil,  makmur, mandiri, dan demokratis . 

Kesebelas, menyerukan dibentuknya suatu forum kajian dan pengembangan program di berbagai bidang yang terkait dengan pemeliharaan warisan dan peningkatan peran Kaum Alawiyin dan Thariqah Alawiyah, termasuk kajian kesejarahan Alawiyin di Nusantara, kajian ajaran Thariqah 'Alawiyah, meliputi kajian bibliografis dan etnografis, penerbitan karya-karya dan hasil-hasil kajian kaum Alawiyin,  serta penyelenggaraan, diskusi, seminar, dan workshop, demi peningkatan secara terus-menerus peran kaum ‘Alawiyin dalam berbagai upaya menciptakan umat Islam dan masyarakat Indonesia yang terbuka, damai, penuh toleransi, sekaligus bersatu, maju dan beradab.

 [Husein/Mizan.com]