Menurut saya, di dunia Islam kontemporer, ada dua
orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli falsafah
sejarah. Pertama, Almarhum Malek Bennabi dari Aljazair (m. 1973) dan Prof. Dr.
Syed Muhamad Naquib al-Attas. Banyak yang menulis sejarah dan menggunakan
fakta-fakta sejarah, tetapi hanya dua orang ini yang telah mencoba mengutarakan
gagasan mereka mengenai sejarah yang bermakna dan berdaya-cipta. Tetapi,
Syed Muhammad Naquib al-Attas (SMN al-Attas), dalam pandangan saya, memiliki
pandangan yang lebih komprehensif dan luas dari segi falsafah dan kaedahnya
yang juga membantu menyelesaikan beberapa masalah penting mengenai sejarah
Islam di Alam Melayu.
Buku
terbaru SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction (HFF),
(Universiti Teknologi Malaysia, 2011), yang diluncurkan pada 9 September 2011
lalu, meneguhkan kembali kepeloporan dan kependekaran beliau dalam masalah
sejarah, khususnya sejarah di alam Melayu, yang dipeganginya selama lebih 40
tahun secara penuh istiqamah.
Falsafah
sejarah SMN al-Attas adalah cerminan dari pandangan alam (worldview)
serta epistemologi Islam, yakni kerangka ilmu yang muncul darinya.
Islam menerima kemampuan panca-indera yang sejahtera, akal sehat dan laporan
yang benar (khabar shadiq) sebagai
saluran ilmu pengetahuan yang sah bagi manusia. Hakikat ini jelas terekam dalam
al-Qur’an dan hadis Rasullulah saw dan di dalam kupasan akidah Islamiah
khususnya yang disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin al-Nasafi (abad ke-12M) yang
digunapakai di alam Melayu selama ratusan tahun.
Seperti
semua ilmuan dan sarjana Islam yang berakar dalam tradisi Ahlu sunnah Wal
Jamaah ini, SMN al-Attas juga menayangkan kerangka keilmuan ini yang
diterapkan kepada falsafah dan metodologi pensejarahannya. Kerangka dan kaedah
ini bukanlah sesuatu yang harus dipetak-petakan, malah bagi al-Attas,
pendekatan keilmuan yang difahami dan diamalkannya ialah bersifat tauhid
(mempersatukan). (SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, 1995:3-4).
Para
pengkaji sejarah Melayu tentu sudah tidak asing lagi dengan nama SMN al-Attas.
Pada tahun 1972, melalui bukunya Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, ia
sudah mengisyaratkan betapa pentingnya kedudukan sejarah dalam kehidupan manusia: “He in whose
heart no History is enscrolled, Cannot discern in life’s alloy the gold, But he
that keeps the records of the Dead, Adds to his life new lives a hundredfold.” (Hati yang hampa tiada mengandung Sejarah Bangsa,
Tiadakan dapat tahu menilai hidup yang mulia, Penyimpan Khabar Zaman yang Lalu
menambah lagi,Pada umurnya umur berulang berkali ganda).
Genius dan serius
Bagi saya pribadi, sosok yang satu ini sangat luar biasa. Pertama kali mengenalnya, tahun 1984, saat saya masih kuliah S-3 di Chicago University. Pembimbing saya, Prof. Fazlur Rahman, meminta saya untuk menemani seorang sarjana dari Malaysia yang melakukan penelitian tentang kitab Hujjat al-Siddiq karangan Nur al-Din al-Raniri. Fazlur Rahman memberi tahu, bahwa al-Attas adalah “a prominent scholar.”
Genius dan serius
Bagi saya pribadi, sosok yang satu ini sangat luar biasa. Pertama kali mengenalnya, tahun 1984, saat saya masih kuliah S-3 di Chicago University. Pembimbing saya, Prof. Fazlur Rahman, meminta saya untuk menemani seorang sarjana dari Malaysia yang melakukan penelitian tentang kitab Hujjat al-Siddiq karangan Nur al-Din al-Raniri. Fazlur Rahman memberi tahu, bahwa al-Attas adalah “a prominent scholar.”
Selama
di Chicago, saya melihat kedua ilmuwan besar itu sering berbincang. Usai
al-Attas meninggalkan Chicago, Fazlur Rahman memberitahu saya di kantornya
bahawa SMN al-Attas “is a genius.” Mungkin dia
membaca karya al-Attas tentang The Mysticism of Hamzah
Fansuri yang ada di perpustakaan
Regenstein waktu itu. Saya juga pernah meminjamkan kepada Fazlur Rahman
buku al-Attas, Islam and Secularism dan The Concept of Education in Islam.Dalam The Concept of Education itu, saya lihat Fazlur
Rahman membuat catatan-catatan dan menggaris bawahi di beberapa tempat yang
menandakan dia membacanya dengan teliti.
Namun, al-Attas memiliki kelebihan yang luar biasa
dalam ketajaman pemikiran dan upayanya untuk menanamkan keyakinan kaum Muslim
akan kewibawaan ajaran dan sejarah Islam. Hampir seluruh usianya yang kini
hamper 80 tahun dicurahkan untuk usaha ini. Buku HFF ini tampaknya merupakan
puncak karyanya di bidang sejarah. Para pengkaji pemikiran dan sejarah Islam
akan menemukan kekhasan dan ketajaman yang luar biasa pada buku HFF ini.
SMN al-Attas memang seorang ilmuwan yang sangat serius dan teliti dalam mengerjakan segala sesuatu.
SMN al-Attas memang seorang ilmuwan yang sangat serius dan teliti dalam mengerjakan segala sesuatu.
Selama dua tahun saat menyiapkan naskah buku
terbaru ini (HFF) walaupun dalam keadaan tidak sihat dan berada dalam rawatan
di rumah sakit untuk waktu yang agak lama. Setiap kali saya menziarahinya di
kediamannya, beliau akan senantiasa bercakap dan mengulangi tanpa jemu tentang
beberapa aspek yang sedang dikajinya itu. Beberapa orang muridnya
menyatakan mengalami hal yang sama.
Saya
teringat, saat beliau sedang menyiapkan naskah “komentari tentang karya Hujjatul
Shadiq oleh Syeikh Nurudin
al-Raniri pada awal 1980-an, al-Attas membuat kajian serius di Perpustakaan
University of Chicago. Dalam beberapa pertemuan dengan saya di sana beliau
mengakui amat sukar tidur sebab memikirkan maksud penulis asal yang sedang
dikomentarikan itu. Beliau mengaku seakan-akan berbicara dengan al-Raniri
sendiri.
Simaklah, bagaimana kehebatan pemikiran dan
analisisnya saat al-Attas menguraikan nama-nama bagi hari-hari dalam bahasa
Melayu, huruf Jawi yang bersifat Arab-Melayu, nama-nama orang Islam tempatan di
Alam Melayu, bunyi bacaan bahasa Arab orang Islam setempat, dan jumlah
penduduk Arab dari keturunan Rasulullah SAW khususnya melalui Imam Ahmad Isa
al-Muhajir dan Imam Muhammad Sahib Marbat yang sangat banyak
terdapat di Alam Melayu: semuanya membuktikan peranan pengislaman yang awal dan
efektif oleh golongan mereka dari Hadhramaut terutama sejak kurun ke 12M.
Terdapat sebahagian dari mereka yang datang melalui Campa, dan India.
Dalam HFF ini, dengan cermat SMN al-Attas
menunjukkan kekeliruan sejarawan yang mengatakan bahawa al-Malik al-Salih
(wafat 1296 M) adalah Raja pertama Kerajaan Islam Samudra-Pasai (HFF, hal.
16). Dalam hal ini, al-Attas menggunakan laporan seorang sejarawan yang
berwibawa, yaitu Sayyid Alawi bin Tahir al-Haddad yang menziarahi perkuburan
al-Malik al-Salih itu dan menemui sebuah kubur al-Malik al-Kamil berdekatan di
situ yang wafat lebih awal, yaitu pada tahun 1210M. (HFF, 16-17).
Untuk
pertama kalinya, seorang sejarawan -- yakni SMN al-Attas -- menunjukkan,
bahwa nama “Sumatra” sejatinya
bukan berasal dari kata “samodra” tetapi berasal dari kata “Semutraya” yang terkaitkan dengan kisah Merah Silau melihat semut
sebesar kucing. Al-Attas menggunakan bentuk-bentuk ejaan nama itu dalam
teks-teks lama berbahasa Arab dan bukan Arab (HFF, hal. 6-12). Ia
juga menggunakan laporan dari teks Arab, yaitu Ajaib al-Hind oleh Buzurg ibn
Shahriyar dari abad ke 10M yang merekamkan laporan seorang yang bernama
Muhammad ibn Babishah bahawa terdapat semut-semut yang sangat besar di Utara
Sumatera terutama di Pulau Lamri. (HFF, hal.12).
Berbeda
dengan banyak sejarawan, al-Attas tidak menafikan berita yang ditulis
dalam Hikayat tentang pengislaman Alam Melayu. Dalam hikayat terawal berbahasa
Melayu, Hikayat Raja Pasai, diceritakan bahwa
Rasulullah saw memerintahkan para sahabat membawa agama Islam ke Samudra
selepas wafatnya SAW dengan membawa alat perkakas kerajaan. Mereka disuruh
singgah ke Mengiri dan mengambil seorang fakir untuk di bawa bersama. Hikayat
itu juga menceritakan selepas kewafatan Baginda Rasulullah saw, Syarif
Mekkah (penguasa Mekkah) mendapat berita tentang Samudra. Syarif itu
diperentahkan oleh “Khalifah Syarif” membuat persiapan menghantar rombongan
memenuhi suruhan Nabi itu (HFF, 3-4; Hikayat Raja Pasai, Yayasan Karyawan, hal.
13-14).
Cerita
dalam Hikayat itu dianalisis dengan serius oleh Al-Attas. Dengan menggali
berbagai sumber-sumber awal Islam dan analisis tentang ajaran Islam dalam hal
da’wah Islamiyah. Ditemukan laporan bahwa ternyata sebelum kedatangan Islam,
orang-orang Arab sudah menguasai perdagangan di Alam Melayu ini. (HFF, hal.
2-5). Ditemukan juga, bahwa di Kota Mengiri (Monghyr) di
Timur Jauh India sejak abad ke-8-9 M sudah ditemukan puluhan ribu orang-orang
Arab Muslim dari keturunan Abu Bakar dan Ali ibn Abi Talib r.a. (HFF, hal. 19-23).
Fakta dan Kebenaran
Dalam karyanya yang sangat penting, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, al-Attas membicarakan tentang Islam dan Filsafat Sains. Dalam uraiannya, al-Attas mengungkapkan, bahwa dalam pandangan alam (worldview) Islam, fakta dan kebenaran itu tidak semestinya sama. Tidak semua fakta itu benar -- jika fakta tersebut tidak ditafsirkan dan diperlakukan sesuai dengan pandangan alam Islam.
Fakta dan Kebenaran
Dalam karyanya yang sangat penting, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, al-Attas membicarakan tentang Islam dan Filsafat Sains. Dalam uraiannya, al-Attas mengungkapkan, bahwa dalam pandangan alam (worldview) Islam, fakta dan kebenaran itu tidak semestinya sama. Tidak semua fakta itu benar -- jika fakta tersebut tidak ditafsirkan dan diperlakukan sesuai dengan pandangan alam Islam.
Dalam
karya itu, al-Attas mengutarakan satu gagasan sangat penting dan berguna dalam
perencanaan dan kegiatan ilmiah termasuk bidang Sejarah, yakni suatu
kaedah: “Terdapat batas-batas kebenaran bagi setiap ilmu
pengetahuan” (“There is a limit of truth to every object of knowledge”).
Gagasan ini memang terinspirasi dari ajaran al-Qur’an
dan tradisi keilmuan Islam yang merumuskan gagasan ilmu bermanfaat dan skop
ilmu kepada yang bersifat fardhu ain dan fardhu kifayah. Ini untuk mengelakkan
pemubaziran umur seorang dalam mengkaji ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat bagi
dirinya dan bagi masyarakat seluruhnya.
Tentang
fakta sejarah lampau, al-Attas menegaskan bahwa fakta harus ditafsirkan
semata-mata bukan pada kehadirannya di luar akal pikiran -- sebagai kewujudan
yang objektif -- tetapi fakta harus diperhitungkan nilainya:
“To test the accuracy of the explanation is not necessarily achieved by
seeing whether the fact corresponds to a reality which is already known to us
now. To find coherence in the explanation of facts described by history cannot
be free of judgments that involve value.” ( HFF, hal. xii).
Hakikat
ini telah dinyatakannya sejak tahun 1970-an dalam buku Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu, saat al-Attas
mengkritik tren sebagian sejarawan yang asyik mengumpulkan fakta,
terutama yang bersifat runcitan (eceran). Katanya:
“ Bahawasanya ternyatalah konsep tugas seorang ahli sejarah itu bukanlah mengkaji, mencatat, dan melaporkansegala hal yang terjadi dalam meriwayatkan dan mentafsirkan kehidupan dan nasib sesuatu bangsa; akan tetapi ia harus memilih apa yang hendak dikajinya, ia harus mengasingkan apa yang hendak dicatatnya dari bahan-bahan tiada terbatas itu, ia harus merumuskan apa yang hendak dilaporkannya dengan tujuan bagi menayangkan gambaran yang terdiri daripada sifat-sifat tertentu yang akan merupakan hakikat bangsa itu.” (Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, hal. 2-3).
“ Bahawasanya ternyatalah konsep tugas seorang ahli sejarah itu bukanlah mengkaji, mencatat, dan melaporkansegala hal yang terjadi dalam meriwayatkan dan mentafsirkan kehidupan dan nasib sesuatu bangsa; akan tetapi ia harus memilih apa yang hendak dikajinya, ia harus mengasingkan apa yang hendak dicatatnya dari bahan-bahan tiada terbatas itu, ia harus merumuskan apa yang hendak dilaporkannya dengan tujuan bagi menayangkan gambaran yang terdiri daripada sifat-sifat tertentu yang akan merupakan hakikat bangsa itu.” (Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, hal. 2-3).
Dalam
konteks alam Melayu, data-data sejarah lampau sangat berkurangan. Karena
itulah, al-Attas mencadangkan bahwa kebanyakan dari tafsiran dan penjelasan
kita tentang peristiwa-pristiwa lampau harus bergantung banyak kepada
kaedah-kaedah akliah, bukan hanya pada kaedah inderawiah (empirical)
(HFF, hal. xiv). Jika tidak, sejarah keagamaan, keilmuan dan kebudayaan tidak
akan dapat ditulis. (Ibid, hal. xiv).
Meskipun
berbagai karyanya memiliki kualitas yang diakui di dunia internasional, hampir
semua buku al-Attas diterbitkan di institusi penerbitan di alam Melayu.
Sepanjang aktivitasnya sebagai ilmuwan, al-Attas senantiasa berusaha menanamkan
keyakinan akan keupayaan kaum Muslim Melayu dalam bersanding dengan
peradaban-peradaban lain. Buku Historical Fact and Fiction ini sekali lagi membuktikan, bahwa ilmuwan
Muslim Melayu mampu melahirkan karya besar yang sangat penting bagi pembangunan
peradaban Muslim Melayu di masa depan. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
oleh: PROF DR WAN MOHD NOR WAN DAUD
oleh: PROF DR WAN MOHD NOR WAN DAUD